Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.
***
Oleh: Julita Hasanah - Jember
“Gitu aja enggak bisa.”
“Jadi orang kok bodoh banget, sih."
“Ngerjain hal sepele saja, leletnya minta ampun."
“Pantas saja kalau dirimu gagal."
“Yakin deh kamu enggak bakal bisa ngelakuin itu."
Kata-kata di atas dulu tak asing aku ucapkan. Bukan untuk orang lain, kata-kata tak menyenangkan tersebut justru aku tujukan kepada diriku sendiri. Hampir setiap hari, aku selalu menghadiahi diri dengan cambukan kata-kata penuh kekesalan atas kegagalan yang datang. Dari hal sepele yang tak terselesaikan dengan baik atau hal besar yang gagal diraih, rasanya cara termudah adalah menyalahkan diri sendiri.
Masa kecil yang kurang beruntung sebagai korban bullying di sekolah dasar kurasa menjadi alasan kuat mengapa aku mudah sekali menyudutkan diri sendiri. Metode belajar yang kurang tepat saat itu meletakkanku dalam posisi ranking yang tidak strategis. Cap sebagai “anak dungu” lalu melekat menjadi senjata para pelaku bullying yang menyerangku hampir setiap hari.
Teman sekolah yang merundung dan guru yang pelit pujian menjadi paket komplit yang menumbuhkan rasa kurang cinta diri. Kurangnya cinta diri memiliki dampak yang tak main-main bagi kesehatan mental dan jiwaku beberapa tahun silam. Usaha yang kulakukan seolah tak pernah cukup bagiku dan rasa insecure berlebihan selalu menghantui.
Kegagalan yang datang direspons dengan over reaktif. Jika ada masalah dan kegagalan pilihannya hanya dua, fight atau flight. Mencambuk diri dengan kata-kata kasar atau lari dari keadaan yang tak pernah menyelesaikan masalah pastinya. Ya, keadaan tersebut kualami bertahun-tahun.
What's On Fimela
powered by
Menjadi Sahabat untuk Diri Sendiri
Sampai pada akhirnya Tuhan menyelamat jiwaku melalui tangan sahabat-sahabat terbaik. Sahabatku memang tak banyak, hanya terdiri dari beberapa orang saja. Namun, my inner circle selalu mengatakan bahwa aku bisa jadi pendengar yang baik, penasihat jitu bagi orang lain.
Lalu mengapa tak bisa menjadi sahabat terbaik bagi diriku sendiri?
That’s the point, menjadi sahabat terbaik bagi diri sendiri adalah cara paling mudah untuk menumbuhkan rasa cinta diri. Seperti seorang sahabat terbaik, maka diri akan selalu merasa cukup dengan kurang dan lebih yang dimiliki. Seorang sahabat terbaik adalah dia yang menjadi pendengar keluh kesah nomor satu, menjadi supporter di garda terdepan saat diri kita dirundung masalah tak berkesudahan, dan merawat kesehatan jiwa-raga dengan sepenuh hati.
Akulah sahabat terbaik bagi diriku. Rasa cinta diri bukanlah narsisme. Narsisme dan cinta diri adalah hal yang punya makna berbeda. Narsisme adalah saat kita selalu menjadi pembenar atas kesalahan yang dilakukan, dan melemparkan kesalahan itu kepada orang lain. Cinta diri adalah sebuah positive vibes dalam merespon kegagalan ketika kita sudah berusaha semaksimal mungkin.
“Tak apa, kau sudah melakukan yang terbaik. Apa yang terjadi kadang di luar kendalimu. Jangan menyerah, besok kita coba lagi ya sama-sama?" Kata-kata itu adalah hal yang selalu kuucapkan pada diri sendiri saat kenyataan tak sesuai target. Merangkul diri, selanjutnya bangkit dan berani kembali mencoba untuk berjuang mengejar goal dalam hidup. Self love membuatku punya cara yang berjuta-juta kali lebih baik dalam menghadapi kegagalan. Tak lagi over reaktif tapi suportif.
As you become more clear about who you really are, you’ll be better able to decide what is best for you.
Suatu hari aku membuat semacam pemetaan kekurangan dan kelebihan diri. Cenderung ceroboh, mudah terintimidasi, tidak cerdas dengan hal-hal matematis harus diterima sebagai paket kekurangan diri. Bisa berkomunikasi dengan baik, jiwa sosial yang tinggi dan punya kemampuan lebih dengan hal-hal sosial juga merupakan kelebihan yang harus terus diasah.
Self love mendorongku untuk mengenal diriku. Tak hanya memahami kelebihan, concern dengan kekurangan diri juga perlu dilakukan agar bisa menyusun pilihan terbaik dalam menentukan goal hidup dalam jangka panjang. Mengenal diri sendiri membuat kita menemukan power kita yang sesungguhnya.
Sebuah kalimat motivasi dari Oprah Winfrey tak salah jika menjadi pegangan kita. “As you become more clear about who you really are, you’ll be better able to decide what is best for you."
Mungkin kamu pernah tidak beruntung dalam kisah asmara, kita sama. Atau pernah ditolak beberapa HRD perusahaan, aku pun demikian. Mungkin juga sering dianggap kurang cantik sebagai wanita, tak memiliki badan “bagus”, tos kita senasib. Bahkan mungkin pernah mengalami kegagalan terbesar dalam hidup? I feel you, aku juga pernah demikian terpuruk.
Tapi, aku harap kita juga sama-sama bisa menerima semua itu sebagai bagian dari hidup yang tak sempurna. Percayalah bahwa apa pun warna kulit dan ukuran pinggang kita, perempuan berhak dicintai, utamanya dicintai dirinya sendiri.
***
Sudah siap untuk hadir di acara FIMELA FEST 2019? Pilih kelas inspiratifnya di sini.
#GrowFearless with FIMELA