Mengenal Kebiri Kimia dan Efek Sampingnya

Nabila Mecadinisa diperbarui 28 Agu 2019, 11:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Pelaku kasus predator seksual anak di Mojokerto, Muhammad Aris (20) sukses menarik perhatian publik. Hal ini karena hukuman yang dijatuhkan pada dirinya dinilai melanggar Hak Asasi Manusia. Padahal, Aris adalah pelaku kejahatan pedofilia pada 9 anak gadis di Mojokerto.

Hukuman berupa kebiri kimia yang diberikan memunculkan deretan pro dan kontra. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur menilai bahwa hukuman kebiri kimia yang akan dilakukan bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter. Mereka menolak jika diminta melakukan eksekusi tersebut.

Hukuman ini juga turut menimbulkan kontroversi di beberapa negara yang menerapkan hukuman serupa. Seperti yang terjdi di Alabama, Amerika Serikat.

Dilansir dari Vox pada Rabu (28/8/2019), peraturan di Alabama menyatakan bahwa pelaku kejahatan seks di bawah 13 tahun harus menerima kebiri kimia sebelum dibebaskan.

CNN juga melaporkan bahwa mereka harus mendapat obat-obat yang dirancang untuk menekan hasrat seksual sehingga mereka tidak lagi terbuai oleh perasaan seksual yang dapat merugikan sekelilingnya. Langkah ini diambil untuk melindungi anak-anak di Alabama.

2 dari 2 halaman

Seberapa efektif prosedur ini?

Kebiri Kimia (Foto: Unsplash/ @jairlazaro)

Kebiri kimia atau chemical castraction telah diuji pada beberapa negara seperti Swedia, Denmark, dan juga Kanada. Langkah ini berbeda dengan kebiri bedah dengan pengangkatan alat kelamin. Sedangkan prosedur kimia harus dilakukan secara terus menerus.

Cara ini mampu menurunkan angka pelaku pelecehan seksual di negara-negara Skandinavian dari 40% hingga 5%.

Seperti yang dilnsir dari Liputan6.com. Rio Hendra dari Ending Sexual Expoliation of Children (ECPAT) Indonesia mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil statistik pada World Rape Statistic, negara-negara yang menerapkan hukuman kebiri atau mati justru menduduki 10 besar dengan kasus tertinggi di dunia.

The Sun juga menyatakan bahwa sebuah studi menilai kebiri kimia tidak efektif. Apalagi saat hal tersebut dihentikan. Dan efeknya juga mampu menimbulkan hal yang semakin parah.

Journal of Korean Medical Science menyatakan terdapat sejumlah obat yang digunakan dalam prosedur ini. Leuprorelin adalah salah satunya dan digunakan untuk merawat kesulitan dalam pengendalian gairah seks, fantasi, atau hasrat berbahaya lainnya. Zat lain yang digunakan ialah medroksiprogesteron asetat, siproteron aseteat, LHRH, yang dapat mengurangi testosteron dan estradiol.

Karena estrogen memiliki peran penting pada pria dalam pertumbuhan tulang, fungsi otak, dan proses kardiovaskular, mereka yang mendapatkan kebiri ini rentan osteoporosis, penyakit kardiovaskular, depresi, hingga anemia.

Sorrentino juga mengatakan bahwa prosedur itu memiliki efek samping lain seperti rambut rontok, pertumbuhan payudara, pertumbuhan berat badan, serta diabetes.

Selain itu, tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan kebiri kimia. Sorrentino mengungkapkan, bagi para pelaku pelecehan anak yang melakukannya hanya karena adanya kesempatan, kasus inses, atau memiliki gangguan kepribadian antisosial, "menurunkan testosteron mereka tidak akan menyelesaikan masalah."

Karena itu, para peneliti juga meminta agar para dokter memiliki kewajiban memantau dengan seksama setiap komplikasi akibat prosedur ini pada para pelaku kejahatan seksual yang mendapatkan hukuman tersebut.