Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti tulisan Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
***
Oleh: Tari Gustiari - Cianjur
Cinta itu pahit. Cinta itu adalah sebuah rasa sakit. Cinta itu bentuk lain dari egois seseorang. Aku teringat akan kata-kata itu saat pertama kali bertemu dengannya, lelaki yang kala itu menjadi alasanku tersenyum sendirian di kala sepi.
Saat itu aku tidak tahu apakah ini cinta atau sebatas rasa suka. Yang kurasakan hanya debaran kencang yang ada di dalam dada setiap kali mataku berpapasan dengannya. Dia adalah laki-laki yang cerdas, tampan, dan menarik. Saat pertama kali aku melihatnya, mataku tak bisa lepas darinya. Konyol.
Saat itu aku baru menginjak 17 tahun. Dan yang lebih konyol adalah selama tiga tahun bersekolah di SMA yang sama, baru saat itu aku melihatnya. Kami bertemu saat sekolah kami mengadakan acara besar yang mengharuskan para siswa yang mengikuti berbagai organisasi di sekolah menginap satu malam. Saat pertunjukan berlangsung, dia yang mewakili ekstrakurikuler karate maju membawa gitarnya. Bernyanyi di hadapan kami semua. Dipayungi bintang malam yang indah.
Namanya Aldo Saveri. Orang-orang biasa memanggilnya Aldo. Dia adalah murid jurusan IPS, satu angkatan denganku. Dia tidak terlalu tinggi, dengan kulit putih dan rambut yang ikal. Pembawaannya tenang. Saat pertama kali berbincang dengannya, aku sudah bisa merasakan jika dia adalah orang yang baik. Dan saat mendengar dari orang lain, aku semakin yakin jika dia adalah laki-laki yang baik untukku.
Setelah kejadian itu, aku semakin sering melihatnya di sekolah. Entahlah, mungkin dia terlalu sibuk di kelas sampai jarang sekali aku melihatnya di kantin atau area sekolah lain. Aldo juga sepertinya selalu berangkat pagi sekali dan pulang lebih sore dari murid lainnya. Aku semakin senang walau hanya melihatnya bercanda gurau dengan temannya. Melihatnya tersenyum dan berbicara dengan serius. Ah, aku sangat menyukainya!
Jatuh Cinta
Hujan turun dengan lebatnya sore itu. Aku memilih menunda kepulanganku dan berdiam di sekolah bersama Tania, temanku yang juga memilih menunda kepulangannya karena hujan. Tak juga kunjung reda, aku memiilih menceritakan kepada Tania bahwa aku menyukai Aldo, cowok jurusan IPS yang mengikuti ekstrakurikuler karate. Tania terlihat antusias karena ini adalah kali pertama aku bercerita bahwa aku menyukai seseorang di sekolah. Aku juga mengatakan jika mungkin aku hanya sekadar mengaguminya saja. Dan tidak mempunyai keinginan untuk menjadi teman dekatnya. Tania berkata bahwa sebenarnya Aldo adalah tetangganya. Itu membuat aku terkejut pada awalnya. Tapi Tania berkata bahwa dia dan Aldo tidak saling mengenal secara personal. Karena dia baru pindah 2 tahun sebelumnya. Tania juga berkata bahwa Aldo adalah pria yang baik. Dia sering membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah seperti berkebun. Itu membuat aku semakin menyukai Aldo.
Keesokan harinya, aku melihat Revan, cowok yang satu kelas denganku selama tiga tahun ini berdiri di depan rumahku dengan raut wajah yang sulit kujelaskan. Revan menjelaskan kedatangannya pagi itu hanyalah untuk menanyakan apakah aku akan bersekolah atau tidak. Katanya jika tidak ingin sekolah karena sakit, Revan akan membuatkan surat untukku.
Oh iya, mungkin dia melihat postinganku tadi malam yang menunjukkan bahwa aku sedang demam. Aku tersenyum, memegang pundaknya dan mengatakan jika aku baik-baik saja. Setelah itu, kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Bicara tentang Revan, aku jadi teringat akan sikapnya yang aneh belakangan ini.
Revan memang cowok yang baik. Dia juga memiliki postur tubuh yang tinggi tegap, membuatku yang pendek ini harus mendongkak jika berbicara dengannya. Selama tiga tahun ini, dia juga tidak pernah melakukan kenakalan seperti remaja pada umumnya. Dia adalah sosok teladan yang sering dibicarakan guru. Entah itu masalah kepintaran, kerajinan, bahkan keaktifan. Tapi yang membuatku aneh adalah dia menjadi sering mengirimiku pesan lewat media sosial. Entah itu menanyakan kabarku, atau hanya sekadar menanyakan PR yang kuduga pasti ia telah mengerjakannya. Ditambah dia sering menanyakanku pada teman-teman yang lain. Yang menjadi pertanyaanku, untuk apa dia melakukannya?
Dicintai atau Mencintai
Kembali ke dalam kisah cintaku, aku semakin senang bahwa aku dan Aldo menjadi dekat. Terima kasih pada Shafa, temanku yang telah mengenalkanku padanya. Semakin mengenalnya, aku mengetahui jika Aldo adalah orang yang cukup pendiam dan tertutup. Dia mungkin orang yang baik. Tapi selama aku mengenalnya, Aldo seringkali mengabaikan pesanku. Apakah aku kurang mengasyikkan? Atau dia memang tidak mempunyai waktu untuk membalas pesanku? Aku bertanya tentang ini pada Tania dan dia mengatakan jika mungkin saja Aldo sibuk menata masa depannya. Karena yang kudengar dari Tania, dia sangat ingin masuk perguruan tinggi negeri yang terbaik.
Dari sana aku mengerti dan sikapnya itu membuatku juga ikut bertemangat meraih cita-citaku dan lulus dengan hasil memuaskan. Selama jangka waktu yang cukup lama, aku tidak pernah lagi berbalas pesan dengannya. Aku terlalu sibuk dengan bimbel dan semua aktivitas lainnya, dan mungkin juga dia sibuk dengan pembelajarannya. Tapi tak lupa aku selalu mengecek media sosialnya saat malam hari, dan berharap jika dia mengirimiku pesan untuk sekadar menanyakan kabarku. Aku memang tidak berharap lebih, tapi siapa perempuan yang tidak senang jika orang yang dia sukai, juga mencintainya?
Di saat aku melihat Tania bersama dengan Aldo, memakan eskrim bersama sambil tertawa, pikiranku dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang mengarah pada satu tujuan. Kenapa Tania bisa bersama dengan Aldo? Kenapa Aldo tidak pernah lagi membalas pesanku? dan kenapa Aldo tidak pernah tertawa seperti itu saat sedang bersamaku?
Aku sangat kecewa pada saat itu. Aku kecewa pada Aldo, kepada Tania, dan terutama kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak menyadari bahwa mustahil Tania tidak mengenal Aldo karena mereka pernah satu kelas sebelumnya saat kelas 10. Dan aku semakin yakin dengan dugaanku karena belakangan ini Tania seringkali berangkat pagi sekali. Dia berkata bahwa ayahnya harus berangkat pagi sekali, karena itu dia selalu berangkat pagi.
Aku menangis saat itu, memukul kepalaku karena menyadari jika ini semua berawal dari kebodohanku. Dan semakin sakit saat menyadari jika temanku sendiri yang melakukan ini semua. Mempermainkan perasaanku. Kenapa Tania melakukannya? Kenapa? Aku semakin marah karena perasaan bodoh ini masih tetap ada walaupun Aldo sudah melakukan ini semua padaku. Dan aku marah padanya karena dia mungkin saja sudah mengetahui perasaanku padanya, tapi kenapa dia membiarkannya? Harusnya sejak awal, dia memberitahku kalau dia sudah memiliki teman dekat dan menyuruhku menjauh. Tapi Aldo tetap dia saja. Dan untuk Tania, jika saja dia memberitahuku, mungkin perasaan yang waktu itu masih berupa benih, tak akan ku pupuk sampai sebesar ini. Aku kecewa. Aku sungguh sangat kecewa.
Membiarkan tahun itu berjalan dengan seperti yang seharusnya, aku semakin menyadari jika ini semua memang kehendak takdir. Ini semua bukan salahku, salah Aldo, dan bukan juga salah Tania. Tania dan Aldo masih tetap bersama, sementara aku dan Tania tidak lagi bersahabat seperti dahulu, tetapi kami juga tidak menjadi saling membenci.
Aku yakin jika suatu saat nanti, aku pun akan mendapatkan kebahagiaan. Tuhan tidak akan membeda-bedakan umat-Nya, bukan? Dan entah sejak kapan, aku dekat dengan Revan. Mungkin sejak aku menulis quotes penyemangat diri dan motivasi sementara dia terus mengomentari postinganku. Entahlah, tapi yang jelas, dia mengatakan jika dia menyukaiku. Bahkan saat kami belum saling mengenal saat kelas 10. Dan aku menerimanya saat dia menyatakan cintanya padaku.
Di sana aku belajar bahwa tidak selamanya apa yang kau inginkan akan kau dapatkan dan tidak semua keinginan yang kau harapkan akan menjadi kenyataan. Dan aku semakin yakin kepada Revan. Ibuku juga pernah berkata bahwa terkadang, orang yang mencintai kita seribu kali lebih baik daripada orang yang kita cintai. Kenapa? Karena orang yang mencintai kita akan selalu membuat kita bahagia, tetapi orang yang kita cintai? Who knows? Mungkin saja dia tidak peduli pada kita. Dan aku selalu yakin pada takdir Tuhan. Karenanya, akan selalu ada jalan pada setiap kisah cinta.
#GrowFearless with FIMELA