Fimela FEST 2019: Jarang Disebut, 3 Sosok Perempuan yang Berperan Penting Mengangkat Isu Kesetaraan Gender

Karla Farhana diperbarui 18 Sep 2019, 06:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Di tengah suara selebritas yang menyuarakan isu keseteraan gender, ada nama-nama yang tak pernah terdengar seantero dunia. Padahal, peran mereka cukup penting dalam menegakkan keadilan, menjunjung tinggi kesamarataan, serta menghapus gender gap di dunia kerja masa kini. 

Nama-nama mereka sungguh asing. Tanpa pengenalan rupa dan jerih payah mereka akan menghilang secara perlahan. Mereka ada bukan cuma aktif menyuarakan isu kesetaraan gender. Atau sekadar membuka sebuah forum yang menjadi lahan tempur pro-kontra untuk isu yang sama. Here are the bravest, fearless female founders you should know and what impacts they're making in their own country. 

Reshma Saujani

 
Reshma Saujani | instagram.com/reshmasaujani

Melihat betapa perempuan begitu terbelakng dibandingkan para pria di bidang komputer dan teknologi, Reshma Saujani mendirikan Girls Who Code sebagai salah satu cara untuk mewujudkan kesetaraan gender di dunia kerja. 

"Saat ini, dalam (dunia) komputasi dan teknologi perempuan sangat tertinggal, dan ini berarti ekonomi kita tertinggal jauh dari semua inovasi dan masalah perempuan akan terselesaikan kalau mereka bersatu untuk berani, ketimbang bersatu untuk menjadi sempurna," katanya, dikutip dari Forbes, pada suatu kesempatan di TEDTalk. 

Kisahnya bermula pada tahun 2010 lalu, ketika dia memasuki dunia politik untuk menjadi perempuan berdarah India-Amerika peretama yang mencalonkan diri untuk congress AS. Kekalahannya dalam pemilihan tersebut membuatnya sadar untuk mewujudkan misinya yang lain, yaitu mengakhiri kesenjangan gender di dunia teknologi. 

Saunjani kemudian mengunjungi beberapa sekolah dan melihat adanya gender gap di kelas komputer. Berangkat dari sinilah, Girls Who Code, sebuah organisasi non profit yang menawarkan coding camps, clubs, and resourses kepada perempuan mana pun di Amerika Serikat untuk belajar mengenai komputer dan teknologi, agar bisa setara dan bersaing dengan pria di dunia kerja. 

Tahun 2017, misinya semakin dibutuhkan, ketika para insinyur perempuan yang mulai membuka suara untuk melaporkan adanya diskriminasi dan pelecehan di beberapa perusahaan Sillicon Valley. Terkuaknya kasus ini juga mendorong adanya sebuah manifesto seksis melawan keragaman yang diedarkan oleh Google juga menjadi salah satu trigger Girls Who Code dan misinya semakin dibutuhkan. 

 
2 dari 3 halaman

Fatuma Abdulkadir Adan

Fatuma Abdulkadir Adan | instagram.com/fatumaabdulkadir

Fatuma Abdulkadir Adan merupakan perempuan pertama dari Marsabit, Kenya, yang menjadi pengacara. Forbes menulis, Fatuma juga perempuan pertama yang melucurkan sebuah organisasi non profit. 

Horn of Africa Development Initiative (HODI) merupakan sebuah proyek suka rela untuk mmberikan layanan hukum kepada masyarakat Kenya yang membutuhkan layanan tersebut, namun terbentur keterbatasan biaya. 

Bukan hanya menyediakan layanan hukum, HODI juga mengulurkan tangan kepada seluruh masyarakat Kenya yang mengalami kesulitan. Seperti di kampung halamannya, Kenya bagian utara, kini mengalami kekeringan terburuk sepanjang sejarah dan juga banjir. 

Melalui HODI, Adan telah mengirim benih dan tangki air kepada beberapa keluarga di sana kesulitan mencari makanan.

"Sebagai seorang anak yang tumbuh di utara, saya selalu merasa saya saya datang dari Kenya Two. Ini Kenya yang berbeda, dimana orang-orang mati kelaparan," ungkapnya. 

3 dari 3 halaman

Rita Thapa

Tewa yang pertama kali didirakan Rita Thapa | instagram.com/tewaforwomen

Memiliki masa lalu yang kelam, perempuan asal Kathmandu, Nepal ini menjadi janda di usia belia. Sempat mendapat makian dan diskriminasi, Thapa akhirnya bangkit dan memutuskan untuk menjadi seorang pengacara yang membela hak-hak perempuan. 

Naik ke posisi bergengsi bersama PBB dan mendapatkan biasiswa untuk belajar di luar negeri, Thapa justru memberikan seluruh perhatian, ilmu, dan bahkan segala yang ia punya untuk memulai sebuah organisasi nirlaba, Tewa. Bukan sembarang nirlaba, Tewa yang memiliki arti dukungan di Nepal, berusaha untuk mengumpulkan lebih dari setengah dana yang mereka dapatkan dari berbagai sumber di Nepal. 

Meski berada di salah satu negara termiskin di dunia, Forbes menulis, Thapa bersama Tewa berani untuk memiliki visi yang cukup radikal untuk organisasi nirlaba. Kini, Tewa telah mendanai sejumlah usaha yang dipimpin perempuan di Nepal, mulai dari usaha pembiakan lebah hingga pelatihan kepemimpinan politik untuk perempuan. 

Menurut Thapa, pembentukan organisasi dan penyaluran bantuan ini sangat penting, mengingat perempuan pemegang perdamaian. 

"Perempuanlah pemegang perdamaian di komunitasi mereka. Para perempuanlah yang justru menyatukan komunitas mereka. Tanpa berfokus pada mereka, it's nothing," katanya kepada Forbes. 

***

Ingin memahami lebih dalam tentang fearless women? Yuk, daftarkan diri kamu sekarang juga di sini dan raih kesempatan untuk datang ke Fimela Fest 2019. 

#Growfearless with FIMELA