Tak Perlu Marah pada Takdir, sebab Tiap Orang Punya Jalan Hidup Masing-Masing

Endah Wijayanti diperbarui 19 Nov 2019, 10:38 WIB

Fimela.com, Jakarta Memiliki sosok pahlawan yang sangat berjasa dalam hidupmu? Punya pengalaman titik balik dalam hidup yang dipengaruhi oleh seseorang? Masing-masing dari kita pasti punya pengalaman tak terlupakan tentang pengaruh seseorang dalam hidup kita. Seperti pengalaman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Hero, My Inspiration ini.

***

Oleh: RKW - Tangerang

Pertemuan delapan tahun yang lalu sungguh mengesankan. Itulah kali pertama aku merasakan hidup yang begitu sempurna. Duduk berdampingan dengan seorang laki-laki yang dengan lantangnya mengucapkan janji suci di depan wali. Inilah waktu yang aku tunggu setelah hampir 35 tahun menyendiri. Air mata bahagia menetes, dibalut kesederhanaan sebuah acara pernikahan. Tidak ada bunyi lagu-lagu masa kini, bahkan tenda pun tersedia ala kadarnya. Di sana hanya ada aku, kamu, keluarga, dan beberapa tetangga yang hadir dengan segenggam doa untuk kebaikan rumah tangga kita. Momen ini sangat membekas, bahkan tidak akan pernah aku lupakan selamanya.

Alhamdulillah, aku sangat bersyukur karena memiliki pendamping hidup seperti dirinya. Kesabarannya selalu menjadi penyejuk, ketika pikiranku kalut akan permasalahan hidup yang datang silih berganti. Yang paling membuatku terharu adalah ketulusan dirinya dalam menerima segala kekuranganku. Kekurangan yang jelas-jelas melekat dan mungkin akan terus ada hingga aku kembali ke pangkuan-Nya.

Semenjak kecil, aku harus memakai kursi roda agar bisa pergi ke mana saja. Kedua kakiku tidak begitu kuat untuk menopang berat tubuhku yang mencapai 50 kilogram. Aku sama sekali tidak pernah marah pada takdir ini, karena aku yakin bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing untuk melewati fase kehidupan yang hanya sebentar ini. Di balik semua ketidaksempurnaan, aku percaya bahwa Allah telah menyiapkan segala yang terbaik untuk diriku, dan itu adalah kamu.

 

 

2 dari 4 halaman

Kelahiran Putri Tercinta

Ilustrasi/copyright shutterstock.com

Dari pernikahan yang suci ini, aku dikaruniai seorang malaikat kecil yang begitu cantik. Ia lahir dengan normal, tidak memiliki sedikit pun kekurangan sepertiku. Padahal, pikiranku ketika mengandungnya sudah tidak karuan—khawatir ini dan khawatir itu. Alhamdulillah, Allah begitu Maha Baik. Gadis kecilku lahir dengan kesempurnaan yang melekat erat pada tubuh dan hatinya.

Masih teringat betul ketika aku mengandungnya selama sembilan bulan. Kondisi tubuh yang mengharuskanku selalu duduk di kursi roda menyebabkan bayi di dalam kandunganku waktu itu berada pada posisi yang tidak sewajarnya. Bagi ibu hamil yang normal, kondisi janin atau bayi tepat di perut bagian depan. Akan tetapi, kala itu aku mengandung dengan posisi bayi berada di bagian pinggang sebelah kiri.

Aku tidak tahu betul apakah dia tumbuh dan berkembang di daerah sekitar pinggang? Yang jelas, aku benar-benar merasakan bahwa putriku berkembang pada posisi tubuhku yang sebelah kiri. Kondisi ini tentu begitu berat. Belum lagi aku yang tidak bisa berpindah dari kursi roda ke atas kasur sendiri. Hal ini membuatku sering kali mengelus dada dan selalu meminta agar Allah menguatkanku hingga ia terlahir ke dunia. Sungguh, inilah yang dirasakan oleh ibuku dulu ketika beliau mengandungku.

Di sisi lain, tak henti-hentinya bibirku mengucap syukur. Di tengah-tengah kondisi seperti ini, di mana banyak orang meremehkan bahwa kecil kemungkinan aku akan memiliki keturunan, Allah menunjukkan keajaiban-Nya. Tepat tujuh tahun silam, putriku lahir dengan cara caesar. Dokter kandunganku telah memberikan informasi bahwa aku harus melahirkan dengan cara itu untuk mengurangi segala risiko yang akan terjadi. Aku pun mengikuti saran dokter agar bisa melihat bayi kecilku terlahir di dunia dan merasakan kehangatan di dalam pelukanku.

Tepat pada tanggal 19 Oktober 2012, suara tangisan bayi yang aku rindukan telah terdengar. Suaranya yang melengking memecahkan sunyinya ruang operasi di kala itu. Air mataku tak terbendung lagi melihat tubuhnya yang telah beradu dengan udara AC. Lekas aku memeluknya erat-erat dan dan membisikkan lantunan ayat-ayat Allah pada telinganya—sebelum ayahnya mengumbandangkan azan.

Aku memandanginya lekat-lekat. Melihat mata dan alisnya yang sungguh mirip denganku. Dan bentuk wajah dan bibirnya yang begitu kembar dengan ayahnya. Kulitnya yang lembut bergesekan dengan kulitku. Mendadak aku teringat almarhumah ibuku. Kembali air mataku menetes semakin deras. Aku rindu ibuku. Begitu aku menahan pilu di dalam dadaku.

 

3 dari 4 halaman

Merasa Belum Menjadi Ibu yang Baik

Ilustrasi/copyright shutterstock.com/Kiwis

Segera aku menepis memori-memori kesedihan. Kelahiran gadis kecilku telah menyirnakan segala kerinduanku pada ibu. Semoga, aku bisa menjadi pahlawan untuk putriku, sama seperti ibu yang telah menjadi pahlawan untuk diriku.

Hari, bulan, dan tahun silih berganti.

Perjuanganku membesarkannya ternyata lebih berat daripada aku mengandungnya dulu. Putri kecilku adalah tipikal anak yang bergerak sangat aktif. Perkembangan motorik ataupun kognitifnya begitu cepat. Dia sangat senang merangkak kesana kemari ketika melihat suatu benda yang menurutnya menarik untuk dimainkan.

Dengan kondisiku yang berada di kursi roda membuat diriku kesulitan untuk melindunginya. Ketika dia terjatuh aku tidak bisa dengan cepat menangkap atau membangunkannya. Di saat dia kesulitan mengambil benda yang berada di bawah kolong meja ataupun di atas meja yang agak tinggi, aku juga kesulitan untuk membantunya. Bahkan, ketika ia lapar pun aku terkadang kesulitan membuatkan makan untuk dirinya. Alhasil, dia harus belajar untuk mengatasi segala permasalahannya sendiri, meskipun aku tetap membantu selama aku bisa memberikan pertolongan untuk dirinya. Kondisi suami yang tidak pernah selalu ada di rumah karena tugas di luar daerah mengharuskan aku dan putriku belajar untuk mandiri.

“Astaghfirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim," itulah yang selalu aku katakan di saat batinku sudah berada pada kondisi ingin memberontak karena tidak bisa membantu putriku sendiri yang kesulitan. Tidak jarang, aku menangis sendiri ketika melihat putriku tertidur pulas.

4 dari 4 halaman

Selalu Kusebut dalam Doa

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Akan tetapi, di balik itu semua, aku selalu melindungi dan membantunya lewat doa. Dalam setiap sujud panjangku tak pernah sekalipun terlewat aku mendoakan untuk kebaikan dirinya. Meskipun ragaku tidak bisa selalu ada untuk putri kecilku, namun harapan-harapan baik untuk dirinya selalu mengangkasa. Alhamdulillah, putriku kini sudah menginjak kelas 1 SD. Hafalan juz 30-nya sangat baik, bahkan segala apa yang menjadi keperluannya sudah mulai bisa ia siapkan sendiri. Seragam sekolah, sepatu, jadwal pelajaran, hingga salat lima waktu sudah tidak pernah ketinggalan. MasyaAllah, aku semakin percaya bahwa Allah menentukan takdir kita dengan tidak sia-sia. Selalu ada sesuatu yang menjadi rahasiaNya—dan itulah yang terbaik untuk kita.

Untuk anakku,

Nak, ibu menyadari bahwa ibu tidak pernah bisa menjadi penolong seperti ibu teman-temanmu. Ibu tidak bisa menggendongmu, mengantar, atau menjemputmu sepulang sekolah, bahkan memelukmu saja kamu harus naik ke atas kursi roda ibu. Sungguh, ibu tidak pantas untuk mendapatkan predikat “pahlawan” di dalam kehidupanmu.

Akan tetapi, di dalam keheningan malam ataupun teriknya siang, ibu selalu memanjatkan ribuan doa untuk kebaikanmu. Ibu selalu mendoakan agar engkau selalu diberi kekuatan dan ketabahan.

Terima kasih, telah menjadi titipan Allah yang terbaik untuk ibu.

 

#GrowFearless with FIMELA