Indonesia Menjadi Negara ke 2 Penyumbang Sampah Makanan di Dunia

Anisha Saktian Putri diperbarui 06 Okt 2019, 17:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Bukan hanya sampah plastik saja yang dapat berdampak negatif pada bumi. Tapi tahukan kamu jika sisa makanan atau food lost dan food waste dapat berkontribusi pada krisis iklim.

Sepertiga makanan yang dihasilkan tidak berakhir di piring kita, atau bahkan dibuang ke tempat sampah. Setidaknya demikian menurut ​Food and Agriculture Organization of the United Nations​. The Economist tahun 2016-2017 juga menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara terbesar kedua setelah Arab Saudi yang menghasilkan f​ood waste ​dan f​ood loss​ di dunia.

Sisa makanan tersebut berdamapak negatif pada lingkungan dan iklim, karena kontribusinya terhadap karbon dioksida (CO2​ )​ dan metana y​ang dihasilkan. Menurut Satya Hangga Yudha Widya Putra, B.A. (Hons), MSc, selaku Co-Founder IE2I, isu food lost dan food waste ini jarang dibahas di forum-forum lingkungan nasional bahkan Internasional, padahal isu ini sangat serius.

“Limbah makanan yang berada di tempat pembuangan akhir menghasilkan metana dalam jumlah yang sangat besar. Metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada karbon dioksida (CO2​ ​), yang dapat memperburuk konsekuensi negatif pada pemanasan global, yaitu perubahan iklim. Oleh karena itu, ini adalah masalah yang perlu diangkat dan ditangani oleh kita semua,” tegas Satya Hangga Yudha Widya Putra, B.A. (Hons), MSc, selaku Co-Founder IE2I saat ditemui dalam acara “Food Waste Battle: Why Do We Throw Away Perfectly Good Food?,” di Jakarta.

 

 
2 dari 2 halaman

Yang harus dilakukan

Sampah/Unsplash Tobias

Lalu apa yang harus dilakukan? Azmi Basyarahil, ​CEO dan Co-Founder Ranum Farm, juga menyampaikan peran penting yang dipegang konsumen. Misalnya, masyarakat harus mulai membangun ekosistem pertanian yang lestari dan saling menguntungkan bagi konsumen dan petani, semudah dengan ikut berkontribusi pada ​keberlanjutan sistem pangan, khususnya pangan sehat berkualitas yang dihasilkan dari sumber daya lokal.

“​Every bite of food has a story and impact on families, the environment, and our farmers. Mari bergotong royong! Fokus untuk terus mengkampanyekan cara baru kita dalam mengkonsumsi pangan. Kenali siapa penanamnya, ketahui kisah perjalanan pangan kita sendiri. ​The shorter our distance with food, the better!​" tutur Azmi.

Azmi juga menyampain sebaiknya paham betul cara penyimpanan makanan tersebut. Contoh sederhana seperti menyimpan buah tidak boleh disatukan dengan buah lainnya. “Masing-masing buah itu punya masa kadaluarsa yang berbeda, jadi jangan disatukan cara menyimpannya agar buah yang seharusnya belum busuk jadi busuk,” paparnya.

Satya juga menyampaikan membeli makanan secukupnya saja. “Biasanya kita cuma laper mata saja, ujung-ujung tidak dimakan atau kadaluarsa. Dan kalau makan di restorant tidak habis ada baiknya di take away,” tambahnya.

Melihat masalah food lost dan food waste, Tanipanen mengajak masyarakat untuk beraksi langsung dalam ​climate strike​, dengan mengajarkan cara pembuatan ​eco-enzym dari sampah organik. Peserta yang hadir juga dapat mengikuti langsung sesi ​sensory test untuk merasakan makanan hasil olahan dari produk yang berbeda ​grade.​

Kegiatan ini diharapkan dapat menginspirasi masyarakat untuk mengambil langkah nyata untuk c​ limate strike​.Acara ini juga menjadi permulaan fase kedua gerakan tanipanen di level ​sustainable agriculture. Sebagai salah satu finalis Young Changemakers Social Enterprise Academy (YCSEA)​, tanipanen membuat proyek ​food forest berlokasi di Kediri, Jawa Timur.

Proyek ini kemudian diharapkan dapat menjadi wadah untuk penelitian, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat terkait isu pertanian, kehutanan, dan lingkungan.

“Hal ini dilakukan karena tanipanen percaya bahwa perubahan sistematis untuk mengatasi pemasalahan lingkungan bukan sekadar menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh masyarakat,” papar Whisnu Febry Afrianto, Co & Founder Tanipanen

 

#Growfearless with Fimela