Terhalang Status Ibu yang Seorang Janda, Cintaku Tak Sampai ke Pelaminan

Endah Wijayanti diperbarui 01 Okt 2019, 10:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.

***

Oleh: R. Rizuka - Cilacap

Ya, sampai saat ini, masih terngiang dalam ingatan. Lelakiku, kekasih pertamaku pergi meninggalkanku. Kira-kira satu tahun yang lalu. Malam hari sebelum hari itu datang, kami bersua melalui layar gawai. Aku berada di kamar kosku, waktu itu dia tak berujar sepatah kata pun, hanya menatapku diam. Aku tak menduga sama sekali, bahwa itu adalah tatapan terakhir di antara aku dengannya. Saat itu, aku berada di perantauan tempatku mengenyam pendidikan.

Lalu, kabar itu membuyarkan pagiku, sedih, lemas, rasanya lututku tak kuat menopang tubuhku ini. Aku kehilangan kekasihku yang telah menemaniku sedari dulu. Ya, bapakku pergi selamanya meninggalkanku dan keluargaku. Pagi itu, teman kosku bergegas mengantarku ke stasiun, aku lalu mengirim pesan singkat kepada dosenku untuk membatalkan bimbingan. Melompong, kosong, di sepanjang perjalanan aku hanya terdiam dan menahan isak tangis. Oh iya, tak lupa aku mengabari pujaan hatiku, “Mas, Bapak meninggal," kurang lebih seperti itu pesannya.

Hubunganku dengan pujaan hatiku sudah berjalan begitu lama. Dia adalah sosok lelaki yang baik, kedua orangtuaku sudah mengetahui hubungan kami. Namun saat itu, hubungan kami sedang kurang harmonis. Kami jarang berkomunikasi, dia memintaku untuk melakukan itu, bersabar menunggu dan menunggu. Kami menjalin hubungan jarak jauh (long distance relationship). Aku berada di Yogyakarta dan dia bekerja di Cikarang.

Tak lama dia membalas pesanku, meneleponku, mencoba menguatkanku. Buyar, semua seakan tak berarti. Aku hanya tetap menangis, menangis, dan menangis. Air mataku mengalir terus-menerus. Sampai tiba di stasiun tujuan, kerabatku sudah menunggu di pintu keluar. Sepanjang perjalanan dari stasiun ke rumah aku pun melompong, rasanya kosong. Lalu sesampainya di rumah, aku tak kuasa menahan air mataku. Sudah begitu ramai orang di halaman rumah, aku masuk ke dalam ruang tamu. Kutemukan keranda yang sudah siap dibawa. Aku memeluk ibuku aku menangis sejadi-jadinya. Lemas sekali rasanya, aku tak menyangka, aku tak kuasa.

 

 
What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Hubungan Renggang

ilustrasi/copyright pexels.com/Austin Guevara

Setelah hari pemakaman Bapakku berlalu, aku sudah mulai belajar menerima. Aku yakin, Allah adalah sutradara terbaik dalam hidup ini. Aku selalu mencoba berprasangka baik. Allah takkan keliru, semua akan baik-baik saja. Aku merangkai kepingan semangat untuk kembali menjalani rutinitas. Tak lama kemudian, aku kembali ke Yogyakarta untuk merampungkan tugas akhirku.

Hari-hari berlalu, aku berjuang agar bisa lekas wisuda. Karena tak ingin membuat ibuku terbebani dengan biaya kuliah yang tak sedikit. Hari demi hari, pengeluaran semakin banyak mengingat tugas akhir yang harus revisi berulang kali. Aku harus menghemat, tak boleh minta transferan terus kepada keluargaku. Rasanya sedih, capek, dan hampir putus asa. Tapi akhirnya, alhamdulillah aku bisa melalui tahapan itu dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.

Aku mengabari pujaan hatiku tentang hari wisudaku, berharap dia akan menyempatkan datang di salah satu hari bahagiaku. Tapi tenyata dia tak bisa datang dengan berbagai alasan, aku memaklumi hal itu. Mengingat dia harus bekerja dan jarak yang cukup jauh. Di hari wisuda, aku melihat rona kebahagiaan semua orang. Namun, aku sendiri merasa sedih, teringat almarhum bapak. Remuk rasanya melihat sahabatku yang berfoto dengan keluarga yang masih lengkap. Namun, aku tetap bersyukur dan yakin bahwa almarhum bapak juga turut berbahagia melihat aku wisuda.

Selepas kepergian bapakku, banyak hal yang berubah dalam hidupku. Terutama pada pujaan hatiku, entah apa yang menjadi penyebabnya. Waktu itu, kami sudah merencanakan lamaran di tahun ini, dia bilang kepadaku akan melamar dan menikahiku. Dan hal itu juga sudah kuceritakan kepada ibukku.

Tapi, hubungan kami semakin renggang. Setelah aku wisuda hari-hariku disibukkan oleh pekerjaan kantor. Jarang sekali kami berkomunikasi. Hingga suatu hari, pujaan hatiku memberikan kabar yang benar-benar membuat hatiku remuk untuk kesekian kalinya.

3 dari 3 halaman

Tak Mendapat Restu dari Orangtuanya

Ilustrasi/copyright shutterstock.com

Saat itu, aku sedang sakit, dan sudah diopname selama 3 hari. “Assalamu'alaikum, ada yang mau aku katakan. Ke depan kita sudah tidak bisa melanjutkan hubungan ini," kurang lebih seperti itu isi pesannya. Dalam kondisiku yang setengah sadar aku menanggapinya dengan santai dan menganggap itu hanya candaan semata. Namun, ternyata aku salah, ada hal yang benar-benar sulit aku terima. Aku menanyakan alasan yang membuatnya mengambil keputusan sepihak itu.

“Mau bagaimana lagi, orangtuaku kurang merestui. Di keluargaku tidak dianjurkan menikah dengan anak (maaf) janda. Kalau dipaksakan nanti orangtua yang masih utuh akan ada yang meninggal juga.”

Emosiku tak terbendung, aku menangis setiap malam setelah alasan kurang masuk akal itu selalu terngiang dalam ingatan. Aku berusaha meyakinkan pujaan hatiku bahwa kematian seseorang tidak ada kaitannya dengan pernikahan.

Aku berdoa meminta kepada Allah agar dimudahkan untuk mendapatkan restu. Namun, keputusannya sudah bulat. “Aku dijodohkan, Bapakku ingin aku menikah dengan anak dari temannya, ini salah satu bentuk baktiku kepada orangtua,” ujarnya kepadaku. Tak lama berselang dia sudah bersama wanita lain. Mereka sudah melangsungkan prosesi lamaran, kira-kira tiga bulan yang lalu. Aku masih tak percaya, hingga akhirnya aku mendapatkan bukti sebuah foto. Ya, dia melamar wanita lain. Tanpa peduli betapa remuk dan sakitnya hatiku.

Aku memberitahuka ibuku akan hal itu, aku menangis di depannya. Hari-hariku kacau, tak bersemangat dan hanya mengurung diri di kamar. Semakin hari aku sadar, jika aku begini terus, ibuku akan semakin sakit melihat kondisiku. Aku mulai belajar ikhlas menerima semua takdir dan memulai menata hati agar lebih baik lagi.

Mas, terima kasih untuk selama ini. Aku berharap kasih kami akan selalu tumbuh, namun sampai saat ini, itu semua hanya menjadi kisah. Semoga kami selalu bahagia dan mendapatkan keberkahan dalam menjalani kehidupan. Meski remuk dan sakit melihatmu dengan wanita lain, aku selalu mencoba untuk tegar dan kuat.

#GrowFearless with FIMELA