Fimela.com, Jakarta Memiliki sosok pahlawan yang sangat berjasa dalam hidupmu? Punya pengalaman titik balik dalam hidup yang dipengaruhi oleh seseorang? Masing-masing dari kita pasti punya pengalaman tak terlupakan tentang pengaruh seseorang dalam hidup kita. Seperti pengalaman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Hero, My Inspiration ini.
***
Oleh: Ika Wulandari - Palembang
Mungkin kisah ini terdengar klasik di telinga teman-teman semua. Tapi, inilah kisahku yang sebenarnya. Bagiku sosok ibu tidak hanya perempuan yang telah melahirkan kita. Namun, ibu adalah pahlawan yang sebenarnya bagi hidupku dan juga kakak-kakakku saat ini. Tanpa ibu mungkin kami tidak akan sanggup menghadapi kerasnya hidup di dunia ini.
Kisah ini berawal dari adanya PIL (perempuan idaman lain) ayah. Perempuan itu telah menjadi duri di dalam pernikahan ibu dan ayah. Dan juga telah menjadi penghancur keluarga kami. Menginjak usia pernikahan ibu dan ayah ke 20 tahun, ayah dipercaya menjadi manager keuangan diperusahaannya. Tentu saja kami sekeluarga sangat mendukung karier ayah dari awal. Namun, lambat laun setelah ayah naik jabatan entah kenapa sikap ayah kepada kami berubah 180 derajat. Ayah jadi jarang pulang ke rumah, tidak pernah lagi makan bersama kami. Sampai salat berjamaah yang biasanya kami lakukan bersama, kini digantikan oleh kakak sulungku sebagai imamnya.
Pada awalnya kami tidak mengetahui alasan di balik perubahan sikap ayah. Hingga suatu hari, terjadilah pertengkaran di antara ibu dan ayah. Ayah secara terang-terangan mengakui bahwa dirinya mempunya perempuan lain dan akan menceraikan ibu. Betapa hancurnya hati ibu, tak terkecuali kami sebagai anak-anaknya. Demi perempuan lain, ayah tega menodai mahligai rumah tangga yang sudah mereka bangun selama 20 tahun. Bahkan, ayah lebih memilih untuk hidup bersama perempuan itu dibandingkan bersama kami. Hancur sehancur-hancurnya. Hanya kalimat itu yang tergambar saat ini.
Ibu Melakukan Segalanya
Sebulan setelah ibu dan ayah resmi bercerai, resmi pula ayah pergi meninggalkan kami. Hal itu membuat kami semakin terpuruk. Tak ada lagi tempat untuk mengadu dan ibu pun kini menjadi tulang punggung bagi keluarga kami. Bahkan, rumah satu-satunya sebagai tempat tinggal kami kini diambil oleh perempuan jahat itu. Sehingga, kami harus mencari tempat tinggal lain.
Untungnya ada tetangga kami yang berbaik hati menyewakan rumah kontrakan mereka dengan harga murah mengingat kondisi keuangan kami saat ini sangat tidak memungkinkan. Ayah pergi, rumah diambil, kondisi keuangan sulit membuat kami hanya bisa pasrah. Namun, tidak bagi kakak sulungku. Kakakku sangat terpukul dengan kondisi yang kami hadapi saat ini. Bagi kakakku, ayah merupakan sesosok pahlawan bagi dirinya. Maklum sejak kecil kakak sulungku selalu bersama dengan ayah. Kondisi kejiwaannya tidak stabil dan kakakku memilih narkoba sebagai jalan keluarnya. Sayang, narkoba merenggut nyawa kakakku. Kakak sulungku mengalami overdosis di umurnya yang masih sangat muda.
Ibu terpukul tetapi tetap tabah. Ditambah lagi mertua ibu (nenek) kami juga menyalahkan ibu atas kondisi yang terjadi saat ini. Menyalahkan bahwa ibu tidak bisa menjadi istri yang baik, yang tidak bisa menjaga keutuhan rumah tangga sehingga cucunya menjadi korban. Tidak pernah sekali pun aku mendengar ibu menyalahkan ayah atas kondisi yang terjadi pada kami. Ibu memendam semuanya sendirian.
Sejak perceraian orangtua dan kematian kakak sulungku, aku berubah menjadi anak pemurung dan pendendam. Ibu dan kedua kakakku yang lain sangat mengkhawatirkan kondisiku. Takut hal yang sama terjadi dengan kakak sulungku. Ibu selalu menjadi penguat bagi kami. Sampai akhirnya, kami bangkit dari keterpurukan. Aku dan kedua kakakku yang lain berjanji akan menjadi orang hebat yang suatu saat nanti bisa membuat ibu bangga.
Sepuluh tahun berlalu semenjak perceraian orangtuaku, kakak keduaku berhasil menjadi seorang pengacara hebat. Kakak ketigaku memilih menjadi pengusaha yang sudah lama dia cita-citakan. Dan aku sendiri berhasil menempuh pendidikan dokter. Ini semua berkat ibu.
Ibu selalu banting tulang mencari uang siang dan malam. Tak peduli lelah yang ibu rasakan. Semua pekerjaan ibu lakoni mulai dari buruh cuci dan setrika, tukang jahit sampai penjual jajanan tradisional. Dan kini semua usaha ibu membuahkan hasil. Kehidupan kami berangsur-angsur membaik. Kami pun bisa membeli sebuah rumah baru dan juga mobil. Semua rezeki yang kami dapatkan selalu kami syukuri.
Memaafkan
Malam itu, pintu rumah kami seperti ada yang mengetuk. Ibu pergi untuk membukakan pintu. Betapa terkejutnya kami ternyata orang yang mengetuk pintu itu adalah ayah. Kondisi ayah sangat memprihatinkan. Pakaiannya compang camping, tubuhnya terlihat kurus sekali. Ibu langsung memeluk ayah saat itu dan menyuruhnya masuk. Kedua kakakku tampak membantu ibu untuk membopong ayah masuk ke rumah. Sedangkan aku memilih untuk bersikap acuh tak acuh.
Aku masih tak bisa menerima kehadiran ayah sekarang. Di dalam hatiku, “Kenapa tidak mati sekalian saja, Yah?,” ucapku saat itu. Kami sudah berkumpul di ruang tamu. Lalu, ayah bersimpuh di kedua kaki ibu sambil memohon maaf atas kesalahannya yang telah dia perbuat. Ibu sepertinya tidak tega melihat ayah bersikap seperti itu. Ibu pun dengan berbesar hati memaafkan ayah. Kedua kakakku yah tentu saja seperti ibu memaafkan ayah. Tapi, aku tidak mau. Karena gara-gara ayah, semua ini terjadi. Kalau saja ayah tidak melakukan semua ini, pasti keluarga kami masih harmonis seperti dulu.
Keesokan harinya, ibu mulai merawat ayah. Ya, ayah kami jatuh sakit. Dengan telaten ibu merawat ayah yang sedang sakit. Rasanya aku ingin sekali melarang ibu untuk merawat ayah . Jika bisa dibiarkan saja ayah seperti itu. Tapi, ibu tidak tega. ibuku terlalu mencintai ayahku. Dan kabar yang aku dengar sekarang, istri mudanya menceraikan ayah setelah tahu ayah mengalami kebangkrutan. Huh, istri macam apa itu yang hanya menginginkan hartanya saja.
Sebulan penuh ibu merawat ayah sampai akhirnya ayah merasa sudah waktunya untuk pergi. Semuanya berkumpul di dekat ayah. Raut muka ibu sedih sekali. Seperti menyiratkan bahwa ibu tak ingin kehilangan ayah. Ayah melihat ke wajahku dan memohon maaf padaku karena hanya aku yang belum bisa memaafkan ayah. Ibu menyuruhku untuk memaafkan ayah. Tapi, aku benar-benar tidak bisa. Rasa sakitku terlalu dalam. Namun, aku juga tak tega melihat ayah yang sedang menghadapi sakratul mautnya.
Diam-diam air mata mengalir dipipiku. Ya Allah, anak macam apa aku yang tidak mau memaafkan ayahnya sendiri? Lalu, aku mencium tangan ayah dan mengatakan bahwa aku telah memaafkannya dan sangat menyanyanginya. Tak lama kemudian, ayah menghembuskan napas terakhirnya. Ayah hanya butuh maafku untuk meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Ada rasa penyesalan sedikit di hatiku kenapa baru sekarang aku memaafkan ayahku. Setelah memakamkan ayah, aku mencoba bertanya kepada ibuku kenapa beliau sangat mencintai ayah.
“Bu, kenapa Ibu masih mau memaafkan Ayah padahal Ayah sudah menyakiti Ibu? Tidakkah Ibu merasa sakit hati?”
“Nak, Ayahmu orang yang baik. Hanya saja Ayahmu salah jalan. Ibu ingin menjadi cahaya bagi Ayahmu agar Ayahmu tidak tersesat dan kembali ke jalan yang benar bersama kita semua. Walaupun, Ibu sakit hati atas perlakuan Ayahmu. Ibu berusaha menutupi semua luka Ibu. Ibu tidak ingin kalian tambah dendam dengan Ayahmu. Ayahmu juga manusia biasa, Nak. Pasti pernah melakukan kesalahan. Dan kalian harus tahu kalau dari dulu sampai sekarang Ibu masih mencintai Ayahmu dan akan tetap seperti ini.”
Sungguh mulia sekali hati perempuan yang kusebut ibu ini. Masih mau memaafkan laki-laki yang membuatnya menderita. Bahkan, ibu masih mencintai ayah hingga detik ini. Jika dulu ayah yang kusebut sebagai pahlawan, aku salah. Ternyata, ibulah pahlawan bagiku dan kakak-kakakku. Ibu yang selalu mengajari apa itu rasa sakit, pengorbanan, perjuangan dan tentang bangkit lagi. Sekali lagi, terima kasih ibu!
#GrowFearless with FIMELA