Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagan yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.
***
Oleh: U - Cirebon
Nama saya Ulfa, 27 tahun sudah menikah dan memiliki seorang anak. Inilah kisah cintaku. Jakarta 2015, tepatnya 4 tahun yang lalu, saya adalah wanita lajang energik dan punya banyak mimpi. Berkat mimpi itulah saya berani merantau ke Jakarta, dari seorang guru SMP di desa kemudian beralih profesi menjadi karyawan swasta di salah satu perusahaan besar di Indonesia.
Tahun 2016 adalah puncak kesuksesan sekaligus titik kehancuran karier saya, di mana hanya butuh satu tahun saja, saya bisa menaiki tangga karier ke level atas dan berharap terus naik. Sampai akhirnya tangga itupun hancur hanya dengan kalimat dari orangtua, “Kapan menikah?" Fokus saya pun terbagi, sampai akhirnya berdiskusi dengan orangtua dan mengambi keputusan untuk menghentikan langkah dan pulang ke kampung halaman, Indramayu.
Ketika pulang itulah saya dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak saya cintai. Kembali berdiskusi dengan orangtua dan diberiku waktu di tahun 2017 harus menikah. Akhirnya dengan beban target pernikahan, saya merantau kembali ke kota ketika kuliah dulu, yaitu Cirebon. Sebulan kemudian, saya diterima di salah satu perusahaan besar di Cirebon sebagai staf HRD&GA, saya selalu antusias untuk belajar hal baru. Saking antusiasnya saya sangat menikmati pekerjaan saya, sampai pada titik saya teringat akan target pernikahan saya. Saya memang tidak punya pacar, tapi bukan berarti tidak laku, hanya lebih selektif karena inginnya mencari suami bukan pacar.
Akhirnya penantianku terjawab setelah satu bulan saya bekerja di perusahaan tersebut, saya didekatkan oleh beberapa teman dengan salah satu Co-Branch Manager bagian marketing, Angga namanya, laki-laki yang lebih tua satu tahun di atas saya itu nampak seperti anak yang baru lulus SMA, bahkan masih cocok ketika menggunakan seragam sekolah. Perawakannya yang kecil dan muka yang baby face tak mungkin ada niatan untuk mengajak menikah, pikir saya. Tapi ternyata saya salah. Benar kata pepatah, “Don’t judge a book from its cover.” Itu bener banget, tanpa banyak janji, tanpa rayuan bahkan khayalan semu, dia mendekatiku begitu nyata. Dengan perlakuan sopan dan lemah lembutnya, saya yakin semua wanita pasti luluh.
Kelahiran Anak Pertama
Dekat tanpa status pacaran, selang 3 bulan kemudian saya pun memintanya datang ke rumah menemui orang ua saya. Pertemuan pertama itu membuatnya sangat gugup karena orangtua saya langsung melontarkan pertanyaan, “Kapan kamu menikahi anak saya?” Dalam suasana tegang ia pun menjawab dengan tenang, “Secepatnya, Pak." Jawaban tersebut langsung ditanggapi dengan antusias oleh orang tua saya. Mereka langsung menunjuk bulan akad nikah dan resepsi, Angga pun terkejut namun tetap tenang dengan berkata akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan keluarga.
Lalu bagaimana keluarganya, setujukah? Tentu tidak. Diskusi cukup alot pun terjadi, namun akhirnya hari itu pun tiba. Akhir Januari keluarga Angga datang ke rumah untuk melamar. Dan berlangsunglah akad nikah 5 Februari 2017 dan resepsi pernikahan di gelar pada 7 Mei 2017. Kenapa terpisah? Orangtua saya ngirit budget, resepsi pernikahan saya digabung dengan khitan adik saya. Ya pasrah saja yang penting sudah memenuhi keinginan orangtua saya, dan saya menikah dengan orang yang saya pilih sendiri walaupun untuk waktu pelaksanaan pernikahan terkesan dipaksakan.
Layaknya pasangan suami istri yang diharapkan adalah segera mendapatkan momongan, begitupun kami. Nasihat dari orang tua yang meminta untuk menunda momongan tidak kami ikuti dan alhamdulillah selang 11 minggu tepatnya di bulan April saya dinyatakan hamil dan usia kandungannya sudah memasuki 8 minggu, dan ya memang ketika resepsi itu saya terlihat lebar banget karena sudah dalam kondisi hamil.
Dan waktu melahirkan pun tiba, dini hari di tanggal 18 November 2017 saya merasakan sakit yang berbeda dengan kandungan saya, terasa lebih dari sebelumnya. Sampai siang masih terasa sakit akhirnya di bawa ke bidan dan ternyata memang sudah pembukaan dua. Karena kondisi kaki saya yang bengkak akhirnya dirujuklah ke rumah sakit. Seumur hidup baru pertama kali menjadi pasien rumah sakit, kalau sakit mentok-mentok obat warung langsung sembuh.
Kata "caesar" pun sempet keluar dari mulut bidan yang memeriksa saya, apabila sampai esok hari anak saya tidak kunjung keluar. Tetapi saya masih berharap untuk bisa melahirkan normal. Dan tibalah suara tangisan anak saya terdengar di hari Minggu, 19 November 2017 pukul 05.00 betapa lega dan bahagianya saya karena melahirkan anakku secara normal. Setelah terpisah selama 5 jam akhirnya kami dipertemukan, untuk pertama kalinya saya akan menyusui bayi saya dan ternyata… betapa hancurnya hati saya di kala itu mengetahui kalau ASI saya tidak keluar. Iya sama sekali tidak keluar. Dan orangtua saya menyarankan untuk memberikan susu formula.
Berjauhan
Selang seminggu anak saya lahir, suami saya mendapatkan promosi dari kantornya. Naik jabatan alhamdulillah jadi manager tapi di luar kota. Sungguh indah rencana Allah, saya hanya manusia biasa yang mampu berencana tapi tetap rencana Allah yang terbaik. Melihat kondisi tersebut terlontar dari mulut orangtua saya untuk ikut suami bekerja dan meninggalkan anak saya dengan mereka. Setiap hari terlontar kata-kata tersebut, membuat saya stres dan tidak betah di rumah. Akhirnya dengan segala kebodohan saya, saya meninggalkan anak saya dan pergi ke suami, mencari kerja di Tegal selama 3 bulan dan tak kunjung mendapatkan hasil.
Setiap hari menangis mengingat anak saya, akhirnya suami meyakinkan saya untuk mengurus anak bersamanya di Tegal. Dan ternyata itu adalah kebodohan saya yang lain, karena saya yang tidak tahu apa-apa berani mengambil risiko besar itu. Dan betul saja, belum-belum anak saya mencret dan panas tinggi. Orang tua saya panik dan langsung berkunjung ke Tegal untuk membawa kembali anak saya.
Selang tiga bulan saya mencari kerja lagi dan tetap tidak mendapatkan hasil, mungkin karena setengah hati. Sampai akhirnya tekad saya yang sudah teramat bulat untuk mengasuh anak saya seorang diri dan ketika itu sudah 6 bulan, usia yang cukup untuk mencoba mengurusnya sendiri. Alhamdulillah berjalan lancar sampai anak saya bisa berjalan di usia genap 12 bulan dan mulai berbicara di usia 18 bulan.
Lalu bagaimana orangtua saya, sudah percayakah terhadap saya? Tentu tidak. Setiap hari melakukan panggilan video untuk melihat kondisi anak saya dan untuk menyuruh saya untuk kerja. Setiap hari? Ya setiap hari, bahkan sehari bisa dua kali. Lalu saya bagaimana, streskah? Ya sangat. Sampai akhirnya hari itu pun datang ketika usia anak saya 21 bulan saya menyerah dan mencari kerja. Dan inilah saya sekarang, sebagai guru privat les, sesekali ikut lomba menulis ini itu, mengisi kelas inspirasi, mengikuti ajang internasional yang bisa saya ikuti.
Inilah saya dengan rasa bersalah dan penyesalan yang mungkin akan menimpa saya di kemudian hari. Inilah isi hati saya. Saya tinggal sendiri di Cirebon, suami saya di Tegal dan anak saya di Indramayu. Rasa cinta saya yang teramat besar kepada anak dan suami tetap kalah dengan ketakutan akan masa depan.
#GrowFearless with FIMELA