Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
***
Oleh: Syifa Sihrien - Tangerang Selatan
Berawal dari salah kirim dalam bertukar pesan, benih-benih rasa pun timbul perlahan. Kami satu sekolah semasa SMA dahulu, namun sayang aku tak pernah tahu. Maklum, teman lelakiku tak banyak. Apalagi beda jurusanlah yang membuat semesta tak urung mengenalkan. Hingga saatnya tiba, ia datang membuka percakapan.
Percakapan itu tercipta dan mengalir begitu saja, yang kutanggapi dengan tetap berusaha ramah dan berlaku sewajarnya. Seolah mengingat masa SMA, yang sebenarnya tak pernah sefrekuensi dalam bernostalgia. Tapi, kau tahu? Kurasa membicarakan masa depan begitu nyaman dengan ia yang ternyata menyatakan rasa itu duluan. Ya, secepat itu ia menyatakan, dan itu benar-benar di luar ekspektasiku yang tak pernah mengharapkan. Ia tak pernah berkata dengan lugas untuk meminta, tetapi sungguh jelas caranya memperlakukanku bak permaisurinya.
Perkenalan yang berawal dari aplikasi obrolan, membuahkan benih-benih rasa tak tertahankan. Di usia yang sudah cukup matang ini, kurasa kami tak perlu basa-basi lagi. Sudah bukan lagi waktu untuk mempermainkan hati. Menyatakan kemudian membawa ke arah serius adalah bentuk kedewasaan. Ia berkali-kali meminta untuk menemui orangtuaku, tapi kupikir tak semudah itu. Meski rasaku sama, tapi pendidikan adalah yang utama.
Ya, kami masih sama-sama menempuh pendidikan perguruan tinggi, dan sayangnya ribuan kilometer terpaut di antara kami. Namun, bukan berarti aku tak pernah bertemu dengannya sang tambatan hati. Semesta kerap kali mempertemukan, setiap ia ada jadwal pulang ke kampung halaman. Reuni SMA pun menjadi momen yang tak bisa kulewatkan, setelah sebelumnya untuk sekadar berangkat adalah hal yang membosankan. Beberapa kali mata kami bertemu, memberikan kode-kode yang tak orang lain tahu. Kemudian berusaha melipir ke tempat sepi, untuk sekadar melepas rindu bagai dua sejoli.
Tidak ada yang tahu hubungan kami, kecuali ia yang dengan sengaja mengumbar dengan menandai akun media sosialku di sana-sini. Bukan aku tak cinta atau pun tak setia, tapi aku hanya ingin rasa ini milikku saja, tanpa ada campur tangan orang lain yang senang mengulik dunia orang yang sedang berbunga-bunga. Lagi pula, untuk apa mengumbar percintaan yang belum tentu benar adanya?
Baik, kuberitahu prinsipku. Aku benar tak akan percaya pada siapa pun yang gemar mengumbar, tapi ciut ketika kuminta menghadap untuk membawa mahar. Bukan ia tak mau, namun waktu yang terlalu dini membuatku enggan untuk percaya bahwa ini cinta sejati. Sekali lagi, ini masih terlalu dini. Lagi pula, apa sih yang akan dibawa jika predikat mandiri saja belum dapat disandangnya?
Jadi begini, meski rasa ini begitu dalam, namun sungguh aku tak mampu percaya pada rasa semu yang berakhir kelabu. Lihat saja, belum lama ia berjanji sekian lembar banyaknya, sudah kandas di halaman pertama. Dia pikir ini yang disebutnya dengan perjuangan cinta?
Menanti
Tiba-tiba ia pergi, menghilang dengan jejak-jejak yang tak kukenali. Masih banyak daftar janji yang belum terpenuhi, termasuk janji sehidup semati yang kurasa tak akan pernah terealisasi. Ia pernah berkata (lagi-lagi tak pernah lugas seperti biasanya), namun dapat sedikit kucerna maksud dari setiap tuturnya. Ia bilang akan buktikan janji, ia bilang akan segenap hati memenuhi, ia bilang akan datang pada waktu yang pasti, ia bilang akan menjadikanku permaisuri sehidup semati.
Jika kau bertanya, apakah aku sakit ketika ia pergi? Oh baik, jika kau wanita, kau sudah pasti tahu jawabannya. Jadi tolong jangan tanyakan lagi. Seidealis apapun seorang wanita, pasti akan luruh ketika hati turut berkata. Ia bilang cinta dan akan buktikan segalanya, bagaimana seorang wanita tak akan terbuai dibuatnya?
Tak banyak yang aku harapkan. Namun jika benar ia akan datang membawa secercah masa depan, hati siapa yang menolak meski harus temui berbagai hujatan? Terlebih rasa itu datang dari ia yang tak bertuan. Siapa yang bisa mengontrol keadaan? Bukankah hati tak pernah bisa sepadan dengan akalmu yang akan selalu terkalahkan?
Dalam masa penantian, aku berharap dapat memperbaiki diri serta memantaskan diri menuju sang pujaan. Biarkan kami sama-sama berjuang sendiri-sendiri dahulu, sebelum berjuang bersama sebagai satu keluarga. Biarkan kami memantaskan diri dahulu, sebelum dikenalkan kepada seluruh sanak saudara.
Baik, rasa ini kupendam dahulu, kisah ini kutangguhkan dahulu. Biar rasa manisnya masih terasa sampai akhir, meskipun harus melewati berbagai macam getir. Agar semua tahu bahwa lelahnya perjuangan, akan berakhir indah di atas pelaminan.
Untuk ia, yang masih kutunggu akan membawaku ke pelaminan, menuju masa depan dengan segumpal harapan.
#GrowFearless with FIMELA