Mencintai Seseorang dalam Diam Harus Tegar Menahan Rindu Sendirian

Endah Wijayanti diperbarui 11 Sep 2019, 10:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap orang punya kisah cinta yang unik. Ada yang penuh warna-warni bahagia tapi ada juga yang diselimuti duka. Bahkan ada yang memberi pelajaran berharga dalam hidup dan menciptakan perubahan besar. Setiap kisah cinta selalu menjadi bagan yang tak terlupakan dari kehidupan seseorang. Seperti kisah Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Love Life Matters ini.

***

Oleh: Uniqa Wardhani - Makassar

Terkadang, cinta bisa membungkam waktu, juga cerita tentang bahagia yang pernah kuciptakan sendiri. Ya, karena memang bahagia tidak perlu susah-susah dicari, namun diciptakan sendiri. Begitu kata orang banyak, orang-orang yang tidak percaya pada kesedihan abadi. Mungkin dia juga bagian dari mereka (yang tidak pernah terlihat bersedih sekali waktu) apalagi seperti menyesal akan sesuatu yang pernah terjadi di hidupnya. Tapi aku, di sini aku sedang sendirian. Memikirkan bagaimana lagi aku harus berusaha menciptakan kebahagiaan itu seorang diri.

Aku pernah benci diam-diam mencintai dirinya yang terlalu baik padaku, tepatnya sejak pertama kali kami berkenalan empat tahun lalu. Aku pernah juga terlalu bangga mengabaikan setiap pesannya yang hanya sekedar menanyakan kabar, seolah aku tidak akan pernah membutuhkannya. Kupikir tak apa, toh kami memang belum pernah bertemu secara langsung dan aku tak tahu dia sebaik apa. Lalu akhirnya aku malah terbiasa dengan pertanyaannya, “Boleh kutelpon sekarang?”

Jujur saja, dari sekian banyak perkenalan pertama sebelum dengannya, aku tidak pernah tertarik pada pria yang setelah mengucapkan salam lalu tiba-tiba saja meminta untuk bertukar nomor kontak. Tidak pernah sekali pun aku menyukai perkenalan seperti itu. Tapi entah bagaimana, pada pria satu ini aku bisa baik-baik saja memberinya kabar saat dia bertanya, mengiyakan saat dia bilang ingin mendengar suaraku, bahkan ketika ia sangat penasaran dengan film Sicario, kukirimkan jadwal tayangnya agar dia bisa menentukan sendiri waktu untuk menontonnya bersamaku. Aku juga pernah diam-diam sengaja berbelok arah hanya karena ingin tahu, apakah dia sedang berdiri di depan kantornya sore itu atau sedang apa. Tapi tak pernah berhasil kutemukan wajahnya di sana.

 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Hanya dalam Diam

Ilustrasi./(Foto: unsplash.com/Pung H. I)

Begitulah pertemuan yang diam-diam kurencanakan sendiri. Karena pada akhirnya, dengan alasan apapun dia mengajak untuk bertemu, aku selalu saja tertahan di menit terakhir. Entah apa yang kuhindari, tapi aku merasa belum siap bertemu dengannya. Benar, aku sedikit aneh.

Namun dia memang terlalu baik. Dia terlalu menikmati kebahagiaannya, dan tak pernah sekali pun mengeluh apalagi merajuk saat kami tak jadi bertemu untuk kesekian kalinya. Malah dia berbaik hati berbagi rupiah padaku saat aku sedang kemalangan, padahal aku pun bingung dari mana dia bisa mengetahui keadaanku saat itu. Dari mana kepercayaan itu bisa ada dalam dirinya dan dia berikan padaku begitu saja tanpa jaminan? Dia bahkan percaya bahwa aku mencintainya hingga saat ini.

Setelah kami tak berkomunikasi selama setahun terakhir karena kesibukan, aku lalu teringat namanya di suatu pagi yang dingin. Di tengah perasaanku yang sedang tidak baik karena hari-hari yang buruk. Mungkin menjadi buruk karena tak ada dia yang pernah sangat rajin bertanya kabarku di pagi atau malam hari. Pagi itu, aku seakan sendirian saja di dunia ini. Lalu terpikir untuk menghubunginya melalui pesan singkat, tapi keinginanku gugur lagi. Kali ini aku tahu alasannya. Itu karena kami sudah cukup lama saling mengabaikan, dan tak ada yang saling mencari. Aku tidak yakin apakah akan benar jika aku tiba-tiba menghubunginya yang mungkin masih sedang berisitirahat dari aktivitas padatnya.

Tanganku lelah sekali menahan keinginan untuk menyapanya kembali. Hingga akhirnya aku tertidur lagi menikmati dinginnya pagi yang abu-abu. Ditemani suara rintik hujan dan lagu-lagu cinta dari Dewa 19. Aku pulas.

Keesokan harinya, salah satu sahabatku di kampus mengabari bahwa akan segera menikah. Aku berbahagia, sekaligus juga bersedih ketika dia bertanya tentang pria yang pernah kuceritakan padanya. Pria yang sangat baik yang baru kemarin pagi ingin sekali kutanyakan kabarnya. Pria yang pernah berterus terang mengatakan ingin menunggu kuliahku selesai lalu akan meminta bertemu dengan orang tuaku. Kami memang sempat berbicara tentang masa depan, tentang pernikahan, rumah tangga, dan anak. Ya, saat ini kuanggap itu adalah pembicaraan yang lucu, sebab kami saja tidak sedang berpacaran. Bagaimana mungkin berimajinasi dan menyatukan visi tentang masa depan berdua. Tapi saat itu mungkin suasananya sedang hangat, jadi obrolan kami mengalir begitu saja melalui telepon.

3 dari 3 halaman

Dia Tak Berjodoh Denganku

Ilustrasi./Copyright pexels.com/@d-ng-nhan-324384

Aku tersentak. Ternyata benar kami pernah sedekat itu. Pria yang tidak hanya menanyakan kabarku, tapi juga selalu mendoakan keluargaku sehat dan bahagia. Aku tidak tahu raut wajahnya seperti apa saat kami bercerita tentang masa depan. Tapi setelah itu, aku justru semakin yakin bahwa memang dia masa depanku. Dan karena keyakinanku itulah, aku tidak pernah terlalu khawatir dengan keadaannya selama setahun terakhir, dan bahkan aku tidak pernah mencarinya.

Jadi, aku pun meneguhkan hati untuk menghubunginya kali ini. Kupikir dengan pesan What's App akan lebih mudah dan ringkas, seperti yang selalu kami lakukan dulu. Kucari kontaknya, dan ketemu! Tapi, aku tertahan lagi. Sungguh waktuku seperti dibungkam oleh perasaan cinta yang belum bersambut dan juga belum dituntaskan. Karena kali ini aku tertahan bukan karena tidak ingin mengganggu tidurnya. Kali ini, adalah karena aku tidak ingin mengganggu rumah tangganya.

Betapa aku sangat percaya bahwa Tuhan memang tidak memberikan bahagia pada manusianya yang tidak memikirkan tentang bahagia. Menurutku, dia telah menciptakan bahagianya yang baru dengan cinta yang baru. Cinta itu akhirnya datang dari perempuan lain yang lebih baik dariku. Aku masih sangat ingat kalimat terakhirnya, bahwa hidup memang begitu misteri. Aku yang pernah dia nantikan selesai pendidikannya, aku yang pernah selalu dia ajak bertemu di hari yang baik, aku yang menyia-nyiakan niat tulusnya.

Kini dia milik orang lain, milik perempuan yang mendampinginya dengan busana pengantin berwarna hijau muda yang begitu indah seperti terlihat dalam foto profil What's App-nya yang akhirnya membuatku berhenti untuk penasaran. Kupikir akan lebih baik jika aku kembali belajar untuk sendirian lagi saja, menciptakan bahagiaku sendiri lagi. Cinta yang pernah diam-diam kunikmati sendiri tanpa pengungkapan, aku harus merelakannya kali ini. Semoga di lain waktu aku tak lagi mengabaikan cinta baru yang akan membersamai hidupku. Hingga aku bisa kembali berimajinasi tentang masa depan lagi.

 

#GrowFearless with FIMELA