Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta
Saat ini masyarakat terus mendesak DPR RI untuk mengesahkan RKHUP yang dinilai tidak layak dan masih banyak kekurangan. RKUHP dianggap meresahkan karena isi dari hukumnya malah tidak sesuai konteks dan kebutuhan masyarakat sekarang. Bukannya menyempurnakan kekurangannya di masa lalu, malah menjadi langkah mundur dan memperparah acuan hukum di Indonesia.
Tak heran banyak masyarakat baik yang tergabung dalam aliansi, mahasiswa hingga akademisi dengan sangat tegas menolak pengesahannya. Salah satu aliansi masyarakat yaitu Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi. Melansir laman Liputan6, salah satu koordinatornya bernama Astried Permata menyatakan RKHUP jauh dari kata sempurna. Astrid meminta penghentian revisi RKUHP. Pemerintah harus menarik ulang revisi RKUHP dan meminta transparansi proses pembuatan revisi RKUHP.
"RKUHP masih mengandung banyak masalah, baik secara substansi maupun proses pembahasan. Kami kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menyerukan: tunda RKHUP, tunda demi semua, hapus pasal ngawur," kata Astrid saat membacakan pernyataan sikap di Kompleks Parlemen Senayan pada Senin lalu (16/9).
Diskriminatif Untuk Anak, Perempuan dan Kelompok Marjinal
Beberapa pasal dalam RKUHP benar-benar jauh dari kata adil, menjamin hak warga negara dan diskriminatif untuk kelompok tertentu. Kelompok yang paling pasti dirugikan adalah perempuan, anak dan kelompok marjinal. Bagaimana tidak, sebut saja Pasal 470 yang mengatur jika setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal empat tahun. Walaupun pada dasarnya aborsi dilarang, namun ada kondisi khusus sehingga boleh asal sesuai prosedur. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga Pasal 470 dianggap bertentangan dengan undang-undang ini. Selain itu beberapa pasal lainnya seperti :
- Pasal 251 ayat (1) tentang kriminalisasi memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan.
- Pasal 415 tentang kriminalisasi mempertunjukkan alat untuk menggugurkan kandungan.
Pemidanaan berlaku bagi korban perkosaan. Tentu hal ini berbahaya, karena korban perkosaan harus menanggung kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu dengan pelarangan aborsi, yang dikhawatirkan adalah banyaknya pernikahan anak karena takut pidana. Kultur masyarakat Indonesia cenderung menikahkan anak dengan pemerkosanya. Secara psikis sudah menjadi 'tamparan' dan secara fisik harus menanggung anak yang tidak ingin dikandung.
Kemudian, ada pasal yang mengatur pemidanaan untuk kelompok marjinal seperti pengamen, tunawisma, dan pengemis. Dalam Pasal 505 KUHP, gelandangan diancam hukuman kurungan penjara tiga bulan. Apabila itu dilakukan secara berkelompok dengan melibatkan orang berusia di atas 16 tahun, hukumannya bisa bertambah menjadi enam bulan penjara. RKUHP mencantumkan sedikit perubahan dengan mengganti hukuman maksimal dengan denda maksimal sebanyak satu juta rupiah. Itu tertuang pada Pasal 432 RKHUP.
Padahal seharusnya, kelompok terpinggirkan seperti mereka harus dipelihara oleh negara sesuai dengan UUD 1945. Pemidanaan dan denda bagi mereka tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimana mereka mau membayar denda dan menjalani kurungan jika menghidupi diri sendiri saja masih mengalami kesulitan. Pasal-pasal RKUHP benar-benar tidak merepresentasikan kebutuhan serta urgensi perubahan suatu peraturan.
Kebijakan Harus Bersifat Restoratif
Sifat pada hukum dan peraturan tidak hanya memberikan sanksi. Namun sebaliknya, hukum harus bisa memberikan solusi atas permasalahan yang ada di masyarakat. Bagaimana bisa hukum dikatakan sudah ideal jika gagasannya saja sudah jauh dari kata rasional. Kriminolog Universitas Indonesia bernama Dr. Anggi Aulina Harahap Dipl.-Soz berpendapat bahwa RKUHP harus melihat banyak aspek dalam masyarakat. Hukum harus bersifat restoratif atau mampu mengembalikan keadaan seperti semula (keadaan ideal) Setidaknya ada empat hal penting yang harus diperhatikan yaitu
- KUHP tidak hanya berfokus pada pemidanaan, tetapi perlindungan apalagi untuk korban suatu tindak kejahatan.
- KHUP merupakan alat rehabilitasi, dimana masyarakat yang terjerat hukum mendapatkan perlakuan yang baik oleh sistem peradilan pidana sehingga masalah serupa tidak terulang.
- KUHP merupakan upaya pencegahan tindak kejahatan dan menyimpang.- Kepastian hukum dan keadilan di dalamnya harus bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
RKUHP Diproses dengan Cepat, Kenapa RUU PKS Sangat Lambat?
Melihat rencana pengesahan RKUHP oleh pemerintah dan DPR begitu progresif mungkin membuat kita bertanya-tanya, apa urgensinya? Kenapa pihak eksekutif dan legislatif sangat ingin mengesahkan RKUHP? Kemudian kita bisa merefleksikan tentang RUU PKS yang sampai saat ini belum ada keberlanjutan yang pasti.
Sangat disayangkan bahwa pengesahan RKUHP lebih diprioritaskan padahal beberapa orang menganggap pasal dalam aturan tersebut masih 'ngawur'. Berbeda sekali dengan RUU PKS yang sulit untuk diprioritaskan dan seakan-akan butuh pertimbangan yang lebih matang mengenai undang-undang yang ingin melindungi perempuan, anak dan pihak yang rentan jadi korban kejahatan kekerasan seksual.
Menurut data dan kebutuhan saja bisa dilihat bahwa RUU PKS memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi. Yang disayangkan, pengesahan RUU PKS dilakukan agar bisa diselaraskan dulu dengan RKUP.
Panja RUU PKS Marwan Dasopang mengatakan acuan RUU PKS adalah RKUHP yang akan disahkan. Karena jika tidak, akan berbeda substansinya. "Umpamanya begini, kalau kami mengutip ke Pasal 7 [KUHP] yang dulu, terus sekarang jadi Pasal 8. Kan sudah berbeda," jelas Marwan. "Lalu mereka [Panja RKUHP] juga sudah memekarkan pemidanaan tentang pencabulan dan pemerkosaan," tambahnya melansir laman Tirto.id ( 17/9).
Semakin disesalkan lagi, tidak ada jaminan oleh DPR untuk memastikan kapan RUU PKS disahkan. Bahkan pihak DPR mengatakan tidak ada urgensi mengesahkan RUU PKS sebelum tanggal 24 September seperti yang diajukan sebelumnya. DPR tampaknya memang tidak memiliki inisiatif membahas RUU tersebut lebih lanjut karena masih banyak perdebatan, khususnya perdebatan agama.
#GrowFearLess with FIMELA