Cinta Itu Menerima Apa Adanya, Bukan Menuntut Serba Sempurna

Endah Wijayanti diperbarui 13 Sep 2019, 09:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.

***

Oleh: Rhe - Cilegon

Ketika masuk Sekolah Menengah Pertama beberapa tahun lalu, aku langsung memilih Pramuka sebagai ekstrakurikulerku. Alasannya karena aku sangat menyukai kegiatan alam, terutama perkemahan. Aku ikut ekskul itu murni demi memuaskan hasratku yang senang berpetualang, bukan karena embel-embel seniornya ganteng-ganteng seperti kebanyakan teman-temanku yang ikut ekskul Pramuka juga. Tapi tak kusangka, justru berawal dari sanalah aku menemukan cinta pertamaku.

Dia seniorku, waktu itu dia duduk di Sekolah Menengah Atas Kejuruan Listrik, jurusan yang sama dengan papaku. Dia secara sukarela menjadi pembina di ekskul tersebut, dan mau tidak mau, ikut membimbing anak-anak baru sepertiku. Awalnya tak ada yang spesial antara aku dan dirinya, hanya hubungan junior-senior yang terbatas pada obrolan-obrolan mengenai alam, kegiatan kemah, dan latihan di hari Minggu. Hanya saja, aku pernah tanpa sengaja memilih dia sebagai ‘senior terganteng’ saat aku dan teman-teman Pramuka-ku sedang iseng menunggu waktu latihan. Tak dinyana, dia mendengarnya, dan sejak saat itu perlakuannya padaku berubah.

Aku ingat saat malam kegiatan hari ulang tahun Pramuka, kami berdua berjalan beriringan mengelilingi kota dalam acara Pawai Obor, sampai kami digoda oleh teman-teman yang lain. Aku juga ingat ketika ia bantu aku menghalau kerbau saat ingin menyeberangi sungai ke tempat perkemahan. Aku tidak lupa saat acara Malam Api Unggun, dan dia terus menatapku sembari bernyanyi dan memainkan gitar. Dan dia juga pernah mengajakku menatap bintang di depan tenda, sambil kami merangkai kata-kata untuk dijadikan puisi. Dia pernah pula tiba-tiba berkata sesaat sebelum aku tampil di perlombaan Morse, “ABCDE. Aku bilang cinta diterima enggak?” yang membuatku tersipu malu dan akhirnya malah membuatku kalah karena aku tidak fokus memikirkan ucapannya.

Kenanganku bersamanya saat itu tidak ada duanya. Langit, bumi, awan, angin, bulan, matahari, semua pernah menyaksikan dia menunjukkan perasaannya padaku. Dan, siapa yang tidak terbawa dengan segala perlakuan itu? Lambat laun, aku pun membalas perasaannya. Kupikir, karena saat itu aku baru mengenal cinta, hal ini tidak akan bertambah lama. Ya, namanya juga cinta monyet. Tapi siapa sangka, justru dari sanalah aku belajar segalanya. Tentang perasaan yang tulus, tentang cinta yang tak perlu syarat, cinta yang tidak perlu memiliki, tentang pengorbanan, penerimaan yang apa adanya dan keikhlasan.

Tahun berlalu dan aku pun kuliah di luar kota. Aku praktis putus kontak dengannya semenjak lulus SMP. Hanya sempat bertemu beberapa kali saat ada acara SMA, namun tidak berbuntut panjang. Dia tiba-tiba saja menghubungiku lewat Facebook saat aku duduk di semester tiga. Ketika itu dia bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Kami berhubungan jarak jauh cukup lama, dan dia sempat menghampiriku beberapa kali untuk bertemu dan mengajak jalan-jalan. Singkatnya, cinta pun menuai kembali.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Melepaskannya tapi Rasanya Begitu Sakit

Ilustrasi./(Jesterpop/Shutterstock)

Kami bertahan hingga beberapa bulan lagi aku akan lulus kuliah. Dia sempat membicarakan pernikahan padaku, dan aku tidak berkeberatan dengan itu. Setelah kuceritakan segalanya pada orangtuaku, Mama agak tidak setuju ketika tahu bahwa dia hanyalah lulusan SMA. Aku mencoba menjelaskan segala yang kubisa, tapi apa daya. Aku juga punya kewajiban untuk membahagiakan orangtuaku dengan menurutinya. Kucoba merayu dia untuk kuliah sambil kerja, karena kutahu dia cukup pintar untuk membagi waktu kegiatannya. Dia tak merespons. Aku tetap merayu dia untuk kuliah, tapi dia bilang bahwa tidak bisa. Tidak ada harga yang bisa ditawar lagi. Dia pun punya kewajiban untuk membiayai adiknya, yang tak bisa dibagi dengan biaya kuliahnya.

Akhirnya, akibat emosi yang mengumpul di dadaku, menganggap bahwa dia tidak serius padaku, kuputuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Namun, masih dengan harapan bahwa dia akan kembali dan menuruti apa kemauanku.

Berbulan-bulan berlalu dan tak ada kabar, dan aku sedang di pucuk rindu. Dia tidak pernah lagi membalas pesan-pesanku. Seakan menghilang begitu saja. Terakhir kali dia mengirimkan pesan padaku menanyakan apakah aku berubah pikiran, apakah aku mau menikahi seseorang yang pendidikannya lebih rendah. Aku sengaja tidak menjawab. Namun, dia pun tak ada respons lagi hingga pada suatu saat dia akhirnya mengirimkan pesan padaku bahwa ia sudah menaruh sesuatu untukku di depan rumah. Aku langsung melesat keluar dan mencari-cari sesuatu di teras. Kupikir itu bunga, boneka, hadiah yang dibungkus kertas kado, atau sepucuk surat cinta. Ha, ternyata aku salah. Yang kulihat adalah sebuah undangan pernikahan.

Pernikahannya dengan perempuan yang tidak kukenal.

Seakan langit hancur menimpaku, aku menangis sesengukan. Tiga hari aku mengurung diri di kamar, sambil menyalahkan diri sendiri, beberapa kali pula menyalahkan orangtuaku. Aku bak orang linglung. Di hari pernikahannya, aku hanya menangis sampai mataku sembab, biru dan kelelahan. Aku tidur seharian sangking lelahnya melepaskan emosi kesedihan.

Ya begitulah, meskipun akhirnya aku berhasil move on, toh aku tetap menyesal akan apa yang telah kuperbuat dulu. Kutukar keegoisanku dengan cinta. Kubiarkan hatiku sakit dan diriku hancur karena ulahku sendiri. Namun, lambat laun aku berhasil memaafkan diri sendiri. Aku berhasil mencintai yang lain. Dan kali ini, meski apa yang terjadi, karena cinta, akan kuperjuangkan apapun demi bersamanya.

#GrowFearless with FIMELA