Raden Dewi Sartika, Sosok Kartini dari Jawa Barat yang Dirikan Sakola Istri

Karla Farhana diperbarui 15 Agu 2019, 15:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Nama Raden Ajeng (RA) Kartini menggema seantero Indonesia sejak lama. Kartini bukan hanya pejuang para perempuan Tanah Air, tetapi juga ibu dari seluruh perempuan sepanjang generasi hingga kini. Mewakili semangat perjuangan kaum Hawa, Kartini sebenarnya tidak sendirian. 

Dalam sejarah pendidikan perempuan di Indonesia, masih banyak pahlawan-pahlawan yang melepas belenggu, membuka jalan untuk kecerdasan bangsa. Salah satunya Raden Dewi Sartika. Lahir di Cicalengka, Jawa Barat, 4 Desember 1884, perempuan berdasar Sunda ini tak jauh berbeda dengan Kartini. 

Keduanya sama-sama memperjuangkan hak perempuan, pendidikan, dan menyuarakan isu-isu kesetaraan gender. Keduanya pun sama-sama anak bangsawan. Namun perbedaannya terletak dari jejak yang ditinggalkan masing-masing sosok ini. RA Kartini mewariskan perjuangannya lewat sebuah buku. Sementara Dewi Sartika, tulis Liputan6, mewariskan perjuangannya dalam bentuk sebuah sekolah khusus perempuan. 

Namanya Sakola Istri, yang didirikan pada tahun 1904. Setelah beberapa tahun berjalan, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sakola Kaoetamaan Istri. Lantas, namanya kembali diubah tepat pada ulang tahun ke-25, menjadi Sakola Raden Dewi. Namun, perjuangan Raden Dewi Sartika mendirikan sekolah perempuan ini tidaklah mulus. 

2 dari 3 halaman

Terlahir di Tengah Kesulitan Finansial

Tak hanya perjuangkan kesetaraan, Dewi Sartika ternyata juga getol menyuarakan anti-poligami. (dok. Buku Raden Dewi Sartika Sang Perintis)

Dilansir dari Liputan6, tahun 1902, ibunda Dewi Sartika kembali ke Bandung, Jawa Barat, dari pembuangan di Ternate, Maluku Utara. Saat itu, keluarganya terlilit utang dan berbagai masalah keuangan. Belum lagi seluruh harta keluarganya disita Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. 

Di tengah masalah finansial yang begitu menyensarakan, Dewi Sartika kemudian mengajak kerabat perempuannya berlajar keterampilan seperti memasak, menjahit, dan keterampilan lainnya. Termasuk membaca tulis Bahasa Melayu dan Belanda. Semua yang ia ajarkan merupakan ilmu yang dulu dia serap sewaktu bersekolah di Eerste Klasse School. 

Dari mengajar beberapa orang murid, keluarganya mendapat bantuan bahan pokok seperti beras, garam, lauk-pauk, dan lain sebagainya untuk menyambung hidup. Kegiatan yang Dewi dan kerabatnya lakukan akhirnya tercium juga oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

3 dari 3 halaman

Bertemu Bupati Bandung

Patung Dewi Sartika, pejuang emansipasi seangkatan Kartini, di Balai Kota Bandung. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Saat itu, inspektur pengajaran wilayah Kabupaten Bandung, Cornelis Den Hammer datang langsung untuk menyaksikan sistem pengajaran yang diterapkan Dewi Sartika. Hingga akhirnya, ia menawarkan Dewi Sartika sebuah pekerjaan menjadi guru di Boemi Poetra. Namun tawaran emas ini ditolak. 

Dewi Sartika lebih memilih mendirikan sebuah sekolah sendiri. Gagasan cemerlang tersebut akhirnya membuwanya ke sebuah pertemuan berharga dengan Bupati Bandung saat itu, Raden Aria Adipati Martanagara. Pertemuan bersejarah ini pun melahirkan Sakola Istri yang terus berkembang dan menjadi salah satu pendorong semangat juang perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. 

#Growfearless with FIMELA