Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
***
Oleh: P - Jakarta
Cinta itu unik, drama, dan gila banget menurutku. Bagaimana tidak, setelah pertemuan pertama kami di tempat saudaranya temanku, aku dikenalkan oleh temanku kepada sepupunya yang sudah lama menetap di Jakarta lalu dia mengantarkan aku pulang. Tak banyak kata waktu itu, tapi obrolan kami mengalir dengan sendirinya.
Kala itu aku masih kelas 1 SMA dan dia sudah bekerja. Tidak menyangka kelanjutan dari perkenalan itu, seminggu kemudian ada surat untukku terpampang di ruang mading sekolah. Penasaran pastinya, karena aku tak pernah memberi tahu kepada siapa pun alamat sekolah. Surat beramplop biru darinya, surat yang menyatakan rindu hatinya bahwa setelah perkenalan itu dia tak mampu melupakan aku sampai akhirnya dia nekat memberanikan diri mengirim surat hanya dengan tertulis nama sekolah dengan alamat seadanya.
Hari berlalu, bulan berganti bulan kami pun hampir satu tahun menjalani LDR, menurutku hubungan itu menyiksaku dan benar-benar mengoyak konsentrasiku dalam belajar. Ketakutan akan kegagalan dalam pendidikan aku memilih mengakhiri hubungan itu, dengan pilihanku itu aku pun lulus SMA dengan hasil terbaik.
Setelah lulus SMA aku tak langsung kuliah, aku berjibaku kesana kemari untuk mencari lowongan pekerjaan. Aku pun menghubungi kembali mantanku dan dia dengan sigap mendampingiku di tengah kesibukan pekerjaannya. Akhirnya aku pun bekerja, darah mudaku mengalir deras di tengah banyaknya godaan yang menggoyahkan kesetiaanku di tempatku bekerja padanya saat itu.
Menjalin Hubungan dengan Pria Lain
Dia yang sibuk bekerja membuatku merasa tak dipedulikan, bosan, dan berpaling darinya. Aku memutuskan hubungan kami untuk kedua kalinya dan aku mulai liar bergonta-ganti pasangan hanya untuk sekadar bisa jalan dan makan gratis tanpa ingin serius dalam menjalani hubungan. Sampai akhirnya aku terjebak dengan cinta pria dewasa yang membuatku sulit untuk keluar karena banyaknya materi dan kebaikan yang diberikan oleh pria dewasa itu. Pria dewasa yang membuatku berubah dalam cara pandang, berkarisma, dan begitu kebapakan. Namun, sayang pria dewasa itu masih berstatus suami orang.
Kami hampir 6 tahun menjalani cinta terlarang itu, susah rasanya untuk bisa lepas darinya. Dia begitu posesif dan over protective rasanya tidak ada celah untuk aku bisa berpaling darinya walaupun sudah berulang kali aku memutuskannya. Hingga di Idul Fitri tahun 2012 aku dipertemukan kembali dengan mantanku, tanpa pikir panjang aku meminta dia kembali dan bantu aku agar bisa lepas dari pria dewasa itu. Dan dia pun dengan ragu untuk mencobanya, ah hati dia terbuat apa segitu baiknya selalu ada buatku walaupun sudah pernah aku sakiti. Prosesnya terlalu cepat, aku dengan tegas meninggalkan pria dewasa itu dan selang sebulan aku pun menikah dengan mantanku.
Tanggal 20 Oktober 2012 menjadi simbol kami bersama resepsi pertama diadakan di rumahku di Jawa, tapi bukan kebahagiaan yang aku dapatkan. Aku merasa ini seperti mimpi, begitu terburu-buru dan aku rasanya belum siap untuk menjadi istri yang siap melayani suami. Hatiku pun mulai berontak lagi, aku selalu merasa mantanku yang sudah menjadi suamiku tidak seperti pria dewasa yang pernah bersamaku. Dia tidak royal dan sebagainya. Aku selalu membandingkan suami dengan mantanku (pria dewasa) itu, hingga pertengkaran di awal pernikahanku tak terelakan, aku seperti keluar masalah satu masuk ke dalam masalah lain yang aku buat sendiri. Aku masih plin-plan dengan keputusannku.
Menikah Harus Berani Bertanggung Jawab
Di statusku yang sudah menikah pun aku masih berkomunikasi dengan pria dewasa itu, hingga suatu hari aku jalan nonton sampai pulang dini hari. Dan apa yang terjadi sudah bisa ditebak, ini pertama kalinya suamiku marah besar kepadaku. Hatinya begitu hancur mendengar aku jalan lagi dengan pria dewasa itu, air matanya mengalir dengan menatapku dia berkata, “Kita batalkan saja perkawinan ini, nanti aku yang bilang ke keluarga bahwa resepsi tidak usah diadakan karena pernikahan ini batal."
Aku tak tahu harus berbuat apa waktu itu, terbayang di mata ibu mertua dan orangtuaku yang sudah mempersiapkan segalanya di Jakarta harus kandas karna ulahku. Aku sadar pernikahan ini yang aku mau, kenapa aku yang harus mengkacaukannya? Aku bersimpuh di kaki suamiku meminta maaf dan berjanji itu menjadi pertemuan terakhir dengannya. Semua itu aku lakukan semata-mata hanya untuk orangtua yang sudah mengharapkan kami bahagia. Sungguh berat rasanya melupakan semuanya dan mencoba menjalani hari-hari baru mencoba menjadi istri yang baik.
Aku selalu ingat wanita baik hanya untuk lelaki baik, dan aku akan berusaha menjadi wanita baik itu. Hari pun berlalu. Selang beberapa bulan aku mengandung anak pertama kami. Rasanya aku sadar, Allah menitipkan amanah agar aku tetap bisa istiqomah akan tetapi tetap saja aku selalu tak bersyukur dan menganggap suamiku rendah.
Pertengkaran selalu meliputi dikehidupan kami sampai usia putriku berusia dua tahun. Rasanya pernikahan ini bukan perjalanan cinaku yang aku dambakan. Pernikahanku seperti neraka yang percikan apinya selalu aku buat. Sampai suatu hari dokter berkata aku hamil lagi anak kedua, aku pun masih menyalahkannya karena aku merasa belum siap. Sedih dan ingin menyerah pasti, aku sudah sering kali menyampaikan ingin pisah kepadanya. Hingga aku merasa capek dengan sendirinya ekpektasiku terlalu tinggi tentang kehidupan, aku lupa bahwa kita cuma bisa berencana namun kembali lagi Allah yang menentukan.
Bertambahnya usiaku dan usia pernikahan aku mulai mencoba menerima apa yang sudah menjadi keputusanku, yang sudah menjadi jalan hidupku, belajar lagi dari semua kesalahanku, belajar untuk mengontrol emosiku dan melupakan masa laluku. Bahwa aku tidak bisa seperti dulu yang hanya bisa ke sana kemari dan bersenang-senang. Bagaimana pun aku sudah menjadi ibu dan istri. Sudah sepatutnya aku harus memberi contoh kepada anak-anakku tentang hal-hal baik.
Spesial untuk suamiku di ulang tahun pernikahan kita ketujuh yang sebentar lagi tiba, aku cuma ingin mengucapkan terima kasih atas semua kesabaranmu, tetesan keringatmu dan pengorbanan-pengorbananmu. Rasanya tidak ada alasan lagi kalau aku harus menyakitimu kesekian kalinya. Hatimu sudah teruji oleh keganasan sikap dan sifatku selama ini. Terima kasih dan teruslah menjadi lelakiku yang selalu membimbing dan menjadi imam yang baik untuk keluarga kita, amin.
#GrowFearless with FIMELA