Terlalu Posesif Hanya akan Menyiksa Diri Sendiri

Endah Wijayanti diperbarui 17 Sep 2019, 11:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.

***

Oleh: Mur - Sukoharjo

Aku tumbuh dari keluarga yang tidak sempurna. Sejak kecil aku hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Meski secara status aku memiliki seorang bapak, namun nyatanya dia yang seharusnya menafkai kami tidak melakukan kewajiban itu dengan baik. Jangankan menafkahi, untuk sebuah bentuk kasih sayang saja, kami harus meminta belas kasihan agar dia mau mencurahkan secuil cintanya untuk kami. Namun, dia malah memilih untuk hidup sesuka hatinya, membahagiakan dirinya sendiri tanpa sedikit pun memikirkan kami.

Tahun 1997 ibu berpulang. Kondisi ekonomi tidak bisa mempertahankan ibu yang ternyata memiliki penyakit kronis yang diidapnya beberapa tahun terakhir. Kondisi ini tidak membuat bapak tersadar akan sikap buruknya. Justru setelah kejadian ini, beberapa tahun kemudian dia malah menikah lagi dengan wanita yang ternyata telah dipacarinya sejak ibu masih ada.

Tanpa sosok orangtua dan masa lalu yang tidak mengenakkan bagiku, aku berkembang menjadi pria yang sensitif dan tempramental. Aku juga mudah marah dan egois. Hal itulah yang akhirnya membuatku tidak punya banyak teman. Mungkin mereka tidak nyaman dengan sikapku. Akhirnya karena aku tidak punya banyak teman, aku jadi pria yang tertutup dan pendiam. Buruknya lagi, dengan sikap dan watak yang kumiliki membuat aku tidak percaya diri dalam mendekati wanita. Aku memang lelaki normal yang bisa jatuh cinta pada wanita manapun yang menarik bagiku. Namun, justru karena kekurangan yang kumiliki sering menjadikanku orang yang mudah menyerah sebelum mencoba.

Sampai menginjak usia 30-an lebih, aku masih belum mendapatkan pendamping hidup. Padahal adikku malah sudah melangkahiku menikah lebih dulu. Berulang kali aku mencoba membuka hati, tapi begitu ada yang mendekat semuanya kabur. Aku sadari aku tidak bisa luwes pada wanita. Banyak wanita menilaiku sebagai lelaki dingin dan kaku.

Aku dipertemukan dengan seorang wanita yang kebetulan tetangga baruku. Umurnya terpaut 9 tahun di bawahku. Pertemuan pertama kami ketika sama-sama mengikuti kegiatan karang taruna. Fisiknya sih biasa saja, tapi dia wanita yang menyenangkan. Sayangnya saat itu dia sudah memiliki pacar. Kegiatan karang taruna yang kami ikuti membuat kami selalu bertemu setiap saat. Apalagi saat itu kami sedang mengadakan event tahunan. Jadi kamipun berinteraksi hampir setiap hari karena kebetulan kami satu tim.

Lambat laun aku semakin nyaman bila di sampingnya. Tapi aku tidak mau bermimpi terlalu tinggi. Aku juga minder. Dia lulusan sarjana dengan pekerjaan yang mapan. Dia juga anak tunggal dan berasal dari keluarga baik-baik. Berbeda 180 derajat denganku. Aku juga berpikir bahwa aku tidak bisa menjanjikan kebahagiaan jika berani mendekatinya.

Tak terasa hubungan kami semakin dekat. Kami sering berbagi cerita entah itu hobi, pekerjaan maupun keseharian. Dia lumayan membuatku berubah menjadi lelaki yang tidak pendiam lagi. Namun ketika dia mulai membahas masalah pribadi khususnya menyangkut keluarga, aku lebih banyak menutupi. Aku terlalu takut mengumbar cerita yang bagiku tidak pantas untuk dikonsumsi publik.

Lima bulan berlalu sejak kedekatan kami. Tiba-tiba saja dia curhat padaku mengenai hubungannya yang kandas dengan pacaranya. Ada rasa prihatin tapi juga bahagia. Prihatin karena saat itu dia pasti sangat sedih, dan bahagia karena aku merasa punya kesempatan untuk menggantikan posisi kekasihnya meskipun presentasenya sedikit sekali.

Sejak dia menjomblo, hubungan kami bertambah dekat. Selain obrolan secara langsung, dia juga sering menelpon dan SMS meski hanya sekedar menanyakan apakah aku sudah makan. Diberi perhatian olehnya membuatku melambung. Aku senang sekali karena seumur hidup baru kali ini aku benar-benar diperhatikan sosok wanita.

Memberanikan diri mengungkapkan isi hatiku padanya merupakan keberanian tersendiri yang aku lakukan setelah sekian lama tidak punya kekuatan untuk melakukan hal yang sama pada seorang wanita. Tak kusangka dia ternyata juga mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Akhirnya kami pun menjalani proses berpacaran.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Posesif

Ilustrasi/copyright shutterstock.com

Bulan-bulan pertama menjalin hubungan serius dengannya semua berjalan baik-baik saja. Aku merasa senang karena aku menjadi lelaki yang sangat diperhatikan. Dia juga sering memanjakanku. Salah satu hal yang paling aku sukai adalah dia selalu mengingatkanku untuk salat. Aku sadar bahwa aku tidak rajin dalam beribadah. Namun, kehadirannya justru membuatku menyadari pentingnya berdoa.

Memasuki pertengahan tahun pertama hubungan kami, sifat burukku mulai muncul. Aku mulai bersikap posesif padanya. Aku tahu dia adalah tipe wanita yang supel dan mudah bergaul. Bahkan mantan-mantannya pun sampai sekarang masih mempunyai hubungan baik dengannya. Kuakui prinsipnya baik. Dia hanya ingin menjalin silaturahmi saja. Namun bagiku itu adalah prinsip yang tidak tepat. Aku mulai cemburu dan membatasinya dalam bergaul. Aku juga sering mengontrol ponsel dan media sosialnya. Aku juga mulai tidak mempercainya ketika dia sedang berada diluar baik itu untuk urusan pribadi maupun kerjaan.

Suatu kali, saking posesifnya, aku bahkan memintanya untuk benar-benar memutus hubungan dengan teman-temannya baik itu laki-laki dan perempuan. Bermain dengan medsos pun kularang. Dia benar-benar kubuat menarik diri dari lingkungan. Salah satunya tidak kuperbolehkan mengikuti kegiatan karang taruna. Pernah suatu kali dia mengajakku bicara dan meluruskan sikapku, namun aku tidak mau mendengarnya dan malah mengancamnya untuk putus saja.

Suatu hari ancaman itu dikabulkan olehnya. Dia akhirnya meminta untuk mengakhiri hubungan kami. Justru saat aku mengiyakan, sejak saat itu aku benar-benar merasa sangat hancur. Aku menyadari bahwa mungkin aku berlebihan terhadapnya. Seminggu kemudian aku mencoba minta maaf dan menintanya kembali padaku. Aku begitu bersyukur aku diterima kembali tapi dengan syarat aku harus mengubah sikap burukku.

Aku mulai mengubah sikap burukku. Namun kenyataannya perubahan itu tidaklah maksimal. Beberapa bulan kemudian sikap posesifku kembali muncul dan kuakui malah semakin parah. Aku menjadi lebih tempramental dibanding sebelumnya. Aku juga jadi sering memarahinya hanya untuk masalah-masalah yang sifatnya sepele. Aku juga tidak mau lagi peduli akan setiap pembelaan yang dia ucapkan padaku. Aku jadi tambah egois dari sebelumnya. Selalu minta diutamakan dan tidak mau mengalah. Kemana pun dia pergi harus bersamaku dan aku tidak suka dia terlalu dekat menjalin hubungan dengan orang lain meski seorang perempuan sekalipun. Aku mematikan karakternya.

Namun di balik sikapku yang berlebihan dan terkesan semena-mena itu, justru dia tidak pernah mengeluh. Tidak seperti sikapnya terdahulu. Kali ini dia lebih sabar menghadapiku. Lebih tenang dan selalu mengabulkan apa yang aku ingin. Dia mau mengubah sikapnya seperti yang kumau. Mungkin ini salah satu cara agar membuatku luluh, namun ternyata aku masih bersikap tidak adil padanya. Jujur, selama kami berpacaran aku sudah banyak membuatnya sakit hati. Aku juga sudah melakukan kekerasan batin padanya. Namun kuakui, dia begitu hebat dalam menghadapiku. Bahkan setelah hampir lima tahun kami pacaran, dengan kondisi yang sama, dia ikhlas memutuskan menikah denganku meski mungkin aku dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah pernikahan kami kelak.

3 dari 3 halaman

Mengubah Sikap setelah Menikah

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Jalan menuju pernikahan yang menguras emosi menambah berat pikiranku. Rasa sensitifku semakin menjadi dan menimbulkan kemarahan yang meninggi. Namun di balik itu semua, hebatnya dia yang selalu mendampingiku, menguatkanku, menenangkanku, dan mengontrol amarahku. Dia begitu dewasa berpikir untukku.

Sampai di awal menikah dan dia hamil anak pertama pun rasa posesif dan over protektifku masih saja kutunjukkan. Sebenarnya aku juga tahu apa yang kulakukan padanya sangat tidak pantas. Terlebih untuk perkembangan anak yang ada dalam kandungannya. Namun, aku selalu merasa harus melakukan itu karena itu adalah hal yang sewajarnya harus kulakukan. Sungguh kuakui betapa hebat wanita ini. Dia tidak membalas perlakuanku dengan dendam. Nampak keikhlasan dan kesabaran yang selalu ditunjukkannya padaku. Dia juga selalu tersenyum menanggapi ulahku.

Tahun pun berlalu, hidup bersama pun telah kami jalani selama 7 tahun, tepat di bulan September ini. Baru kusadari sungguh luar biasa Allah mengirimkan dia senagai takdirku, wanita berhati baik, yang dengan keikhlasannya menerimaku yang banyak kurangnya ini. Yang mau mencintaiku bukan karena lebihku, justru dari kurangku. Yang sabar mendampingiku dengan cinta, menungguku dengan setia. Yang memberiku banyak hal, keluarga baru dan kasih sayang yang utuh.

Teruntuk wanita berhati lembut itu, sungguh bukannya aku tidak mencintaimu atau pura-pura tidak mencintaimu. Namun ini adalah bentuk cintaku padamu. Yang takut kehilangan cinta dan kasih sayang yang menggerogoti hati dan pikiranku karena trauma di masa lalu. Hanya saja mungkin caraku yang dulu tidaklah tepat bagimu. Dan sekarang, aku tidak ingin meminta apa-apa lagi darimu. Karena aku tahu kamu telah menunjukkan betapa berharganya kau menjaga cinta ini untukku.

Aku tak perlu takut dan ragu lagi kepadamu, karena kamu telah menunjukkan betapa berat perjuanganmu untukku. Aku tidak ingin mengulang kesalahanku padamu, yang kuingin, tak akan menyia-nyiakanmu lagi, menggandeng erat tanganmu dan melangkah bersama, menguatkan cinta kita hingga tutup usia.

#GrowFearless with FIMELA