Pacarku Seorang Pencandu

Endah Wijayanti diperbarui 19 Sep 2019, 18:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.

***

Oleh: Tantri D. Rahmawati - Malang

Lebaran tahun ini barangkali jadi lebaran yang paling tidak bisa kulupakan. Setidaknya hingga aku berada di kursi kereta ekonomi Sabtu itu. Hanya berselang dua hari dari Idul Fitri, aku memilih untuk bertolak ke Malang dan mengambil sejumlah pekerjaan. Padahal pada saat yang sama, semua orang barangkali masih asyik berlama-lama di kampung halaman.

Bukan tanpa alasan, tentu. Tepat di malam Idul Fitri, sebuah ta'aruf singkat terjadi antara aku dan Mas N. Dia datang ke rumah bersama rombongan keluarganya. Setelah saling berbalas sambutan di forum keluarga, kami akhirnya ngobrol berdua. Ia lantas meminta izin untuk menyalakan rokok dan meminta asbak. Singkat cerita, alih-alih bisa bebas merokok, ia malah dapat semprotan hebat dari ibuku yang memang sejak dulu benci rokok. Ta'aruf hari itu buyar berkat sebuah asbak yang wujudnya saja tak pernah ada.

Dongkol hatiku. Bukan, bukan soal kadung menaruh harapan pada Mas N, tapi karena sikap ibuku yang kurasa telanjur arogan. Aku sangat terluka oleh ini semua dan Malang adalah sebuah pelarian. Bahkan ketika aku tak mendapat kursi eksekutif, kursi ekonomi pun kubeli sajalah demi cepat-cepat tinggalkan kampung.

Nyatanya memilih kelas ekonomi tak ada salahnya, sebab takdir membawaku berkenalan dengan seorang pria yang duduk tepat di sisi. Bernama Wawan, pria ini begitu mudah akrab denganku. Kami berbincang hampir di sepanjang jalan. Jarak rasanya terlipat, waktu juga berlalu dengan singkat. Kami akhirnya dekat dan kerap teleponan seolah tak punya tenggat.

Wawan adalah sosok yang nyaris sempurna, setidaknya di mataku. Usianya yang lebih muda dua tahun tak berarti ia lebih childish. Tentu, bicara soal childish aku adalah juaranya. Namun ia bisa menerima itu dan begitu sabar menghadapiku yang kerap tak tahan dengan LDR kami.

Bagaimana tidak, Malang-Surabaya ini barangkali bukan jarak yang berarti, namun kesibukan kerjanya yang luar biasa itu membuatku gila. Salah paham dan kembali sayang-sayangan setiap hari mewarnai. Hingga akhirnya malam sendu itu terjadi.

2 dari 2 halaman

Terungkap

Ilustrasi/copyright shutterstock.com

Sebetulnya tak ada yang istimewa. Seperti biasa, di telepon, Wawan ceritakan tentang bagaimana ia harus selesaikan berbagai masalah dengan nasabah. Belum lagi menghadapi anak buahnya yang mulai lesu, aku hanya bisa menyemangati dari jauh. Lalu entah kenapa kami sama-sama diam. Tak berselang lama suara Wawan memecah keheningan.

"Hun, aku mau mengakui sesuatu. Aku siap kalau kamu marah sih, tapi aku merasa kamu perlu tahu."

"Apa, Sayang? Cerita aja."

"Hun, aku...," kalimatnya terpatah sebab Wawan tetiba mengambil napas panjang.

"Aku pakai sabu-sabu, sayang," lanjutnya.

Seketika mataku mengerjap-ngerjap tak percaya. Bagaimana mungkin? Saking speechless-nya aku cuma bisa diam dan sibuk memilih kata paling pas untuk menanggapi ini.

"Sudah berapa lama?" itulah yang lantas keluar dari bibirku.

"Empat tahun, Hun. Tapi aku sudah nggak pernah beli setahun terakhir."

"Nggak pernah beli bagaimana tuh maksudnya?"

"Ya nggak pernah beli. Aku makenya kalau lagi party sama temen-temen aja."

"Oh gitu."

"Iya. Kamu nggak apa-apa marah."

"Marah nggak nyelesein ini semua, Hun. Yang penting kan kamu udah ada niat berhenti pakai."

"Iya, tapi kalau kamu mau ninggalin aku nggak papa kok."

"Maksud kamu?"

"Ya barangkali kamu nggak bisa menerima kondisiku. Aku sadar diri, Hun."

"Ngomong apaan sih kamu. Udah ya, aku ngantuk. Besok kubangunin subuh ya, Sayang," ujarku mengakhiri telepon kami. Tergesa sekali memang, sebab sungguh aku merasa sangat bingung.

Penat merayapiku seketika. Tentu aku tak bisa meninggalkannya begitu saja, bukankah buruk sekali kalau aku melakukan itu? Sementara di sisi lain aku juga tak mau hidup dengan seorang pecandu, lebih karena aku tidak siap dengan segala risikonya. Kecamuk menyerangku berhari-hari, mengambil alih segala keceriaan yang biasanya mewarnai.

Singkat cerita, kami akhirnya memilih untuk jalan sendiri-sendiri. Pada dasarnya mau jadi pacar pencandu atau bukan pecandu pasti akan menemui problemanya masing-masing. Ada pertarungan dan perjuangan yang sama-sama harus dihadapi, tapi arena perjuangan bersama pecandu bukanlah arena yang rasanya sanggup kuhadapi.

#GrowFearless with FIMELA