Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
***
Oleh: P - Sampit
Berbicara tentang cinta, tentu beragam kisahnya bagi setiap individu termasuk aku. Di usiaku yang pas tiga puluh tahun, aku kira aku sudah melewati berbagai macam rasa cinta. Dari mulai cinta yang menggebu tanpa peduli apapun, hingga cinta yang lebih dewasa menurutku.
Cinta yang kurasakan saat ini berbeda sekali dengan cinta yang kurasakan saat usiaku masih belasan tahun. Dulu ketika usiaku masih belia, sepertinya dangkal sekali aku memaknai cinta dan mencintai. Sosok yang dicintai pun berbeda, masih memilih yang berparas rupawan dan berotak cemerlang. Masih menuliskan kata cinta pada buku harian dengan ucapan "I love you forever" dan sejenisnya. Yang paling aku ingat dari kisah cinta remajaku adalah kami sama-sama masih malu-malu. Sekarang jika mengingat masa itu, rasanya konyol sekali masa remajaku.
Ada beberapa sosok idaman yang datang dan pergi. Ada yang dekat hanya sekadar dekat, entah kenapa meski rasanya nyaman tapi tak ada niatan untuk mengungkapkan cinta atau pun meresmikan hubungan. Aku bukan tipe yang mudah mengiyakan perasaan lawan jenis, tapi dengan suamiku saat ini rasanya mudah sekali menjawab, "Iya." Pada awal hubungan kami dulu, beberapa temanku bahkan bilang kalau si dia tidak serius dan cuma mau memanfaatkan aku saja. Karena pada waktu itu kami sedang di tahun terakhir kuliah dan sedang menjalani masa pelatihan kerja. Aku yang waktu itu sudah terlanjur mengiyakan pun pasrah saja jika memang benar apa yang dikhawatirkan teman-teman.
Beberapa bulan berlalu dan aku rasa apa yang dikatakan teman-temanku tidak benar. Si dia malah yang banyak aku repotkan dalam berbagai hal. Di saat kami sama-sama sibuk mengerjakan skripsi, ujian pertama dalam hubungan kami datang. Aku katakan pertama karena sebelum itu kami baik-baik saja bahkan hampir tidak pernah bertengkar serius.
Hubungan Jarak Jauh
Saat itu gadis dari masa lalunya datang. Gadis cantik yang aku tahu dulu sangat dicintainya. Saat itu aku memang tidak cukup percaya diri bahwa dia akan memilihku, mengingat aku tahu dia mengalami hari-hari yang sulit setelah gadis itu pergi begitu saja dulunya. Dan aku yang saat itu masih di usia 22 tahun, benar-benar menganggap bahwa aku tidak cukup rupawan dibandingkan dengan masa lalunya. Aku masih berpikir si dia akan kembali pada masa lalunya yang cantik. Aku cukup terkejut ketika si dia tetap memilih bersamaku meski ajakan kembali dari masa lalunya cukup menggiurkan. Setelah itu sepertinya perasaanku bertambah untuknya, entahlah. Kami masih bersama hingga lulus kuliah.
Aku yang saat itu sudah sedikit berpikir untuk lebih serius juga sudah cerita dengan orangtua, kami juga sudah bertemu orangtua masing-masing. Bukan pertemuan resmi, hanya sekadar berkenalan. Kami pun menjalin hubungan jarak jauh. Aku kembali ke kampung halaman dan bekerja sedangkan dia melanjutkan kuliah magisternya di kota yang sama tempat kami kuliah.
Hubungan jarak jauh memang lebih banyak godaannya kata orang, begitu pun bagi kami. Godaan datang dari dalam dan luar. Mulai dari rindu, rasa bosan tidak bisa bertemu hingga orang-orang ketiga, ke empat, ke lima dan seterusnya yang datang. Tapi, sekali lagi kami berhasil melaluinya dan bertahan. Tapi aku rasa waktu itu cintaku masih cukup menggebu-gebu sehingga aku berpikir aku harus mengakhiri hubungan jarak jauh ini.
Di saat yang sama ada lowongan pekerjaan yang memang sudah aku incar dari dulu di kota tempat kami kuliah. Aku meyakinkan oran tuaku dengan berbagai bahasa persuasif bahwa pekerjaan ini bermasa depan lebih cerah dan baik padahal saat itu tujuan utamaku hanya untuk dekat dengan si dia. Aku berusaha sekuat tenaga melewati tahap demi tahap tesnya hingga akhirnya aku diterima. Berakhirlah hubungan jarak jauh kami.
Dua tahun lagi berlalu tanpa masalah yang serius. Si dia sudah selesai kuliah dan kembali ke kampung halamannya. Usiaku sudah memasuki pertengahan dua puluhan. Tapi saat itu aku masih menikmati berkarier, hanya saja orang tuaku sudah mulai mendesak untuk menikah.
Menjaga Komitmen Cinta Bersama
Pada akhirnya aku juga mendesaknya untuk menikah. Wajar saja, kami sudah cukup lama bersama. Kupikir sudah saatnya kami berjanji di hadapan Tuhan. Tapi si dia tidak langsung mengiyakan, dengan alasan dia baru saja bekerja dan belum mempunyai cukup tabungan. Kami menjalani hubungan jarak jauh kami untuk kali kedua. Dalam usia yang lebih dewasa. Tapi cinta tetaplah cinta, bukan? Dan rindu tetap rindu meski nanti kita di usia setengah abad sekalipun. Dan hubungan cinta jarak jauh tidak pernah mudah bagiku, mungkin juga bagi sebagian orang lain. Godaan datang dan pergi seakan terus hidup meski telah dibunuh.
Setelah banyak perbedaan pendapat dan beberapa pertengkaran, akhirnya dia datang melamar. Tapi cobaan datang lagi, sepertinya untuk menguji seberapa kuat cinta, niat dan ketulusan kami dan keluarga untuk menjadi satu. Situasi kami saat itu cukup rumit, ditambah dengan hubungan jarak jauh kami yang berbeda pulau semuanya serasa butuh perjuangan lebih. Butuh cinta yang lebih kuat, butuh doa yang lebih khidmat juga isi ATM yang lebih gendut. Entah berapa yang sudah dia habiskan untuk menyelesaikan masalah kami saat itu, bolak balik dengan pesawat bukan hal yang murah buatku. Semua tidak sia-sia, kami akhirnya menikah.
Jika diingat kembali, yang pernah hadir sebelumnya mungkin berparas lebih tampan, berperilaku lebih dermawan, atau berkarier lebih cemerlang tapi belum tentu mau berjuang sedemikian sehingga bisa bersanding di pelaminan. Dan cinta setelah di pelaminan menjadi lebih tulus kurasakan. Meski tidak ada kata romantis ataupun gombalan manis, tapi ada buah hati pengikat cinta kami.
Meski tak ada buket bunga di malam minggu, tapi si dia selalu siap membantu. Meski tak setiap kali saling berkata, "I love you," tapi si dia lah yang pertama bingung ketika aku terluka. Meski tak ada nama "my queen" atau "my love" di ponselnya, tapi akulah yang paling sering dia hubungi. Meski tak sering nongkrong di kafe seperti waktu pacaran dulu, tapi melihat si dia membawa nasi kotak yang dia dapat dalam rapat atau acara pulang karena ingat aku akan suka sudah cukup membuatku paham perasaannya.
Tapi hidup tidak akan pernah sepi dari ujian. Sepertinya cinta kami diuji kembali, aku pindah tugas dan kami menjalani hubungan jarak jauh lagi. Kali ini dengan cinta yang sudah cukup banyak melewati masa. Dengan hati mungil buah cinta kami yang utama. Dengan definisi cinta dan mencintai yang berbeda. Mudah-mudahan Tuhan selalu membantu menjaga cinta kami hingga ke surga.
#GrowFearless with FIMELA