Lebih Baik Sendiri dan Menanti daripada Berdua tapi Memaksa Hati

Endah Wijayanti diperbarui 07 Des 2020, 14:17 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.

***

Oleh: K - Palembang

“Lupakan cinta jiwa yang tidak akan sampai di pelaminan. Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa,” aku pernah membaca kalimat itu dalam sebuah artikel pada saat kondisiku sedang sangat terpuruk. Ajaibnya, kalimat itu seperti sugesti yang mampu menguasaiku beberapa waktu lalu.

Beberapa tahun yang lalu aku jatuh cinta pada pandangan pertama, untuk pertama kalinya. Pria ini adalah vendor dari perusahaan tempatku bekerja, dia adalah seorang yang sudah mapan, bahkan lebih dari sekadar mapan. Dia juga jauh lebih dewasa dariku, dia memiliki suara yang berat dan sangat khas.

Saat dia berbicara suaranya seakan menggema di ruangan, sering kudengar dia sedang berbicara dengan karyawan dari perusahaannya, bahasanya tetap sopan namun suaranya terdengar sangat tegas. Tapi saat dia berbicara denganku, tidak pernah sekali pun kudengar suaranya meninggi apalagi berucap kata-kata yang kasar. Kuakui kalau prilakunya sangat sopan, tutur katanya pun sangat halus padaku.

Banyak karyawan lain yang mengatakan kalau caranya memperlakukanku dengan sedikit spesial sangat nampak, sehingga seringkali membuat orang lain salah paham. Banyak juga yang mengira aku memiliki hubungan yang lebih dari sekadar karyawan dan atasan dengannya, meski pada kenyataannya aku dan dia tidak memiliki hubungan apapun, hanya sebatas hubungan bisnis.

Aku yang bingung hanya bisa menebak-nebak dan berkutat dalam pikiranku sendiri Bagaimana perasaannya padaku? Bagaimana dia melihatku? Sekadar karyawan kah? Ataukah lebih dari itu? Namun, semua pikiran itu seringkali kutepis dengan kalimat yang terus terngiang di pikiranku, "Jangan mengharapkan lebih, tidak mungkin dia jatuh hati padamu. Banyak perempuan di luar sana yang lebih cantik, seksi serta memiliki pendidikan dan karier yang lebih baik darimu. Seorang pengusaha sukses seperti dia tidak mungkin tertarik dengan gadis biasa saja sepertimu, apalagi dia memiliki fisik yang cukup menunjang. Mustahil kalau dia tidak memiliki wanita saat ini," kalimat itulah yang menjadi penyemangat dan pondasiku agar tidak jatuh terlalu dalam padanya.

 

 

 

 
What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Menahan Perasaan

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/wilaiporn+Hancharoenkul

Sungguh aku berjuang untuk mematikan bunga yang sedikit lagi mekar di hatiku ini, biarlah perasaanku hanya sekadar rasa kagum yang bisa hilang dalam hitungan bulan saja. Karena aku tahu kami tidak mungkin bersatu, mengingat banyaknya perbedaan di antara kami.

Selama beberapa waktu aku mengenalnya sebagai pria yang belum menikah, namun suatu hari aku dikejutkan dengan kabar kalau dia telah memiliki dua istri dan tiga orang anak dari istri pertamanya. Bukan main hancurnya hatiku saat itu, aku sadar kalau aku telah gagal mematikan bunga-bunga yang bermekaran itu.

Perasaanku campur aduk, antara sedih dan merasa bersalah karena telah memendam rasa pada suami wanita lain. Biar pun begitu, di sisi lain aku bersyukur karena dia telah memiliki istri. Selama ini sangat sulit bagiku untuk tidak mengingatnya lagi karena aku tidak menemukan celah apapun dalam dirinya yang bisa membuatku melupakannya. Dengan begini, aku jadi memiliki alasan untuk tidak mengingatnya lagi. Tapi ternyata, belum sempat aku melupakannya telah datang lagi sebuah kabar yang mengatakan kalau isu tentang dia yang memiliki dua istri hanyalah gurauan semata alias hoax, yang benar dia adalah seorang duda dengan tiga anak.

Aku bertambah bingung, yang mana yang harus kupercaya? Terus terang, kabar ini sangat mempengaruhiku. Aku bimbang apakah harus melupakannya atau membiarkan perasaan ini mengalir begitu saja tanpa mengharapkan balasan. Sempat terpikir olehku, andaikan aku berjodoh dengannya, aku akan menyayangi anak-anaknya seperti anak kandungku sendiri, aku sangat yakin bisa mengambil hati anak-anaknya karena aku memang cenderung keibuan. Gila memang pikiranku itu, bagaimana mungkin aku mengharapkan menjadi istri dari seseorang yang bahkan aku tidak yakin kalau dia pun memiliki perasaan yang sama denganku.

Beberapa bulan kemudian aku semakin jarang bertemu dengannya, karena dia memang tinggal di kota yang cukup jauh dari kotaku. Kami tidak bertemu enam bulan lamanya, selama enam bulan itu tidak ada komunikasi yang terjalin walau hanya sekadar berkirim pesan singkat. Momen ini kumanfaatkan untuk melupakannya, kucoba membuka hati bagi pria lain yang telah lama mencoba mendekatiku.

3 dari 4 halaman

Tak Bisa Melupakannya

ilustrasi/Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash

Aku berharap dengan tidak melihatnya dan adanya pria lain dapat membuatku lupa akan dirinya, tapi ternyata semua itu percuma. Meski dia telah lama menghilang, tidak sehari pun aku tidak teringat akan dirinya. Semakin kucoba membuka hati untuk orang lain, rasanya semakin tertutup pintu hatiku. Hingga suatu hari dia datang kembali ke kantorku, aku yang saat itu sedang makan siang mendadak kenyang antara kaget dan berdebar karena tidak menyangka akan kembali melihatnya.

Untunglah aku dikaruniai Tuhan kemampuan untuk mengontrol emosi dan ekspresi dengan baik, sehingga tidak ada satupun orang yang menyadari kalau aku sangat gugup saat pertama kali melihatnya setelah sekian lama. Aku bahkan tidak menyapa ataupun menghiraukannya seperti karyawan lain, aku hanya fokus pada pekerjaanku meski di dalam hati ingin sekali menyapanya. Hari itu pun lewat begitu saja, besoknya barulah kami bertegur sapa. Tapi aku hanya menanggapi candaannya seadanya saja, aku tidak ingin ada yang salah paham lagi. Lagipula aku rasa lebih baik begitu, agar aku bisa hidup dengan tenang.

Dua minggu berlalu, dia masih berada di kotaku. Pertahananku tidak kuat ternyata, aku pun kembali dekat dengannya. Tidak lama setelah itu, dia tertimpa musibah yang disebabkan karena adanya provokator di perusahaan tempatku bekerja, hal ini mengancam usahanya. Dia sedang jatuh, bahkan usaha yang telah dia rintis 17 tahun lamanya terancam bangkrut.

Musibah ini membuatnya harus pergi ke kota yang tidak berjauhan dengan kotaku untuk waktu yang agak lama, selama itu aku berusaha untuk selalu ada untuknya. Aku selalu mendukung dan menyemangatinya setiap kali dia meneelponku entah untuk sekadar bertanya kabar, menceritakan kondisi perusahaannya, atau membagi kegundahannya karena rindu akan anak-anaknya yang berada jauh darinya. Aku sungguh iba akan kondisinya ini, keadaan ini membuatku semakin tulus mencintainya.

Dia pun selalu bilang padaku agar menjaga diri dan jangan khawatir tentang apa pun yang akan terjadi ke depannya, dia juga memintaku untuk selalu mendoakannya. Meski tanpa dia minta pun aku selalu mendoakannya. Tidak hanya dia, aku juga terpukul akan keadaannya yang seperti itu. Karena seakan tidak menemukan titik terang dari permasalahannya ini, aku pun menyarankannya untuk memutuskan kontrak dengan kantorku dan bersabar untuk mencari perusahaan lain saja yang bisa sama-sama memberikan keuntungan.

Awalnya dia tidak menggubris permintaanku itu, namun akhirnya dia setuju untuk putus kontrak dengan kantorku dan akan kembali ke kotanya, dia juga sempat berjanji padaku untuk ke kotaku dulu sebelum dia pulang ke kotanya. Pada akhirnya aku berpisah lagi dengannya, aku sudah tahu konsekuensi yang akan kutanggung jika aku menyampaikan saran seperti itu. Aku tahu kalau dia memutuskan kontrak dengan kantorku maka akan semakin sulit bagiku untuk bertemu dengannya, atau mungkin aku tidak dapat lagi bertemu dengannya. Tapi biarlah aku berkorban sedikit, dia punya seorang ibu dan tiga anak yang harus dia nafkahi. Aku tidak bisa egois untuk memintanya bertahan pada keadaan yang semakin hari semakin merugikannya.

Setelah itu, dia kembali menghilang satu bulan lamanya, aku sangat penasaran akan keberadaannya namun aku tidak memiliki niat untuk mencari tau di mana dia karena aku yakin dia tidak mungkin mengingkari janjinya untuk menemuiku dulu sebelum kembali ke kotanya. Sayangnya itu semua hanya omong kosong saja, suatu hari salah satu teman sekantorku meneleponnya untuk membahas urusan kantor, dan aku dengar dia bilang bahwa dia sudah kembali ke kotanya.

Aku kembali terpukul untuk kesekian kalinya, dia bahkan tidak mengabariku kalau dia langsung pulang ke kotanya. Bodohnya selama ini aku tetap menunggunya dengan penuh keyakinan yang hanya bermodalkan janji palsu yang telah dia ucapkan. Semua ini sangat mengganggu batinku, selama beberapa bulan aku seolah menjadi phobia dengan segala hal yang berhubungan dengannya. Bahkan aku sangat benci, marah dan sedih hanya karena melihat mobil yang serupa dengan mobilnya yang dia tinggalkan di sini.

Aku menjadi temperamen, emosiku tidak terkontrol. Aku sering marah dan menangis hanya karena masalah sepele, aku bahkan bisa menangis hanya karena menonton film yang sedih. Padahal aku termasuk orang yang susah untuk menangis, tidak peduli sepahit dan sesakit apa masalah yang sedang menerpaku. Tapi kali ini, aku merasa begitu terpukul, aku sangat kecewa. Tadinya aku tidak percaya kalau cinta bisa mempengaruhi jiwa seseorang dengan sedemikan rupa, tapi sekarang aku membuktikannya sendiri.

4 dari 4 halaman

Memutuskan untuk Sendiri

Ilustrasi./Copyright pexels.com/@d-ng-nhan-324384

Ternyata benar kata orang, cinta itu buta. Itulah yang sedang kualami, aku seakan buta dengan semua perlakuannya yang berulang kali menyakitiku. Aku kembali jatuh ke dalam pelukannya hanya karena dia kembali datang dan mengucapkan kalimat yang sedikit memberiku harapan namun mampu menggetarkan hatiku. Dia tetap menghubungiku meski hanya satu atau dua minggu sekali, satu bulan sekali, terkadang tidak sama sekali. Tidak mengapa, asalkan dia baik-baik saja.

Sampai saat ini aku masih menunggunya, aku terus berdoa agar dipertemukan kembali dengannya meski tidak di dunia, aku yakin Tuhan akan mempertemukan kami di keabadian. Seperti Nabi Yusuf yang kembali dipertemukan dengan Nabi Yakub setelah terpisah bertahun-tahun lamanya, tidak ada yang tidak mungkin di muka bumi ini. Insyaallah aku akan terus mencoba sabar dan ikhlas dalam penantian ini, aku juga terus memperbaiki diri.

Aku tidak lagi bingung apakah harus melupakannya atau mempertahankan perasaanku ini, aku sudah memutuskan untuk menyimpan kenangan yang tanpa sengaja telah dia berikan padaku dengan baik. Tidak ada niat sedikit pun dari dalam diriku untuk melupakannya dan semua tentangnya, aku memilih untuk berdamai dengan sakit hatiku dan menikmati perasaan ini mengalir agar aku bisa kembali hidup dengan tenang.

Tidak sehari pun aku merasa kehilangannya, biarlah doa menjadi teropongku untuk memantau keadannya. Seperti yang dikatakan oleh orang tuaku, "Jodoh tidak akan ke mana," aku hanya bisa terus berdoa agar Tuhan menjaganya dan anak-anaknya.

Sampai sekarang foto dia dan anak-anaknya selalu tersimpan rapi di dalam dompet, novel dan handphoneku, semua itu kulakukan sebagai antisipasi karena aku takut lupa dengan wajahnya, walau sebenarnya hal itu tidak mungkin terjadi karena dia selalu datang ke mimpiku. Perasaanku padanya sudah terlalu dalam, awalnya aku berpikir, "Cinta pertamaku berakhir seperti ini," tapi sekarang aku hanya berpikir, "Ini adalah awal yang tidak memiliki akhir."

Sampai saat ini sudah ada tiga pria yang meminangku, namun tidak satu pun di antara ketiga pria itu yang mampu meluluhkan hatiku. Aku tahu orang lain pasti akan menganggapku bodoh karena menunggu sesuatu yang tidak pasti, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menumpuk dosa yang sudah ada dengan dosa yang baru, apa jadinya jika aku menikah dengan orang lain, sementara hatiku masih ada padanya? Sedangkan dalam agamaku dijelaskan bahwa surganya seorang wanita yang telah menikah ada pada suaminya.

Pesan yang ingin kusampaikan kepada Sahabat-Sahabat Fimela di luar sana, jangan mudah luluh akan ucapan manis laki-laki. Jangan hiraukan cinta yang kamu tahu hanya akan menyakitimu, jangan sampai kamu terjebak dalam situasi yang akan merugikanmu. Cukuplah aku saja yang dikalahkan oleh cinta yang tak utuh ini, jangan sampai ada orang lain lagi. Aku harap kalian dapat mendoakan aku, agar aku tetap kuat untuk sendiri dalam penantian ini seberapa pun lamanya, dan tolong doakan agar penantianku selama ini tidak sia-sia. Semoga kisahku ini dapat memberikan pelajaran dan peringatan bagi yang sedang jatuh cinta.

Lalu untuk kamu yang hanya mampu kuperjuangkan dalam doa, suatu hari kamu harus tau kalau cinta yang kuberikan untukmu sangatlah tulus, aku tidak mencintaimu karena harta atau pun fisikmu. Aku mencintaimu dengan segala konsekuensi, asalkan kamu bahagia maka aku akan bahagia. Meski bahagiamu tidak bersamaku, meski aku tahu kamu tidak membaca tulisanku ini, I’ll be waiting for you, regardless of who you are, when you’re rich or poor, when you’re young or old, I still love you.

#GrowFearless with FIMELA