Tak Usah Buru-Buru Mencari Pasangan, Tuhan Tahu yang Kita Butuhkan

Endah Wijayanti diperbarui 17 Okt 2019, 09:20 WIB

Fimela.com, Jakarta Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti tulisan yang dikirim Sahabat Fimela untuk Lomba My Self-Love Matters: Berbagi Cerita untuk Mencintai Diri ini.

***

Oleh: Deastri Pritasari - Surabaya

Minggu malam selesai dari mengajar anak-anak sekolah minggu, kami membiasakan diri untuk bercengkerama, sharing atau menghabiskan waktu dengan kuliner bersama. Malam itu pesan sebanyak empat kali diperdengarkan dengan sengaja di telinga saya.

“Makanya itu, Dek, kalau pilih pasangan yang bener-bener, jangan sampai menyesal seperti saya.” Ya ini adalah minggu malam kesekian kalinya kami (saya dan seorang ibu muda tersebut) membicarakan masalah pasangan hidup. Sang ibu tersebut bukan hanya sebagai rekan sekerja dan sepelayanan, melainkan sudah seperti ibu dan kakak untuk saya. Banyak hal yang telah kami diskusikan, banyak petuah yang saya dengar, tapi minggu malam kali itu adalah sesuatu pesan yang keras untuk saya. Bukan hanya sang ibu itu yang juga menghadapi keras biduk rumah tangganya, tapi pesan dan petuahnya adalah sesuatu yang keras untuk wanita lajang seperti saya.

Di tengah hari-hari perenungan untuk mengakhiri masa lajang saya, di saat itu pula banyak bermunculan petuah-petuah yang kerapkali membuat saya berpikir lagi dengan matang untuk melangkah. Takut? Tidak, hanya apakah semua berjalan sebaik yang mereka doakan dan harapkan bersama pasangan saya kelak.

Saya menyadari mereka adalah orang-orang terbaik yang bukan hanya mendoakan yang terbaik tetapi mereka juga mengharap dan manantikan yang terbaik untuk masa depan saya, tentunya adalah seorang laki-laki yang baik sesuai ekspektasi mereka. Walaupun saya harus sadar bahwa setiap orang punya pilihan masing-masing yang berbeda.

Sang ibu tersebut, menceritakan pengalaman dan kehidupan rumah tangganya. Bagaimana hubungan dengan suami dan juga masalah keuangan keluarga yang kerapkali menjadi pemicu pertengkaran rumah tangga. Tetesan air mata sang ibu tersebut pertanda bahwa sang ibu sekaligus sahabat saya tersebut mengharapkan sesuatu yang baik untuk saya kelak dengan, "Jangan sampai salah pilih, Dek. Dipikir matang-matang kalau mencari pasangan."

 

 
2 dari 3 halaman

Memilih Pasangan Tak Perlu Buru-Buru

Ilustrasi./Copyright pexels.com/@mentatdgt-330508

Saya sedang menghadapi masa-masa di mana orangtua mengharap sang anak bungsu ini segera mengakhiri masa lajangnya. Di sisi lain cerita-cerita sahabat dan orang-orang terdekat terus menggema sebagai peringatan sakral dalam pencarian pasangan hidup. Dalam masa-masa khusyuk untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dalam masa-masa itu pula menanti peneguhan jawaban. Apa yang saya dapatkan dari semua hal ini, masa-masa tersulit dan penuh dengan kepelikan ini.

Saya menyadari, siapakah manusia yang sempurna dan setangguh itu?

Tidak ada, sekali pun saya tahu persis bagaimana ibu sekaligus teman saya tersebut adalah istri tangguh dengan segala lika-liku dan juga masa-masa berat yang harus dihadapinya sendiri, dia tak sekuat apa yang harus diperjuangkan. Air mata memang bukan pertanda kelemahan, air mata hanya tanda bahwa kita tak bisa sendirian mengahadapi semuanya, kita tak setangguh yang dibayangkan. Dan air mata hanya ingin berkata, “Tolong, mengertilah saya."

“Saya harus siap dengan segala keputusan saya."

Ketika kita siap memutuskan, kita juga harus siap untuk mengahadapi risiko. Pesan ibu sekaligus teman saya tersebut, “Makanya, harus matang dan benar-benar kalau milih pasangan.“ Ini sepertinya adalah sesuatu yang biasa saja, tapi ini nyata dari pengalaman kisah ibu sekaligus sahabat saya tersebut. Sedikit mengalami penyesalan, sedikit merasakan kecewa dan kesedihan hati yang tak kuat lagi. Pelajaran keras untuk saya adalah saya harus berpikir matang-matang untuk pasangan saya kelak. Saya harus memperhatikan banyak aspek dan hal. Apakah hal ini membuat saya menjadi seorang pemilih, yang tidak mau menyadari bahwa setiap orang pasti memiliki kelemahan dan ketidak sempurnaan nya masing-masing.

“Saya harus siap dengan keputusan saya kelak," hanya itu yang menjadi bekal petuah keras untuk saya. Apakah suatu saat saya menemui kelemahan dan ketidaksempurnaan pasangan saya, saya harus siap.

“Saya percaya, Tuhan menyediakan dan memberi apa yang saya butuhkan.” Sang Ibu tersebut, sedikit berkhayal dalam kesedihannya, “Andai, saat itu saya tidak terburu-buru... ."

3 dari 3 halaman

Tuhan Tahu yang Terbaik

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/@zenz

Setiap orang akan mengalami masa-masa “penyesalannya”. Tapi apakah lantas membuat kita menyesal dan kecewa dengan Tuhan. Setiap orang mempunyai ekpektasi terhadap pasangan atau pun kehidupan masa depannya, dan itu adalah sebuah keinginan manusia yang wajar dan tidaklah salah.

Keinginan-keinginan kita bukanlah suatu kebutuhan, keinginan-keinginan kita masih bisa ditunda bahkan diganti. Tetapi kebutuhan adalah sesuatu yang sangat kita butuhkan, yang sangat penting, dan berita baiknya adalah Tuhan tahu persis kebutuhan setiap manusia.

Terkadang kita belum mengerti, dan berbisik dalam hati, “Apa salah saya Tuhan, mengapa pasangan saya seorang yang demikian?" Tuhan sangat tahu apa yang kita butuhkan, bahkan hal terburuk yang kita alami menjadi pelajaran terbaik untuk kita. Tidak semua orang memang akan memiliki kemampuan yang hebat dalam memahami kebaikan di balik kepahitan hidup. Tapi Tuhan tahu apa yang kita butuhkan.

Mungkin Tuhan sedang melatih kita untuk menjadi pribadi yang bersabar dengan pasangan yang saat ini menjadi penyesalan kita. Mungkin Tuhan melatih ketaatan kita kepada-Nya. Mungkin Tuhan membuat kita menjadi istri-istri atau pasangan yang kuat dalam menghadapi kesulitan agar kita bisa menguatkan orang lain yang tengah mengalami kesulitan. Dan kemungkinan-kemungkinan baik yang lainnya yang tidak dapat kita salami.

 

#GrowFearless with FIMELA