Fimela.com, Jakarta Kasus hukuman kebiri kimia yang baru-baru ini ditetapkan kepada predator anak di Mojokerto, Mohammad Aris (20) menarik perhatian masyarakat. Kasus ini menuai pro dan kontra di kalangan pemerhati hukum, praktisi hukum, dan juga publik. Chemical castraction atau kebiri kimia mempunyai prosedur yang berbeda dengan kebiri bedah yang dilakukan dengan cara pengangkatan kelamin. Kebiri kimia merupakan tidakan yang diperlukan proses prosedur secara terus menerus.
Mengutip dari Liputan6.com, menurut Dr. Renee Sorrentini, psikiater forensik di Massachusetts menyatakan bahwa biasanya prosedur ini diberikan melalui suntikan setiap bulan atau 90 hari.
Hukuman ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun baru-baru ini Alabama juga menerapkan aturan yang sama yakni para pelaku kejahatan seks di bawah 13 tahun harus menerima kebiri kimia sebelum mereka dibebaskan.
Sebuah studi beranggapan bahwa kebiri kimia bukanlah cara yang efektif, karena memiliki efek samping yang dinilai mampu mengganggu berbagai organ tubuh seperti pertumbuhan tulang dan fungsi otak.
Alasan PN Mojokerto
Vonis yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto kepada Aris disebabkan sejumlah pertimbangan yakni pelanggaran Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Vonis ini tertuang dalam Putusan PN Mojokerto nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tnggal 2 Mei 2019.
Hukuman 12 tahun penjara dengan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan pun diberikan pada Aris. Sebagai hukuman tambahan, hakim memerinthkan pada jaksa agar melakukan kebiri kimia. Langkah ini dilakukan oleh PN Mojokerto berdasarkan patokan sesuai dengan yang tertulis dalam UU Nomor 17 tahun 2016.
"Jadi, perkara Aris ini ada dua. Di Kota dan Kabupaten Mojokerto yakni 79 Pidsus tahun 2019, yang kedua Nomor 65 dan 69. yang memberikan tambahan kebiri kimia ada di Kabupaten Mojokerto," ungkap Erhammudin, Humas Pengadilan Negeri Kabupaten Mojokerto pada Maja FM seperti melansir suarasurabaya.net, Senin, 26 Agustus 2019. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera sehingga kejadian seperti ini tidak dilakukan lagi.
Tuai kontroversi
Dengan kejadian ini, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Narotama, Surabya, Yusron Marzuki angkat bicara, Menurutnya, eksekusi hukuman kebiri kimia tersebut wajib dilaksanakan oleh eksekutor.
"Eksekutornya adalah jaksa, namun karena jaksa tidak memiliki pengetahuan medis, maka bisa minta bantuan dokter. Bagi Kejaksaan, putusan ini sudah menjadi norma dan sudah mengikat. Maka sebagai eksekutor, jaksa punya kewajiban untuk melaksanakan," tegas dia, Senin, 26 Agustus 2019.
Yusron menilai, penerapan hukuman kebiri kimia memberikan kepastian hukum atas tindakan pelaku. Hal ini bukan berarti dapat memberikan efek jera atau efektif tetapi lebih kepada kepastian hukum.
Yusron menilai, pelaksanaan hukuman kebiri kimia ini juga tidak langsung dilakukan. Hal ini lantaran Indonesia memiliki aturan teknis untuk melaksanakannya. Selain itu, terpidana melakukan hukuman badan dulu baru dilaksanakan hukuman kebiri. Ini sesuai dengan Undang-Undang (UU).
"Jadi, pelaksanaan hukuman tambahan kebiri ini, baru dapat dilaksanakan, kalau si terpidana selesai menjalani pidana pokoknya. Setelah itu, baru dilaksanakan hukuman tambahan, yakni kebiri kimia, dengan ancaman maksimal 2 tahun," ujar Yusron.
Pendapat serupa juga diungkapkan pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Komnas HAM, Mochammad Choirul Anam menuturkan, hukuman kurungan seumur hidup lebih memberikan jera dibanding kebiri kimia.
"Bagi Komnas HAM hukuman seberat-beratnya sebenarnya hukuman seumur hidup. Tapi kalau ini dilakukan oleh residivis misalnya pemerkosaan, dia bisa dihukum seumur hidup dan dipastikan hukuman seumur hidup itu bisa ditambah dengan hukuman sosial," ujar Anam di Mapolda Jawa Timur di Surabaya, Senin, melansir Antara, ditulis Selasa, 27 Agustus 2019.
Sejak awal Peraturan Perundang-undangan itu dibuat, Komnas HAM sudah menolaknya. Hukuman kebiri kimia dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Sementara bila dilihat dari dunia kedokteran sendiri, eksekusi atau hukuman kebiri kimia bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter. Ketua IDI Jatim, dr Poernomo Budi Setiawan menuturkan, profesi dokter adalah untuk menyembuhkan dan merehabilitasi, bukan menyakiti.
"Dari sisi kompetensi, sebetulnya kebiri itu apa. Kompetensi adalah sesuatu yang diperoleh dokter dari ilmu pengetahuan dan latihan praktis. Tapi ilmu pengetahuan kita tidak ada mengenai pengebirian. Juga tidak pernah dipraktikkan. Sehingga dari sisi kompetensi kami menolak dan merasa tidak memiliki kompetensi itu. Apalagi dari sisi etik jelas menolak," ujar Poernomo kepada Radio Suara Surabaya, melansir suarasurabaya.net, Senin, 26 Agustus 2019.
Pemerintah siapkan PP
Pemerintah sudah menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait hukuman ini bagi para pelaku pencabulan atau predator anak. "Kami di kementrian lembaga masih membahas terkait PP. Semua terlibat seperti Kejaksaan Agung, KPPPA, Kementerian Kesehatan dan lainnya," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial Kanya Eka Santi di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan, dalam rancangannya PP tersebut lebih detail mengatur tentang pelaksanaan hukuman kebiri terutama penekanan kepada pelaku yang berulang dan mempertimbangkan dampaknya yang berat terhadap anak. Demikian melansir Antara, Selasa 27 Agustus 2019.
Selain itu juga PP akan mengatur tentang kapan ada pengumuman terkait identitas pelaku dan sebagainya. Kemensos sendiri dalam posisi sebagai bagian yang memberikan rehabilitasi sosial kepada anak yang menjadi korban predator seks.
"Kami banyak merehabilitasi anak korban kejahatan seksual. Yang kami rasakan memang berat dan proses rehab butuh waktu yang panjang serta upaya khusus agar anak tidak mengalami trauma berat dan berkepanjangan yang buruk akibatnya untuk masa depan mereka," ujar dia.
Dia menekankan, pertimbangan sisi kemanusiaan juga perlu memperhatikan kemanusiaan untuk anak yang menjadi korban. Dalam hal ini Kementerian Sosial sangat memperhatikan anak yang menjadi korban dan dampaknya ke masa depan anak.
Sementara untuk pelaku atau predator anak, dia mengatakan Kemensos menyerahkan penanganannya secara pidana. Sebelumnya PN Mojokerto menjatuhkan putusan kebiri kimia kepada Muhammad Aris warga Desa Sooko, Kabupaten Mojokerto divonis bersalah karena mencabuli sembilan orang korban yang masih anak-anak.
#GrowFearless with FIMELA