Jangan Korbankan Kebahagiaan demi Pria yang Membelenggu Hidupmu

Endah Wijayanti diperbarui 18 Okt 2019, 07:21 WIB

Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.

***

Oleh: Ratna Heryani - Yogyakarta

Hubungan yang sehat adalah hubungan yang terjalin dari dua belah pihak, ketika hanya terjadi dari satu pihak saja maka tidaklah akan berhasil. Perjuangan dan kebahagiaan seharusnya dilakukan baik dari pihak wanita dan pria kan, Sahabat Fimela. Hal inilah yang tidak terjadi dalam hubunganku dengan seorang pria di masa lalu.

Kisahku berawal dari perkenalanku dengan seorang pria yang notabene karyawan baru di kantor. Dimulai dari percakapan-percakapan ringan selayaknya kenalan dengan teman baru hingga akhirnya dia mengutarakan perasaaan sayangnya terhadapku. Awalnya aku menanggapinya dengan biasa saja, pikirku mungkin karena terbiasa denganku saja dan sering menghabiskan waktu bersama hingga dia merasakan perasaan yang berbeda.

Singkat cerita kami berkomitmen untuk menjalin sebuah hubungan, semua terasa sangat indah dan dia juga memperlakukanku dengan begitu romantis. Kami begitu dimabuk perasaan cinta yang ada hingga akhirnya terjadilah perdebatan. Hal yang menurutku kecil dan bisa diselesaikan dengan cepat ternyata tidak bagi dia. Kata-kata kasar selalu terlontar setiap kali dia marah dan selalu berpikiran aku yang salah karena tidak memahami dan mengerti perasaannya. Akhirnya, aku pun meminta maaf setiap kali terjadi pertengkaran dan tanpa aku sadari hal itu berlangsung terus menerus.

 

 
What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Hidupku Dibelenggu

Ilustrasi. (Foto: unsplash.com/Camila Cordeiro)

Semua hal selalu berpusat pada dirinya, seperti ketika dia ada tugas ke luar negeri dia memberikan buah tangan yang itu adalah benda-benda yang memang dia sukai untuk aku pakai suatu saat. Bukan benda yang aku sukai dan sepertinya dia tidak mempedulikan apa saja yang aku sukai dan tidak sukai. Aku mulai dibentuk olehnya, apa yang harus aku kenakan apa yang tidak boleh dikenakan, rambut harus ditata seperti apa, semua adalah atas seijin dia.

Hingga ada satu titik di mana terjadi pertengkaran sangat hebat, dia memaki dan mengeluarkan sumpah serapah di hadapanku karena dia merasa tersakiti seperti sebelum-sebelumnya, aku hanya diam berharap dengan diamku kemarahannya akan mereda. Tapi usahaku sia-sia dia semakin kalap dan tiba-tiba pipiku terasa sagat panas, belum sempat aku menyadari apa yang terjadi dia melayangkan tangannya kembali di pipiku yang satunya.

Sepersekian detik aku hanya termangu dan shock, dia tetap pada pendiriannya dan melempar benda-benda yang ada di sekitar kami. Akhirnya dengan sedikit terisak aku pamit untuk pergi, dia tetap menghubungiku dengan sumpah serapahnya. Hingga beberapa hari kami tidak saling berhubungan lewat media apa pun karena nomorku juga diblokir.

Dua minggu kemudian dia kembali menyapaku seperti tidak pernah terjadi apa pun, dan kembali merayu dengan perkataan dan perlakuan manis. Bodohnya aku pun terjerat kembali dalam pusaran hubungan naïf tersebut. Hal itu berlangsung terus menerus, setiap terjadi pertengkaran dia selalu mengungkit masa laluku dan berkata kasar. Semua sahabatku selalu menasihatiku untuk meninggalkan dia, tapi entah kenapa aku selalu merasa iba dan kasihan setiap melihat dia dan cerita tentang masa lalunya.

Padahal dia pun membatasi ruang lingkup pertemananku, aku tidak boleh berteman dengan sahabatku sendiri. Semua hidupku adalah hidup dia dan dia yang mengambil kendali kehidupanku bahkan waktuku untuk keluarga juga dibatasi olehnya. Aku merasa seperti di penjara, tidak bisa merasakan kebebasan bahkan untuk mengambil sebuah keputusan tentang hidupku sendiri pun tak bisa. Apa pun yang aku ingin lakukan harus selalu seizin darinya. Lelah sangat melelahkan ketika harus selalu berpura-pura di hadapannya tidak bisa menjadi diri sendiri, bahkan untuk me-time pun tidak pernah bisa aku lakukan lagi.

3 dari 3 halaman

Melepas Belenggu

Ilustrasi/copyright unsplash.com/@icons8

Penderitaanku akhirnya bisa berakhir ketika terjadi pertengkaran yang disebabkan aku bertemu dengan temanku yang notabene seorang pria, dia merasa tidak dijadikan prioritas olehku. Sehingga dia merasa terluka dan menyalahkanku begitu dalam. Di saat itu aku memberanikan diri untuk mengambil keputusan... sudah, ini sudah cukup bagiku. Meski dulu aku selalu takut untuk mengakhiri karena dia selalu mengancam dengan berbagai hal. Kali ini aku sudah tidak peduli lagi, yang aku inginkan hanyalah bisa bahagia dengan diriku dan menjadi diri sendiri tanpa harus memakai topeng setiap harinya.

Pada akhirnya kebahagiaan menghampiri setelah beberapa saat berjuang melawan kesedihan semenjak berpisah dengannya, hadirlah sesosok pria yang mampu membuatku menjadi diri sendiri dan kami bisa saling mengisi satu sama lain. Semua ini adalah pembelajaran hidup, tidak perlu kita sesali, kita hanya perlu untuk menerima dan akhirnya merelakan karena semua adalah bagian dari sebuah perjalanan hidup.

Perasaan sayang dan cinta yang mengekang serta membelenggu pasangan bukanlah hal yang lumrah dan sehat. Jangan sampai Sahabat Fimela terjebak dan salah mengartikan, ketika diri sendiri tidak merasa bahagia dan tidak bisa melakukan hal-hal yang disukai karena pasangan, cobalah untuk merenung apakah ini adalah hal yang patut dipertahankan atau ditinggalkan.

#GrowFearless with FIMELA