Haruskah Mengorbankan Kebahagiaan Sendiri demi Dicintai Orang Lain?

Endah Wijayanti diperbarui 19 Okt 2019, 09:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.

***

Oleh: Khoirunnisa - Palembang

Dalam kehidupan ini, disukai oleh semua orang adalah hal yang paling tidak mungkin terjadi. Kenapa begitu? Karena kita manusia, tempatnya hati dan logika berkumpul. Kadang mereka selaras, tapi tak jarang mereka berdebat, apa aku benar?

Kadang saat hati dan pikiran tak selaras, kita dibuat bimbang harus mengikuti kata hati atau logika, apa aku benar lagi? Di saat seperti ini, tak jarang kita mengikuti logika. Karena yang dikatakan logika adalah hal yang masuk akal walau sedikit egois, ya namanya juga logika. Namun, ketika kita mengikuti hati, seringkali kita bersikap bak malaikat tanpa sayap yang bersedia mengorbankan apa pun yang kita punya demi membantu seseorang yang kita rasa sedang membutuhkan bantuan. Sesekali tidak masalah, tapi jika terlalu sering mengorbankan diri sendiri demi kepentingan orang lain itu tidaklah benar. Karena itulah kehadiran kita sering dimanfaatkan oleh orang di sekitar kita, dan aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang sering dimanfaatkan oleh orang lain.

“Menolong anjing terjepit." "Air susu dibalas air tuba.” Sepertinya kedua pepatah itu cocok untuk menggambarkan kondisi yang berulang kali menimpaku. Selama ini aku memang seringkali terlampau baik kepada orang lain, aku selalu memaklumi apa pun yang mereka lakukan padaku.

Ibaratnya, saat mereka membutuhkan berlian di dasar sumur, aku rela melompat ke sumur tersebut untuk mengambil berlian yang mereka butuhkan itu. Meskipun aku tidak mendapatkan keuntungan apa pun setelah aku menceburkan diri ke sumur itu, kira-kira sebodoh itulah diriku.

 

 
What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Tak Harus Mengiyakan Segalanya

ilustrasi./Photo by Cxpturing Souls from Pexels

Orangtuaku bilang, “Berhentilah sok menjadi pahalawan kesiangan.” Jujur kalimat itu awalnya menyakitiku karena aku sama sekali tidak memiliki niat untuk pencintraan seperti itu. Semua yang kulakukan demi kebaikan diriku sendiri. Aku takut orang akan membenci dan menjahatiku kalau aku tidak mengiiyakan permintaan mereka.

Aku mengakui di balik sikap baik itu terdapat sebuah pesan, “Aku harap kalian pun akan memperlakukanku seperti ini ketika aku sedang butuh. Kalau pun tidak bisa, cukuplah kalian jangan menjahatiku.” Aku pun berharap mereka dapat mengerti pesan tersembunyi yang kusampaikan itu. Namun, kurasa pesan tersembunyi itu benar-benar tersembunyi, hingga sepertinya mereka tidak dapat menemukan pesan itu.

Beberapa keadaan memang menyakitiku, tapi aku masih saja mengulangi sikap bodoh itu. Hingga akhirnya aku sampai di satu titik di mana aku merasa sangat dirugikan. Aku merasa dikhianati dan aku merasa semua yang ada padaku telah direbut oleh dia yang dekat denganku dan selama ini telah kutolong. Lagi-lagi aku nyaris melakukan kebodohan, aku sempat ingin mundur dari situasi ini dan merelakan sesuatu yang berarti bagiku untuknya. Namun, seseorang menahanku untuk tetap bertahan dan bersikap egois kali ini.

Awalnya, aku menolak sarannya dan tetap bersikeras ingin pergi. Setelah kurenungkan baik-baik dan tanpa emosi tentunya, aku menemukan jawaban. Kali ini aku akan bertahan dan tidak melepaskan sesuatu itu begitu saja. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padanya. Yang kutahu,aku harus menang kali ini tidak peduli seberapa sering aku harus makin hati berulam jantung.

3 dari 3 halaman

Jangan Korbankan Kebahagiaan Sendiri

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Chankowet

Aku bertahan dan terus bertahan, aku katakan padanya apa pun yang mengganjal di hatiku dan apa yang tidak kusukai dari perbuatannya tanpa mempedulikan perasaannya, sama seperti yang dia lakukan padaku. Hingga akhirnya dia sendiri yang menyerah. Dia pergi dengan sendirinya dan komunikasi kami yang telah terjalin selama beberapa tahun pun ikut terputus seiring dengan kepergiannya. Apakah aku senang? Sedikit, perasaanku malah didominasi oleh kesedihan.

Aku sedih karena harus memutuskan tali silaturahmi dengan sesorang yang selama ini cukup dekat denganku, tapi aku tidak menyesali sikapku. Kalau aku tidak bersikap egois seperti itu, mungkin saat ini aku yang berada di posisinya. Mengingat dia tidak segan menyingkirkanku dari jalanku sendiri, meskipun selama ini aku telah banyak membantunya. Syukurlah sekarang aku masih bertahan pada sesuatu yang hampir hilang dariku itu. Aku berhasil mempertahankan sesuatu yang dari awal memanglah milikku.

Mengharapkan untuk dicintai oleh orang lain itu memang tidak salah. Yang salah adalah ketika kita mengorbankan diri dan kebahagiaan kita sendiri demi dicintai oleh orang lain. Berbuat baik pun tidak masalah, tapi yang sewajarnya saja. Kalau keadaan yang memaksa kita untuk menjadi sedikit egois apa boleh buat? Asal jangan menjadi orang jahat.

Kalau ada beberapa orang yang tidak menyukai kita, itu wajar. Kita adalah manusia yang tak luput dari kesalahan, sebelum memikirkan orang lain pikirkanlah diri kita dulu. Jadi, jangan takut untuk mengatakan, "Tidak," jika itu merugikan diri kita sendiri. Pandai-pandailah membedakan yang mana sikap baik dan sikap bodoh, jadilah orang baik bukan orang bodoh. Namun, ingat jangan pernah jadi orang jahat. Be yourself, love yourself!

 

#GrowFearless with FIMELA