Saat Terpuruk Tuhan Pertemukanku dengan Sosok Pahlawanku

Ayu Puji Lestari diperbarui 18 Nov 2019, 16:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Memiliki sosok pahlawan yang sangat berjasa dalam hidupmu? Punya pengalaman titik balik dalam hidup yang dipengaruhi oleh seseorang? Masing-masing dari kita pasti punya pengalaman tak terlupakan tentang pengaruh seseorang dalam hidup kita. Seperti pengalaman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Hero, My Inspiration ini.

***

Oleh: Deka Riti - Palembang

Di pertengahan malam, di antara dentingan jarum jam dinding, mata ini hanya memandang ke satu arah. Kejapan demi kejapannya diselingi dengan tetesan air mata yang sesekali kuseka. Sedangkan pikiran tertuju ke kilas balik cerita kebersamaan aku dan ibuku. Hati ini bertanya, bagaimana masa depan akan kujalani tanpanya. Dan aku melanjutkan lamunanku kembali. Malam itu, sembilan tahun yang lalu, satu hari pasca kepergian ibu untuk selama-lamanya, karena beliau lebih dicintai sang empunya.

Hampir setiap malam di kamar yang bisu, diriku hanya duduk terpaku bersama lamunan. Hidupku terasa kosong. Sebelumnya ada yang terus menerus mau menggenggam jari jemari ini, yang kini terlepas. Sebab, ibu selalu menjadi tempat bepegang di kala aku sakit, terjatuh, dan terjerembap. Rasanya hancur ketika semua hal itu menghilang. Kini aku akan menghadapi kesedihanku sendiri.

Suatu malam, aku mencoba beranjak keluar dari lamunanku. Aku lelah meratap. Aku ingin merubah kenyataan pahit ini menjadi santapan manis yang bisa kunikmati. Pikirku, hidup ini masih panjang dan pantas diperjuangkan meskipun tanpa seorang ibu. Aku sudah sangat mengikhlaskan kepergiannya. Namun, beliau akan selalu di hati mengiringi langkahku menyongsong kehidupan.

Ketika keputusasaanku beranjak pergi, aku mengarahkan pikiranku melanjutkan studi di dunia perkuliahan. Karena saat itu, aku baru menamatkan sekolah menengah atasku. Sendiri, aku mencari-cari perguruan tinggi yang pas dengan kondisiku yang memiliki keterbatasan biaya. Setelah berbagai usaha kulakukan, akhirnya aku menemukan perguruan tinggi negeri yang tidak menghabiskan banyak uang untuk menimbah ilmu di sana. Setelah mendaftar dan diterima menjadi mahasiswi, aku pun menjalankan masa kuliahku.

Empat tahun sudah kuhabiskan waktu kuliah dengan berbagai aktivitas di dalamnya. Selama itu, aku sering mengenang wajah ibuku sebagai penyemangat dan motivasi. Bayang-bayang wajahnya itu mengantarkan aku menjadi lulusan dengan predikat cumlaude. Pencapaian itu aku persembahkan untuk beliau. Aku berharap, Tuhan mengijabahkan doa yang selalu kupanjatkan untuknya.

Setelah itu, aku memasuki fase seorang sarjana yang sedang mencari kerja. Mungkin sebagian besar orang merasa bahwa "susah mendapatkan pekerjaan" adalah momok yang menakutkan. Termasuk aku. Tak ingin strata satu yang sudah kudapat berpayah-payah menjadi sia-sia. Puluhan lamaran pun aku kirimkan di berbagai perusahaan, dalam maupun luar kota. Dan waktunya bagiku menunggu panggilan kerja.

Selang beberapa hari, HRD salah satu perusahaan dari luar kota, meneleponku. Senyum semringah menghiasi wajahku pagi itu. Hal yang ditunggu-tunggu datang juga. Mata berkaca-kaca sambil hati ini berbicara, "Bu, sekarang perjuanganku dalam mencari kerja akan berakhir. Kini aku bersiap-siap memulai perjuanganku dalam mencari nafkah." Aku pun pergi menyebrangi pulau untuk mengikuti tes dan wawancara. Setelah beberapa tahapan pra kerja kujalani, mereka akhirnya menerimaku sebagai karyawan. Meskipun masih dengan status karyawan kontrak, sudah membuatku amat bersyukur.

 

2 dari 3 halaman

Bertahan di Dunia Kerja yang Penuh Persaingan

Ilustrasi stres (iStockphoto/hobo_018)

Prahara sengit dunia kerja pun mulai melandaku setelah 3 bulan berjalan. Target dan tekanan di dalamnya sangat besar. Amat berat rasanya. Kupikir, pekerjaan ini hanya menjadi beban saja, tak sebanding dengan gaji yang kudapat. Belum lagi masalah lainnya yang aku hadapi sebagai anak rantau. Pendapatanku tak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Keinginan untuk resign pun menuntutku. Meskipun, bukan hal mudah bagiku mencari pengganti dengan bekerja di tempat yang baru. Namun, setelah berpikir panjang dan bertahan cukup lama dalam tekanan, akhirnya kuputuskan menjadi pengangguran dan pulang kembali ke kotaku.

Saat itu aku benar-benar merasa gagal dan tidak berguna. Ternyata bekerja itu tak semudah yang kubayangkan. Bagi sebagian orang, mungkin aku berlebihan, mengingat itu adalah perkerjaan pertamaku. Bahkan banyak orang di luar sana berkali-kali keluar masuk perusahaan, sebab ketidaknyamanan dan sebagainya, mereka tidak patah arang. Sedangkan aku yang bermasalah pada pekerjaan pertamaku, lalu tidak mampu untuk mengatasinya, langsung drop dan merasa dititik paling rendah. Apadaya nasi sudah menjadi bubur, aku sudah mengambil keputusan untuk menyerah dan keluar dari lingkaran masalah pekerjaanku itu.

Aku menghibur diriku dengan bepergian ke rumah teman dan saudara. Menutupi keterpurukan, aku mencoba tertawa riang bersama mereka. Menceritakan banyak hal tentang kebahagiaan dan kejenakaan masa lalu. Kesedihanku sejenak menepi. Sayangnya hanya sesaat. Rasa kalutku membuncah kembali ketika aku berada seorang diri di kamar.

Aku berkata pada diriku sendiri. "Aku butuh pundak untuk bersandar sambil melepas penat". Sesaat setelah kalimat itu terucap di bibirku, aku terkenang keinginanku di waktu SMA untuk menikah muda. Sebab itu juga, aku mulai menyadari, semenjak kepergian ibu, aku butuh orang lain untuk menggantikan posisinya. Bukan posisi sebagai seorang ibu, melainkan seseorang yang mau membuka lebar tangannya untuk menggapai dan menggenggam erat tanganku ketika kuterpuruk. Dan jawabannya adalah menikah.

Aku dihantui bayang-bayang keinginanku untuk menikah muda. Keinginan itu terus menerus mendorongku hingga jatuh dan terperosok ke dalam kemustahilan. Mustahil untuk saat itu, karena aku belum memiliki seorang teman dekat pria, apalagi yang disebut kekasih. Bagaimana mungkin mewujudkan impian untuk segera menikah. Lagipula, setelah kehilangan pekerjaan, semestinya aku memikirkan untuk segera mencari penggantinya. Tetapi aku masih trauma dan "down" sekali untuk mulai bekerja lagi.

3 dari 3 halaman

Awal Perkenalan dengan Suami

ilustrasi pasangan/copyright Shutterstock

Pada suatu siang, di kala aku baru terbangun dari lelapku. Dalam keadaan setengah sadar mataku melirik kanan kiri. Ternyata saat itu aku berada di dalam mobil sepupuku yang baru tiba di rumah mertuanya. Dari dalam mobil, aku melihat ada seseorang yang datang mendekat. Pria itu menghampiriku lalu bertanya, "Apakah kamu mau minum es? Siang ini terik sekali." Dan tanpa pikir panjang, didukung dengan aku yang sedang haus, aku pun respek menjawab "iya". Setelah mendengar jawabanku, dia lalu memutar balik motornya yang terparkir di depan rumah dan memboncengku pergi ke warung es.

Kali pertama aku dibonceng pria yang belum aku kenal, selain tukang ojek. Sebenarnya aku tahu kalau dia itu adik dari suami sepupuku, tetapi sebelumnya kami berdua memang tidak pernah bertemu dan belum saling mengenal. Dalam perjalanan kami menuju warung es, tiba-tiba dia membuka pembicaraan dengan menanyakan namaku. Dari situ, perbincangan pun berlanjut sampai ke tempat tujuan. Pertamanya memang terasa canggung, namun semakin ke sini kami berbincang seperti dua orang yang sudah lama kenal. Kesan pertamaku, dia orang yang baik dan apa adanya.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, kami melanjutkan pertemanan melalui "handphone". Beberapa minggu berjalan, intensitas menelepon kami pun semakin sering. Aku mulai berani terbuka tentang diriku kepadanya. Melalui telepon, aku mencurahkan unek-unek yang aku rasakan pada saat itu. Dia pun merespon dengan baik. Dia mengingatkan diriku untuk lebih dekat dengan Tuhan. Menurutnya, solusi terbaik di dalam menghadapi cobaan hidup adalah bersujud, berdoa, meminta ketenangan serta diluluskan dari berbagai ujian. Aku merasa tertampar dengan kalimat yang aku dengar barusan darinya. Sadar bahwa aku hampir terlupa akan Zat yang telah menciptakanku, air mataku mengalir. Selama ini, aku sudah sangat jauh darinya, aku lalai mengerjakan perintahnya. Aku menyesal telah mengesampingkan hal ini.

Aku merasa terbantu dan bersyukur bahwa Tuhan memberiku jawaban atas semua masalahku melalui seseorang untuk kembali dekat dengan-Nya. Dan benar saja, ketika diri ini membawa masalah ke dalam sujud dan doa, hati menjadi lebih tentram. Rasanya plong. Kekalutan sedikit demi sedikit terurai. Aku mencoba bangkit dari kegalauan. Rencana untuk menyongsong kehidupan ke depan mulai aku "list" kembali.

Hari ke hari, aku semakin merasa nyaman dengan pria ini. Apalagi dialah yang telah mengingatkanku kembali akan Tuhanku. Dia juga mau membagi kisah hidupnya sebagai motivasi untukku. Menurutnya, perkara yang pernah dia dapatkan, jauh lebih berat dibanding permasalahanku. Dia juga sempat melangkah ke jalan yang salah. Namun, semua cobaan itu bisa dia lewati dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Katanya, dia seperti terlahir kembali dan menjadi seseorang yang lebih tenang dalam menghadapi berbagai hal. Dan kini hidupnya jauh lebih baik. Sayangnya, aku tidak bisa membagikan kisah hidupnya di sini, yang jelas semuanya sangat menginspirasi dan memotivasi diriku. Hatiku mulai bertanya-tanya, benarkah pria ini? Diakah orang yang dikirim Tuhan untuk menggapai dan menggenggam erat tanganku ketika aku terpuruk? Dan aku tersenyum simpul, malu sendiri.

Singkat cerita, pria inilah yang kini menjadi bapak dari kedua anakku. Pria yang menjadi pahlawan di dalam hidupku. Dia yang telah mengingatkanku akan adanya Tuhan sebagai penolong. Dia yang telah mampu membuatku bangkit dari keterpurukan. Karenanya aku bergairah kembali untuk bekerja dan menjalani hidup. Aku juga sangat berterima kasih dengan semua kisah hidupnya yang telah menginspirasi dan memotivasi dalam kemajuan hidupku. Dan sekarang, dia menjadi pahlawan bagi diriku dan juga anak-anak kami. Suami dan bapak yang siap siaga, yang menjadi tulang punggung sekaligus orang yang membantuku dalam urusan rumah tangga. Kami bersyukur karena memilikinya.

Terima kasih, suamiku. Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya.

#GrowFearless with FIMELA