Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
***
Oleh: Alexandra Maria - Jakarta
Aku seorang wanita karier yang bekerja diperusahaan bidang jasa. Sehari-hariku bekerja melayani customer yang datang dengan keluh kesahnya mengenai kecelakaan kendaraan yang dimiliki mereka, dan karena pekerjaan ini, aku mendapat banyak pengalaman menghadapi karakter orang yang berbeda-beda setiap harinya. Singkat cerita, aku memiliki seorang pria yang bisa dibilang pujaan hatiku dan kami sudah menghabiskan banyak bulan dan terhitung beberapa tahun lamanya bersama.
Dia seorang pria yang menemaniku semenjak kuliah sampai saat aku bekerja. Ya dia kakak seniorku, namun dia cukup jauh umurnya dariku, ketika aku masih menjadi mahasiswi, dia seharusnya sudah bekerja. Ya, seharusnya sudah bekerja. Namun, awal perkenalanku dengannya, dia baru mengundurkan diri dari perusahaan yang daerahnya cukup jauh dari tempat domisili dia tinggal, sehingga bisa dikatakan dia kembali pulang ke kampung halamannya.
Saat-saat bersamaku menjalin suatu hubungan, aku membantunya mencari lowongan pekerjaan, entah menemaninya kesuatu Job Fair, warung internet, atau bahkan mading kampus-kampus yang kami lewati saat dia menjemput aku pulang dari kampus. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, dengan umurnya yang cukup jauh di atasku dan semakin bertambah, terkadang sering sekali aku merasa jengkel karena dia masih belum mendapat pekerjaan, hingga terpikirku “Apakah sebenarnya dia berusaha untuk mencari pekerjaan atau tidak? Atau memang banyak perusahaan yang tidak menerimanya karena umurnya? Atau mungkin masi belum rezeki?”
Akibat kejengkelanku itu sering aku marah tanpa alasan, berteriak atau bersuara nada tinggi, sampai terkadang aku menyindirnya. Tapi aku pun tak pernah sampai hati lama memendam rasa amarah, karena kami memiliki komitmen, jika marah tak boleh sampai matahari terbenam, dan selain komitmen itu, aku juga kasihan melihatnya yang tak salah apa-apa namun menjadi pelampiasanku.
What's On Fimela
powered by
Bertemu Pria Baru
Suatu hari di kantor, saat aku piket, seorang customer laki-laki datang untuk mengajukan klaimnya. Sesuai SOP di perusahaan semua kulakukan untuk menindaklanjuti klaim tersebut. Singkat cerita, dia meminta nomor ponselku, dengan alasan nomor telepon kantor sering tidak diangkat dan saat diangkat selalu beda-beda yang menerima keluhan, karena aku melihat raut wajahnya dengan klaimnya yang begitu cukup berat sehingga aku memberikan nomorku tanpa ada rasa curiga, karena bagiku alasannya saat itu cukup masuk akal.
Malam harinya ada nomor yang tidak aku kenal dan tidak tersimpan di kontak ponselku yang berkali-kali meneleponku, aku tidak mau angkat, karena saat itu aku ingin beristirahat di tempat tidurku. Namun karena suara dering ponselku saat itu cukup berisik, aku tidak bisa tidur, alhasil aku online setelah nomor tak dikenal itu berhenti meneleponku. Ketika online, tiba-tiba chat masuk dari suatu aplikasi, ya benar saja, dari nomor yang meneleponku tadi.
Ternyata dia customer laki-laki tadi siang ketika di kantor yang meminta nomorku. Meskipun sudah malam dan bukan jam kerja, aku berniat baik membalas chat itu agar besok hari aku follow up klaimnya, karena saat itu alasan dia menelepon untuk menanyakan update klaimnya. Dan tiba-tiba saja ketika aku sibuk membalas chat itu, langsung saja kembali dia meneleponku, tak sengaja aku mengangkatnya.
Saat telepon itu aku angkat, awalnya pembicaraan mengenai klaimnya, namun sudah lewat satu jam, percakapan ini tidak mengarah mengenai klaimnya. Dan aku terjebak dengan percakapan ini dan dia mampu membuatku mengikuti percakapan itu padahal aku tak pernah bisa senyaman ini bicara dengan customer selama beberapa tahun aku bekerja. Hampir dini hari, kami sudahi percakapan dengan ucapan selamat malam dan selamat bekerja untuk esok hari.
Besok pagi suara ponselku berbunyi, aku tahu ini pasti kekasihku, yang sering kali membangunkan untuk bekerja. Tapi salah. Yang kulihat masih nomor yang tak dikenal, ya.. itu dia. Aku tidak menyimpan nomornya, namun angka terakhir dari nomor itu aku ingat. Kuangkat telepon itu, dan ucapan selamat pagi terucap, senyum dibibirku merekah, tidak tahu kenapa bisa tersenyum selebar ini, dan aku rasa saat itu wajahku pasti memerah karena malu. Oh tidak... apa yang aku lakukan? Kenapa aku bisa sampai seperti ini.
Aku sudah memiliki kekasih yang sangat teramat baik hati, tapi kenapa ada lelaki lain yang mampu membuat pagi hariku berbeda? Selepas percakapan itu berakhir, aku siap-siap dan menunggu kekasihku mengantar ke kantor. Ketika di atas motor, ponselku berbunyi kembali dan lihat... dia lagi. Aku takut ketauan. Jadi sengaja tidak aku angkat, dan mengirim SMS, “Sedang di jalan menuju kantor."
Memilih
Hari berganti hari, hubunganku dengan pria sang customer itu serasa semakin dekat. Januari saat itu ulang tahunku, tak ada sesuatu yang mencurigakan di kantor ataupun surprise yang diberikan kekasihku saat itu. Ya dengan kata lain semunya seperti biasa saja. Saat aku makan siang di ruangan kantor, tiba-tiba temanku memanggil, katanya ada tamu di luar, aku berhenti makan dan cuci tangan, menghampiri tamu tersebut. Ada seorang laki-laki paruh baya membawa kotak besar, aku tidak mengenalnya siapa, dan bapak itu bertanya, apakah aku benar orang yang dicarinya dan kujawab singkat “Ya," kemudian dia memberikan kotak besar itu. Lalu buru-buru masuk kedalam sebuah mobil.
Aku heran dan tidak mengerti, siapa bapak itu. Temanku iseng berteriak, mengatakan ponselku berbunyi, ada yang menelepon, dengan kotak besar d itangan kemudian aku masuk kembali kekantor dan mengangkat telefon itu. “Bagaimana kuenya? Suka? Sudah dimakan belum?” Karena aku masih heran soal tadi, aku sampai tidak perhatikan siapa yang meneleponku. Oh... ternyata dia, sang customer yang membuat hatiku bergetar seperti jatuh cinta kembali.
Banyak hari-hari yang kami habiskan bersama, dan tanpa sepengetahuan kekasihku. Banyak hal yang tidak mampu dilakukan kekasihku namun dilakukan oleh dia, sebagai wanita yang butuh pasangan dengan karisma, mapan, dan sering sekali memberikan surprise tak terduga, serta kecemburuan yang diberikannya kepadaku dan kasih sayangnya membuat aku terjebak. Ya... seiring berjalannya waktu, hatiku, pikiranku, kecemasanku, bahagiaku dan sedihku sudah terbagi dua dengan orang yang membuat hatiku bimbang.
Malam itu hatiku serasa meronta-ronta, berteriak tanpa suara, rasanya ingin sekali aku menagis sehebat-hebatnya, “Kenapa aku sejahat ini kepada mereka berdua?” Mereka sama-sama tidak tahu bahwa aku mempermainkan hati mereka. Seolah aku mengingat kata-kata yang kemarin aku baca di ponselku “ Tidak ada hamba yang dapat mengabdi kepada dua tuan."
Seketika itu aku berdoa, jika memang aku harus memilih salah satu di antaranya, maka haruslah terjadi, karena aku tak mampu dicap tukang selingkuh, walaupun aku tau hari-hari lalu sudah termasuk kenakalanku karena jalan dengan laki-laki yang bukan kekasihku bahkan sering sekali jalan bersama. Doaku berucap, “Aku mau menerima karma jika memang harus terjadi karena aku yang memulai duluan."
Aku berpikir dengan umurku yang sudah bisa dikatakan layak menikah dan ada seorang laki-laki yang dapat aku andalkan dari berbagai sisi, dan lelaki itupun sudah berniat serius dan ingin sekali bertemu keluargaku, ya sudah kenapa tidak. Besok sore, ketika kekasihku menjemput aku pulang kantor, aku bicara diatas motor, “Kita ngobrol sebentar ya di tempat biasa. Ini penting." Entah kenapa kekasihku berkata, “Ngomong saja di atas motor, aku nggak mau di tempat biasa." Aku melihat nada suaranya, seperti ketakutan dan terbata-bata, aku bingung, kenapa dia seperti itu.
Kenapa tumben sekali tidak mau ngobrol ditempat biasa, apa dia benar-benar sudah tahu? Atau sudah punya firasat? Aku jadi merasa bersalah karena mendengar nada suaranya seperti ketakutan menerima kenyataan. Aku galau, aku teramat sangat sedih. Tapi aku harus memilih. Aku memaksanya terus untuk bicara ditaman itu, taman tempat kami biasa ngobrol berbagai hal. Dan ya, dia mau.
Aku turun dari motor dan disusul dirinya. Kami sama-sama duduk. Lagi-lagi aku bingung mulai dari mana pembicaraan ini. Tak tahan tiba-tiba air mataku mengalir, dia kaget kenapa aku menangis. Lalu... kuucapkan perpisahan itu, seketika itu suara dan air matanya membanjiri wajahnya yang tak bersalah itu, tak sebentar dia menangis, kemudian dia mengambil ponselnya dan menelfon seseorang, “Ma... dia memutuskan aku."
Sontak saja aku kaget dan terdiam seribu kata. Tak mampu lagi bicara, serasa bibirku dilem sangat kencang. Dia menangis dan aku menangis. Matanya dan mataku serasa mau meledak karena sudah bengkak. Ponselku bordering di tengah kesedihan teramat dalam itu, dari dia.. Kemudian kekasihku melihatnya, “Kenapa tidak diangkat? Itu dia yang membuatmu meninggalkanku? Siapa dia? Apa pekerjaannya? Sudah berapa lama kalian kenal?” Banyak sekali pertanyaannya, tapi tak satu pun dapat kubalas. Karena aku malu jika jujur. Namun selalu dia memaksaku, mungkin dia berpikir, “Ya, toh kami juga sudah seperti ini, kenapa tidak sekalian aku tanyakan siapa lelaki itu." Karena paksaan itu, aku jujur dan menceritakan beberapa saja, yang penting pertanyaan dia aku jawab.
Kami lama terdiam dan tak bicara satu sama lain, sedangkan ponselku, aku non aktifkan. Dengan lapang dada dan jiwa besar dia menerima keputusan satu pihak itu. Lalu dia mengantarku pulang ke rumah. Di atas motor itu dan malam itu aku dan dia sudah jadi mantan.
Munculnya Konflik
Hari-hariku berat, karena sudah membuat seseorang sakit hati atas perbuatanku. Mengorbankan perasaan yang sudah kami jalin bertahun-tahun, namun aku harus melupakannya karena aku sudah memilih dan menetapkan hatiku dengan kekasihku yang baru. Beberapa hari itu sangat indah dibuat kekasihku ini, aku selalu dimanjakan dengan apa pun yang dia berikan, entah itu makan malam romantis atau pun diajak jalan-jalan ke tempat yang belum pernah aku jalani, dengan hal-hal yang menurutku romantis itu membuatku lupa akan luka yang kuberikan kepada mantanku.
Di kantorku banyak orang-orang yang tidak menyukai hubunganku dengan kekasihku yang baru, karena dalam pikiran dan hatiku bicara, “Mereka sirik kali ya makanya banyak yang nggak suka,” begitulah penghiburan hatiku. Di kota itu keluarganya memiliki perusahaan swasta yang cukup besar kukatakan, dan saat menjelang akhir pekan, dia sekali-sekali membantu bekerja di tempat itu karena hari-hari biasa dia bekerja di kota lain sembari dia membuka perusahaan yang mirip bidangnya dengan perusahaan keluarganya namun lebih kecil karena dia merintis sendiri.
Saat akhir pekan, tiba-tiba dia mengajakku kencan, setelah kami selesai makan siang bersama, lalu kami berencana nonton dibioskop, sesampainya didalam bioskop dan sedang antre beli tiket, kemudia ibunya menelepon, ada keadaan darurat yang harus dikerjakan di perusahaan itu, dan saat itu hanya dia yang bisa diandalkan, dia mengiyakan telepon ibunya. Namun tetap membeli tiket, tapi untuk waktu yang lain, dan dia bukan membeli dua tiket tapi tiga tiket. Sesampai di dalam mobil, aku bertanya kenapa beli tiga tiket, dia menjawab untuk ibunya, biar bisa nonton bareng, ucapnya.
Tiba di depan perusahaan itu, mobil diparkir, namun membelakangi muka perusahaan, jadi seperti orang lain yang keluar dari perusahaan tidak tahu ternyata ada orang didalam mobil. Kemudian bergegas dia pamit sebentar masuk ke dalam kantor itu, dan meninggalkan aku di dalam mobil. Aku tidak ada unsur kecurigaan sama sekali, aku hanya berpikir mungkin dia buru-buru.
Lalu tiba-tiba, dari arah belakang, aku melihat dari kaca spion ada dua orang wanita, seorang yang lebih tua dan seorang yang lebih muda menghampiri mobil ini, dan langsung saja membuka pintu depan yang aku tumpangi, dan bertanya, “Kamu siapa ya?” tanya Ibu itu, lalu aku berdiri keluar dari mobil dan memberi salam kemudian hendak menyalaminya. Saat aku memperkenalkan diri, tanganku tak menerima balasan salam, lalu kemudian dua wanita itu kembali kedalam kantor itu.
Aku syok, benar-benar sedih dan tak tau mau bilang apa, serasa aku manusia paling hina dan jorok yang tak mau dibalas salam tangannya. Aku menangis di dalam mobil, berteriak di dalam hati. Kemudian dia kembali, saat dia datang ke mobil buru-buru aku menghapus air mata ini dan seperti tidak ada sesuatu yang terjadi, dia duduk di tempat pengemudi dan menyalakan mesin mobilnya dan kami pergi dari kantor itu.
Sepanjang jalan aku terdiam, saat dia bicara juga aku hanya mampu mengatakan satu dua patah kata, tapi air mata ini tak mampu lagi terbendung, jatuh seketika dengan derasnya. Dia heran dan bertanya terus menerus aku kenapa, tak mapu kujawab, lalu katanya, “Kamu tadi ketemu Ibu aku ya?” Aku jawab, “Mungkin”. Lalu dia bertanya kembali dan terus menerus tapi aku kembali dia, sampai saatnya dia menelepon sopirnya yang tempo lalu mengantarkan kue ulang tahun ke kantorku, sang sopir mengatakan, “Iya Pak, tadi saya lihat Ibu tidak mau menyalami kembali tangan pacar Bapak, dan langsung masuk ke kantor."
Saat itulah dia menelepon kembali Ibunya dan mereka bicara, aku yang sedang sedih sekali tidak fokus mendengarkan pembicaraan mereka, hanya satu kalimat yang kudengar, kata Ibunya, “Ibu tidak tahu dia siapa, Ibu kira bukan pacar kamu, dan ibu tidak kenal dia." Dengan kata-kata itulah yang mampu diucapkan agar aku tidak menangisi hal itu, tapi dipikiranku bicara, “Apakah semua orang yang di kantor itu atau tamu-tamu yang datang dikenal oleh Ibunya? Bagaimana jika tamu yang baru pertama kali datang, pasti dia tidak kenal, dan apakah dia tidak menyalam tangannya kembali?” Tapi yasudahlah, nasi sudah jadi bubur.
Di sepanjang perjalanan aku minta untuk diantar pulang kerumahku, ingin istirahat sebentar, kemudian dia bilang, “Boleh diantar pulang, tapi kita bertiga harus nonton ya. Kalau tidak mau, aku belokin mobil ini ke arah kantor dan kamu harus bertemu Ibuku tapi kalau jadi nonton, aku langsung mengantarmu pulang." Secepatnya kubalas singkat, “Ya”. Malam harinya di tempat tidurku, kubaringkan tubuh ini, dengan wajah penuh air mata, dan masih saja sakitnya terasa.
Mungkin Ini Karma Untukku
Besoknya aku bangun kesiangan mungkin karena banyaknya air mata yang keluar, kuambil ponselku, lalu kutekan Mode Pesawat. Sampai sorenya, aku teringat untuk janji menonton seharusnya sore ini, tapi aku masih dengan rasa sakit hati dan masih tidak mau menonaktifkan Mode Pesawat di ponselku, tapi di malam harinya aku merasa ada yang mengganjal dan ada rasa rindu yang tak tertahankan.
Ponselku kembali aktif, dan benar saja, banyak SMS yang masuk, hampir semua darinya. Dari awal SMS yang menanyakan apakah aku sudah selesai siap-siapnya sampai dengan omongan kenapa aku berbuat seperti itu ke dia dan ibunya, aku tidak membalas dan kemudian menyimpan ponselku. Besok setelahnya aku merasa bersalah dan sangat bersalah, aku minta maaf dan berulang kali meneleponnya tapi tidak diangkat.
Beberapa jam kemudian, dia membalas, “Nanti aku telepon kembali." Aku menunggu. Namun tidak ada kabar, kemudian aku meneleponnya kembali, dan dia mengangkat, kami bicara mengenai kemarin. Singkatnya kami berbaikan. Akhir pekan kami bertemu dan ngobrol banyak hal. Dan aku mengatakan, “Kalau nanti orangtua kamu tidak merestui hubungan kita, bagaimana?” Dia hanya menjawab, “Aku bukan anak kecil lagi, aku mampu menghidupi diriku sendiri, aku cinta dan sayang kamu, dan aku bakal pertahankan hubungan kita, kalau mau besok kita juga boleh menikah." Aku tersenyum dan memeluknya. Kemudian tiba-tiba dia melanjutkan omongannya, “Apakah kita harus tinggal bersama dulu, ya?” Aku kaget mendengar ucapannya, seperti ucapan orang yang tidak benar. Aku marah dan mengatakan kalau aku masih punya harga diri, aku menasihatinya.
Selang beberapa hari kemudian, tak ada kabar darinya seperti hilang ditelan angin. Berkali-kali kutelepon ke nomornya, aktif, namun tidak diangkat. Aku hampir putus asa mencarinya, karena selain akhir pekan dia bekerja dil uar kota, walaupun aku tahu di mana lokasi kantornya. Hari demi hari, minggu demi minggu tidak ada kabar, tapi aku tetap menghubungi dan mengirimkan SMS.
Lalu kutelepon dia dengan nomor lain, diangkat, dan kami bicara, dia hanya mengatakan sedang berada di luar negeri, karena kakaknya sakit dan harus ditangani serius. Masih saja aku percaya dengan kata-katanya, setelah telepon itu berakhir, aku berpikir, kenapa bisa selancar itu menghubungi dia sedangkan dia berada di luar negeri, tapi pikiran negatif itu kutepis.
Beberapa hari kemudian tidak ada angin tidak ada api, dia mengirimku SMS, “Kita sudahi saja semuanya, kita putus. Aku akan menikah." Sontak kakiku rasanya tidak mampu berdiri lagi, serasa mau jatuh. Aku buru-buru ke kamar mandi kantor yang saat itu aku masih bekerja. Menangis sejadi-jadinya. Besoknya aku cerita kepada ibuku mengenai dia menjadi kekasihku. Ibuku sudah tahu dan mendukung yang terbaik buatku karena aku selalu membicarakan tentangnya yang semuanya baik-baik saja. Lalu Ibuku bilang, “Mari Bapak, Ibu juga adikmu mengantarmu ke kantor dia, kami bertiga nanti menunggumu di mobil, dan kamu masuklah kekantornya dan bicaralah, ini semua Ibu katakana agar kamu tidak ada harapan lagi untuk dia, agar semua ada titik temu," kuiyakan usul itu.
Aku mengambil cuti kantor hanya untuk memastikan semua ini. Benar saja, pintu kantornya terbuka, dan ada dua resepsionis. Aku pura-pura menjadi seorang tamu di kantor itu dan hendak berjumpa dengan atasannya. Mereka mengiyakan permintaanku. Beberapa menit aku mendengar suaranya, jantungku berdetak kencang, seperti kembali baru mengenal dia.
Lalu aku diarahkan salah satu resepsionis itu ke ruangannya. Ketika pintu ruangannya dibuka, aku melihatnya duduk, lalu aku tersenyum, namun ada seorang wanita di sampingnya, yang mengambil gelas air minum kekasihku itu lalu diminumnya sendiri, sekilas aku hanya berpikir dia mungkin salah seorang karyawan, namun karena gelas kekasihku dipegangnya dan diminumnya, aku mulai tak sanggup lagi berdiri. Dia melihatku, pandangan kami berdua serasa kosong dan mati rasa. Wanita di sampingnya berlagak seperti mengenalku dekat, dia memanggil namaku, dan aku terkejut kenapa dia tahu namaku, dia mengajakku duduk tepat berhadapan dengan mereka berdua.
Hanya satu kata keluar dari mulutku, “Itukah dia?” “Ya” jawab singkatnya. Oh Tuhan seketika rasanya aku tak mampu lagi bernapas, dadaku serasa diikat tali tambang yang besar sekali. Dalam keadaan kami bertatap mata, masih saja wanita itu bicara seolah-olah tak ada hati yang tersakiti di ruangan itu, aku hanya tak mampu menerima seperti ini. Begitu banyaknya kata-kata keluar dari mulut wanita tersebut dan dia selalu berada di samping lelaki itu, tidak memberi kesempatan kami berbicara empat mata.
Aku merasakan ketakutan dari wanita itu, ketakutan kalau lelaki itu kembali padaku. Aku tak tahan, hatiku perih, hatiku hancur dengan semua janji-janji manisnya yang hanya sebuah janji, aku patah hati, lalu aku pamit keluar dan bertanya di mana toilet. Di situlah aku menumpahkan air mataku dan meremas bagian dada bajuku karena hancurnya hati ini. Aku malu bertemu orangtuaku dan adikku, karena setiap saat aku selalu bercerita indah tentangnya, tapi aku harus kuat, aku harus mampu setidaknya berjalan keluar dari tempat yang menyesakkan ini.
Ketika aku keluar dari toilet dan melewati ruangannya menuju pintu keluar, wanita itu tiba-tiba menghentikan langkahku, dia memanggil namaku, tapi tak kuhiraukan, terus melangkah, namun dia memegang tanganku, kutepis, dan hanya satu pertanyaan kuucapkan “Apa benar kalian akan menikah?” dia menjawab cukup lama dan melihat kedua resepsionis itu, dan menjawab, “Ya." Dan saat pertanyaan itu terjawab barulah harapan itu sudah benar-benar hilang. Seperti kata bijak bilang, “Jika yang kamu lakukan itu dapat menyakiti orang lain, ingatlah karma." Ini karmaku kepada mantan kekasihku.
#GrowFearless with FIMELA