Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.
***
Oleh: E - Pati
Lahirnya Buah Hati Membuatku Terlahir Kembali
Saya penderita depresi psikotik yang sudah stabil di bawah pengawasan psikiater. Dengan sakit yang saya punya saya hampir tidak ada bedanya dengan manusia normal pada umumnya. Bahkan mungkin bisa dibilang perkembangan yang saya capai lebih baik dari ketika saya belum sakit. Itu semua karena saya tidak atau lebih tepatnya belum tahu apa itu self-love atau mencintai diri sendiri.
Dengan sakit yang saya terima saya tetap bisa menyelesaikan kuliah, bekerja, menikah dan yang lebih membahagiakan saya baru dikaruniai putri kecil. Permata jiwa saya. Semangat hidup saya untuk sekarang dan Insyaallah untuk seumur hidup saya.
Banyak hal menakjubkan yang ingin saya bagi mengenai lika-liku hidup saya sebagai penderita depresi psikotik yang tetap bisa survive dalam kerasnya hidup. Tetapi saat ini saya ingin berbagi mengenai kelahiran putri kecilku. Di mana hal itu adalah peristiwa ter-amazing, yang memberi saya gelar baru sebagai seorang ibu.
Sebelum sakit saya tipikal orang yang patuh, disiplin, dan rikuh. Tipikal orang yang terlalu peduli dengan pendapat orang lain. Kata self-love menurut saya lebih mirip dengan egois. Memikirkan diri sendiri. Jadi semenjak kecil hingga remaja saya menjadi kutu buku, kuper, bahkan untuk sekadar merias diripun saya tidak ingin karena menurut saya mencintai diri sendiri itu tidak ada gunanya. Saya cenderung terlalu keras kepada diri saya sendiri.
Kemudian ketika saya sakit saya sedikit demi sedikit mulai mengenali diri saya sendiri banyak membaca tentang kepribadian diri, bergabung grup kesehatan jiwa sehingga akhirnya saya tahu pentingnya self-love. Self-love jugalah yang menuntun saya untuk mengenal passion. Apa yang sebenarnya hati kecil saya inginkan. Sehingga saya bisa menyelesaikan studi, bekerja, dan menikah bahkan memiliki buah hati sama seperti yang lain, walaupun harus dengan jatuh bangun.
Melahirkan Bayi Cantik
Selang empat bulan menikah saya positif hamil. Saya dan keluarga sangat bersyukur mendengar kabar bahagia itu. Setiap bulan saya rutin kontrol ke psikiater pribadi saya. Selama ini saya harus tetap konsumsi obat tetapi dengan dosis terendah karena kondisi saya yang sudah stabil.
Saya sangat beruntung mendapat keluarga baru (keluarga dari pihak suami) yang sangat care dengan saya. Suami saya juga sangat mencintai saya meskipun dia tahu bahwa saya menderita depresi psikotik dan harus mengonsumsi obat. Ya, walaupun suami saya tidak mendukung sepenuhnya kalau saya harus mengonsumsi obat. Keluarga suami pun belum mengetahui keadaan saya yang sebenarnya.
Dalam masa kehamilan psikiater saya selalu mendukung bahwa saya insyaallah bisa melahirkan bayi yang normal dan sehat meskipun mengonsumsi obat. Karena mengingat obat yang saya konsumsi dosisnya sangat kecil dan tidak berefek ke janin. Bismillah saya optimis bisa melahirkan bayi yang normal dan sehat sama seperti yang lain. Tetapi selepas lahiran saya tidak bisa menyusui seperti ibu lainnya. Karena ASI saya akan terkontaminasi dengan obat, dan itu tidak baik apabila dikonsumsi anak saya.
Trimester demi trimester berjalan. Pukul 9 malam saya merasa kontraksi. Kemudian pukul 6 pagi saya beserta suami menuju puskesmas terdekat. Alhamdulillah jam pukul setengah empat sore bayi saya lahir dengan normal bahkan saya melahirkan tanpa jahitan. Tetapi ari-ari saya tertinggal. Jadi bidan memutuskan saya untuk dikuret dan dirujuk ke rumah sakit.
Semua keluarga berharap cemas mendoakan kesehatan saya. Kemudian pada hari yang paling membahagiakan dengan sangat terpaksa saya tidak bisa bertemu malaikat kecil saya.
Di rumah sakit saya ditemani suami sedangkan keluarga yang lain mengurusi bayi saya. Di rumah sakit saya minta dikirimi foto bayi saya. Yang baru sekilas saya lihat. Saya tahu saya diberi bayi yang luar biasa ketika bayi itu diletakkan di dada saya. Subhanallah, Allah menjawab doa-doa saya. Bayi saya bukan hanya normal secara fisik, tetapi dikaruniai fisik yang sangat cantik. Berulang kali saya sebut asma Allah dalam hatiku.
Berjuang di Tengah Depresi Psikotik
Kuret berjalan lancar. Dokter membolehkanku pulang pagi harinya. Saya bersyukur diberi kelancaran oleh Tuhan walaupun ada beberapa kendala. Psikis saya juga baik. Karena psikiater sempat mewanti-wanti agar tidak lepas obat karena hormon wanita setelah melahirkan akan mengalami banyak perubahan atau biasa dinamakan baby blues atau Post Partum Depression (Depresi Paska Melahirkan).
Sesampai rumah saya disambut tangis bahagia oleh segenap kerabat. Saya sangat bersyukur bisa menimang buah hati saya dan diberkahi keluarga yang sangat mendukung. Tetapi tiba-tiba tante saya meminta saya untuk menyusui. Ya Allah apa yang harus saya jawab? Saya agak syok dengan perkataannya. Saya pikir permasalahan ASI bukanlah sesuatu yang vital. Saya ibunya bertaruh nyawa demi dia. Berjuang melawan psikotik. Kenapa masih dianggap kurang?
Lama kelamaan semakin banyak yang bertanya perihal mengapa saya tidak menyusui. Saya pun selalu berkilah dan berbohong. Hati kecil saya menangis. “Ini semua demi keselamatan kamu, Nak,” kata saya dalam hati.
Beberapa hari kemudian saudara ipar dan mertua mengunjungi saya dan si kecil. Kebetulan selama hamil dan melahirkan saya tinggal dengan orangtua kandung saya. Karena di satu sisi mertua saya sudah lanjut usia. Sehingga tidak bisa membantu saya untuk mengurusi bayi.
Mertua dan ipar sangat concerned tentang ASI. Bahkan ipar sampai bolak-balik datang ke rumah membawakan daun katuk dan jamu sebagai pelancar ASI. Saya tertekan. Saya beban harus berbohong terus di satu sisi suami tidak mendukung saya berkaitan obat psikiater, apalagi fisik saya belum sembuh betul.
Beberapa hari saya kepikiran hal tersebut. Saya merasa sendirian. Ketakutan akan bagaimana penerimaan keluarga suami saya tentang penyakit saya semakin menyeruak di dada. Saya takut mereka tidak menyayangi saya seperti dulu.
Akhirnya saya bercerita dengan ibu saya. Saya menangis dengannya. Saya meminta ibu saya untuk mengatakan keadaan saya yang sebenarnya ke suami saya. Karena ketika saya bercerita ke suami saya dia tidak percaya kalau saya sebenarnya rapuh dan butuh sokongan. Memang saya hampir tidak ada bedanya dengan manusia normal pada umumnya. Tetapi itu sekarang dahulu saya harus mengalami jatuh bangun untuk bisa sembuh.
Diskusi berjalan alot, bahkan saya sempat menangis dan menuruti keinginan suami saya supaya suami saya tahu ketika saya kambuh. Akhirnya, suami pun memeluk saya dan meminta saya melanjutkan minum obat.
Menjadi Ibu yang Kuat
Tetapi malamnya saya tidak bisa tidur walaupun sudah mengonsumsi obat. Dan paginya tiba-tiba saya tidak bisa buang air besar, ambeyen saya kambuh. Saya merasakan kesedihan luar biasa. Saya merasa tidak punya ketertarikan dengan putri kandung saya. Saya merasa bersalah dengan anak yang saya lahirkan. Saya kemudian teringat dengan perkataan psikiater saya. Saya takut terkena Baby Blues.
Keesokan harinya saya kontrol ke psikiater saya. Melihat senyumannya saya merasa ada secercah harapan. Psikiater saya memeluk saya. Menyakinkan bahwa saya ibu yang luar biasa karena mampu melewati semuanya. Anak saya lahir normal dan ibunya juga selamat.
Kemudian saya menceritakan problem yang saya alami. Saya bertanya adakah obat busui friendly (ramah busui). Psikiater dengan bijak menjelaskan bahwa belum ditemukan obat yang tidak menembus ASI. Tetapi keluarga pihak suami sangat mengharapkan saya untuk bisa menyusui. Selama ini saya mengatakan kalau bayi tetap meminum ASI tetapi saya pompa. Psikiater saya mengatakan sampai kapan akan berbohong terus. Beliau menyarankan agar salah satu keluarga pihak suami diajak mengantarkan saya kontrol supaya bisa diedukasi.
Sesampai rumah, saya mulai merenung. Watak saya yang terlalu care dan mempersilakan siapa saja dengan mudahnya menjajah kebahagiaan saya ternyata menjadi bumerang untuk saya pribadi. Semangat saya yang menggebu seharusnya saya alihkan untuk kebahagiaan pribadi saya. Ini hidup saya. Saya sendiri yang berhak menentukan ke mana saya akan melangkah. Bahkan ketika saya sudah mengorbankan hidup dan mati saya pun saya rela “hanya” untuk tidak kehilangan cinta dari keluarga suami saya. Saya yakin dan percaya kalau hati mereka tulus kepada saya. Apa pun keadaan saya mereka akan bisa menerima saya apa adanya.
Setelah itu saya merasa menjadi terlahir kembali. Saya bisa mencintai buah hati saya dengan seutuhnya. Saya bisa tidur nyenyak. Keadaan fisik saya lekas membaik dan menjadi seorang yang bisa mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain.
***
Sudah siap untuk hadir di acara FIMELA FEST 2019? Pilih kelas inspiratifnya di sini.
#GrowFearless with FIMELA