Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta
Masih ingatkah kita dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Jakarta International School (JIS) pada tahun 2014 yang lalu? Kasus yang sempat menyita perhatian publik itu menyisakan pertanyaan, bagaimana bisa masyarkat hidup aman jika masih ada 'predator' kekerasan seksual?
Kemudian terjadi lagi, perkosaan oleh pria berusia 20 tahun kepada 9 anak. Melansir laman Liputan6, kasus ini terjadi di Mojokerto dengan pelaku yang bernama Muhammad Aris. Pengadilan Negeri Mojokerto menjatuhi hukuman 12 tahun penjara dengan denda 100 juta subsider 6 bulan. Kemudian ada hukuman tambahan kepada pelaku berupa kebiri secara kimia.
Vonis ini didasari Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Hakim yang menjatuhi vonis merasa telah menjalankan apa yang tertuang dalam UU nomor 17 tahun 2016 yang merupakan tambahan dalam UU no 23 tahun 2002. Tujuan hakim adalah memberikan efek jera sehingga hal serupa tidak terjadi lagi, khususnya di Mojokerto.
What's On Fimela
powered by
Awal Mula Wacana Hukum Kebiri
Masyarakat yang mulai geram terhadap tindak kekerasan seksual menuntut adanya tindakan pencegahan dan hukuman yang seberat-beratnya untuk tindak kekerasan seksual. Salah satunya adalah hukum kebiri bagi sang pelaku. Pada tahun 2015, wacana ini terdengar cukup kuat ketika KPAI mengusulkan hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual. Usulan KPAI ini mendapatkan dukungan dari Mentri Sosial.
Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh berpendapat bahwa kebiri yang dilakukan bukan kebiri secara fisik melainkan kebiri secara kimia, berupa suntik antiandrogen. Antiandrogen ini berfungsi melemahkan hormon testosteron yang dapat menurunkan atau bahkan menghilangkan hasrat seksual seseorang. Dengan demikian, menurutnya, mata rantai pelaku kekerasan seksual akan hilang satu persatu.
Asrorun pada saat menugusulkan hukuman tersebut, mengatakan bahwa Indonesia memang belum pernah menggunakan hukuman seperti itu. Namun dirinya melihat negara-negara lain seperti Jerman, Rusia dan Korea Selatan sudah menerapkan hukuman serupa. Penerapan bisa dilakukan tanpa harus menciptakan hukum baru tentang kebiri, melainkan mengamandemen UU Perlindungan Anak Tahun 2002. Pada akhirnya, UU no 23 tahun 2003 mengalami suatu amandemen di beberapa pasal sehingga melegalkan adanya hukuman kebiri kimia.
Hal itu tertuang dalam UU No 17 tahun 2016 yang menentapkan perubahan kedua atas UU No 23 tahun 2002. Dalam Pasal 81 ayat (7) memang disebutkan tentang hukuman kebiri. menyisipkan satu pasal diantara Pasal 81 dan 82 yakni Pasal 81A. Dalam Pasal 81A, harus ada prosedur yang jelas dan institusi terkait seperti hukum, sosial, dan kesehatan sepakat dengan prosedur yang akan dilaksanakan.
Implementasi Hukuman Kebiri
Seperti yang dijelaskan UU no 17 tahun 2016, institusi terkait seperti kementrian di bidang hukum, sosial da kesehatan harus sepakat untuk mengeksekusi hukuman ini. Prosedur kebiri juga harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah, tidak boleh menyalahi aturan tersebut.
Kemudian, jika memang sudah disepakati, hukuman kebiri baru bisa dilaksanakan paling lama 2 tahun setelah dilaksanakannya pidana pokok. Berarti tidak boleh dalam waktu yang dekat. Muhammad Aris yang divonis hukuman kebiri tidak boleh dieksekusi sampai hukuman 12 tahun penjaranya diselesaikan. Baru setelahnya, dirinya boleh dikebiri secara kimia dengan jangka waktu paling lama 2 tahun setelah bebas dari hukuman.
Setelah dikebiri pun, harus ada pengawasan baik secara medis (rehabilitasi) maupun secara non-medis, seperti alat pendeteksi elektronik.
Pro dan Kontra : Mempertanyakan Relevansi Hukuman Kebiri
Sejak diwacanakan menjadi undang-undang yang legal, hukuman kebiri menuai banyak pro dan kontra. Mengutip jurnal "Menguji Euforia Kebiri" Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI, pda proses pembuatannya 3 poin utaman yang menyatakan setuju dengan hukuman ini adalah:
(1) Tidak semua pelaku kekerasan seksual bisa jera dengan hukuman yang biasa. Sebagian dari mereka bisa dibilang "Orang Sakit". Sebagian pelaku kejahatan seksual, berpotensi terus mengulangi perbuatannya, tak takut penjara, tak iba pada korban. Korban kejahatan seksual, bisa menimbulkan “mata rantai dan anak pinak” ini menjadi masalah karena korban berpotensi melakukan kejahatan seksual di kemudian hari Korban masif dan berguguran, bukan hanya cacat, tetapi berakhir meninggal dunia.
(2) Menggunakan dalih HAM malah tidak berfokus pada korban, melainkan berfokus pada pelaku. Hal ini berbahaya bagi calon korban.
(3) Beberapa negara sudah menerapkan hukuman ini. Kebiri bukan bentuk balas dendam, melainkan penjeraan bagi pelaku dan pencegahan bagi calon palaku.
Namun sangat banyak yang menentang 3 alasan utama ini. Mulai dari Komnas HAM, ICJR, ELSAM, berbagai LBH dan institusi di bidang hukum maupun sosial dengan lantang menolak hukuman yang akhirnya disahkan ini. Lembaga-lembaga terkait yang menolak menyauarakan 3 poin utama alasan mereka yaitu :
(1) Hukum kebiri tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan sistem hukum di Indonesia.
(2) Melaksanakan hukum kebiri artinya melanggar HAM dan menyangkal ratifikasi terhadap konevensi internasional khususnnya di kovenan Hak Sipil dan Politik, Anti Penyiksaan, dan Hak Anak. penghukuman badan, dalam bentuk apapun harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia, terlebih apabila ditujukan untuk pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara ilmiah.
(3) Hukum kebiri tidak menyelesaikan masalah kekerasan seksual kepada siapapun karena masalah kekerasan seksual adalah masalah mental dan pola pikir pelaku, bukan sekedar hasrat yang ada secara biologis.
Pakar kesehatan sekelas Menteri Kesehatan sejak awal pun mengingatkan untuk mempertimbangkan hukuman ini. Menjalankan kebiri yang salah bisa memberikan efek samping yang luar biasa berbahaya seperti disfungsi hormon, kesehatan tulang terganggu, sistem imun tubuh juga bisa terpengaruh.
Menanggapi kasus kekerasan seksual dan menggunakan kebiri bukanlah jalan terbaik. Yang menjadi penting adalah bagaimana kita mau menghilangkan budaya tersebut, pemulihan bagi korban dan upaya keras untuk mencegah pelaku berbuat hal demikian.
#GrowFearLess with Fimela