Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
***
Oleh: Sisca Wiryawan - Bogor
Kisah cintaku sebenarnya sederhana walaupun terkesan bersimpul rumit. Awalnya dari sebuah deringan handphone. Agak kesal juga. Aku yang sedang asyik belanja bulanan bersama ibu dan adik perempuanku di Botani Square Mall, tiba-tiba harus segera pulang ke rumah karena ada peminat rumah dan agen rumah yang hendak berbicara serius dengan ibu. Terpaksa adik perempuanku ditinggal bersama barang belanjaan, sedangkan aku dan ibu segera pulang.
Si peminat rumah sungguh imut. Aku pikir dia seorang bapak-bapak tua, ternyata hanya empat tahun lebih tua dari umurku. Wajahnya mirip mantan pacarku. Hanya perawakannya lebih kecil sehingga aku diam-diam menjulukinya Mini Me atau Minis. Yang paling tak terlupakan ialah pose duduknya yang sangat manis dan mimik wajahnya yang innocent. Mencurigakan! Dia fasih berbahasa Sunda karena berasal dari kota yang sama dengan ibuku, yaitu Kota Kembang alias Bandung. Oleh karena itu, ia begitu akrab dengan ibuku.
Curhat dari Sabang sampai Merauke, bahkan tentang kehidupan cintanya yang galau, yang selalu dikhianati perempuan. Giliran ibuku curhat segala kisah asmara aku yang selalu menggantung dan akhirnya putus ketika hampir menikah. Akhirnya pembicaraan kembali lagi ke alur serius. Ia tersentak kaget ketika aku mengingatkan uang muka pembelian rumah akan hangus jika ia tak sanggup melunasi pembayaran. Alasannya sederhana, ibu dan aku tak sanggup mengembalikan uang muka pembelian karena kondisi keuangan kami sedang tak stabil. Adikku sakit kronis sehingga biaya difokuskan untuk perawatannya.
Dua minggu setelah pertemuan itu terjadi hal yang cukup aneh. Pukul tiga sore aku sedang berbaring santai. Tiba-tiba aku melihat sosok Mini Me sedang menatapku dari samping tempat tidurku. Hal tersebut berlangsung selama lima menit. Sejak itu perasaan aku menjadi resah. Tidak bisa lupa tentang dia. Apakah itu suatu dejavu? Kami pernah bertemu di kehidupan lampau? Karena anehnya, sejak saat itu kami menjadi dekat.
Kebetulan ibu menyuruhku untuk mengirim WhatsApp ke dia untuk menagih uang muka. Tidak berhasil, ia ingin membayar cash. Ibuku panik karena adikku harus rutin kontrol berobat. Tak kehabisan akal, aku membujuknya untuk membeli koleksi novelku secara kolektif. Berhasil. Tapi entah mengapa, hari demi hari ia malah menginterogasi segala hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadiku. Memang aku sedang dekat dengan seseorang, tapi hubunganku menggantung tak jelas arahnya ke mana. Kalimat-kalimatnya klise, tapi menjengkelkan. “Kasihan sekali ya malam minggu begini malah chatting dengan saya, makanya kalau hubungan jangan suka LDR, pilih yang dekat saja. Kasihan banget ya padahal pasangan lain banyak sekali ini yang sedang nge-date!” Kesal kan tiba-tiba diingatkan hal yang membuat bad mood.
What's On Fimela
powered by
Bersama Dia yang Unik
Cowok usil ini terus-terusan meminta dicari pasangan karena ia jomblo yang tak laku selama 252.288.000 detik. Kriterianya cantik, baik, penurut, dan solehah. Setelah berpikir satu hari, aku mempromosikan sahabatku. Satu detik langsung sukses ditolak. Alasannya, gemuk. Setelah bicara berputar-putar, ia malah menyatakan suka sama aku. Padahal kenyataannya aku jauh lebih gemuk dibandingkan sahabatku.
Cowok keras kepala ini mengaku ia tak akan pernah jatuh cinta lagi, tapi ia sayang sekali denganku. Baginya, cinta itu tabu. Jika ia menyatakan cinta, pasti akhirnya buruk, sedangkan rasa sayang itu abadi karena akan tumbuh besar seperti pohon raksasa. Ya, terserahlah! Memang cinta itu aneh! Aku jatuh cinta dengan cowok aneh yang trauma dengan kata-kata cinta. Apakah diriku juga aneh? Hanya waktu dan cinta yang dapat menjawabnya.
Yang jelas, cowok aneh ini berjuang habis-habisan untuk membeli rumah ibuku demi membantu keluargaku sampai jatuh pingsan. KPR ditolak, ia tak putus asa. Ia berusaha mendapat pinjaman bank selama sembilan bulan ini. Hingga ia sakit typhus karena terlalu lelah bekerja. Padahal tidak usah memaksakan diri juga, rumahnya bisa dijual ke peminat lain, tapi ia bersikeras bahwa ia akan tetap membelinya.
Ia tetap ngotot untuk tidak mengatakan kata-kata cinta. Seperti lagu Hivi, “Siapkah kau untuk jatuh cinta lagi?” Pikiran logis pacarku ini, tak siap untuk jatuh cinta. Tapi kenyataannya, hati tak bisa berbohong. Jika aku telat menjawab teleponnya satu jam saja, sudah ditelepon 6x berturut-turut tiap 15 menit, dan ditanya, “Ada di mana? Di mana? Di manaaaaaa…” Berlainan halnya dengan dirinya yang suka cuek bebek, tidak memberi kabar hingga beberapa hari.
Memang kutukan cinta itu menyambar tak tentu arah. Walaupun ia usil, menyebalkan, suka pencitraan (katanya demi profesionalisme ia sungguh takut diketahui ibuku dan si agen rumah bahwa dia berniat membeli rumah beserta isinya, yaitu aku), cerewet ala Donald Bebek jika sudah menilai gaya berpakaian aku yang santai, tapi aku tak bisa berhenti mencintainya. Cinta memang bukan hanya tentang romantisme dan hasrat menggebu-gebu, tapi menerima pasangan apa adanya.
#GrowFearless with FIMELA