Solusi Permasalahan Gizi di Indonesia

Anisha Saktian Putri diperbarui 16 Agu 2019, 17:00 WIB

Fimela.com, Jakarta lndonesia saat ini menghadapi beban ganda (double burden). Di satu sisi Indonesia menghadapi masalah gizi kurang (pendek atau stunting, dan kurus), di sisi lain negara ini  telah dihadapkan pada masalah obesitas atau kegemukan.

Selain beban ganda masalah gizi, Indonesia juga dihadapkan pada masalah kekurangan gizi mikro, yang berpotensi menjadi hidden hunger (bentuk kekurangan gizi mikro berupa defisiensi zat besi, yodium, asam folat, vitamin A dan beberapa jenis vitamin B yang tersembunyi). Hidden hunger ini memiliki dampak serius karena dari luar tidak menampakkan gejala, namun sebenarnya masalah itu ada (penderitanya jadi gampang sakit).

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi stunting menurun menjadi 30,8 persen dari 37,2 persen di 2013, prevalensi gizi kurang (underweigth) juga membaik dari 19,6 persen pada 2013 menjadi 17,7 persen (2018), sedangkan prevalensi kurus (wasting) turun ke posisi 10,2 persen (2018) dari 12,1 (2013). Meskipun angka stunting menurun, masih belum memenuhi syarat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu di ambang batas 20 persen.

Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc, ahli pangan dan Ketua Pusat Pangan SEAFAST IPB, mengatakan masyarakat Indonesia masih mengalami kekurangan gizi mikro, seperti yodium, vitamin A, zat besi, hingga mineral lainnya. Kemiskinan masih menjadi faktor utama penyebab munculnya masalah gizi ini.

"Karena miskin, tidak semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan makanan sehat dengan mudah, sehingga harus dicarikan solusinya, antara lain fortifikasi pangan oleh dunia usaha," ujar Ir. Purwiyatno dalam siaran pers yang diterima Fimela.com

Fortifikasi pangan merupakan metode untuk menitipkan senyawa penting yang diperlukan ke makanan untuk meningkatkan nilai gizinya, sehingga lebih mudah dijangkau masyarakat. Vitamin A misalnya, lazim dimasukkan ke produk margarin dan minyak goreng. Sementara yodium terkandung dalam garam yang kerap dikonsumsi.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Scaling Up Nutrition Business Network: Peran Dunia Usaha dalam Pengentasan Malnutrisi

Asian Congress of Nutrition 2019/dokumetasi Indofood

Pengentasan malnutrisi tidak hanya dilakukan pemerintah, namun juga menjadi tanggung jawab para pihak dalam hal ini perusahaan swasta atau pelaku usaha. Axton Salim sebagai Global Co Chair of Scaling Up Nutrition Business Network (SBN), mengatakan peran industri makanan sangat besar dalam pemenuhan pangan sehat dengan harga yang terjangkau. Scaling Up Nutrition (SUN) diinisiasi oleh PBB memungkinkan business network berkontribusi nyata untuk meningkatkan gizi di negara masing-masing.

SBN dibentuk untuk memobilisasi dan mengintensifkan upaya bisnis dalam mendukung Scaling Up Nutrition (SUN) Movement, dan memastikan setiap orang memperoleh hak mendapatkan makanan yang baik dan bergizi. SUN Movement melibatkan pelaku usaha, badan PBB, donor dan masyarakat lokal untuk mendukung pemerintah. Ada tiga pilar yang menjadi fokus SBN, yaitu 1.000 Hari Pertama Kelahiran dan Adolescence, Balanced Nutrition, dan Health & Sanitation.

Axton yang juga menjabat sebagai Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, mengatakan dunia usaha memiliki peran penting dalam mengatasi malnutrisi, antara lain dengan menciptakan makanan sehat (fortifikasi pangan), menggunakan bahan pangan lokal dengan biaya produksi yang tidak mahal sehingga bisa dijual dengan harga yang terjangkau masyarakat.

"Indofood sudah melakukan sejumlah upaya untuk mendukung SUN Movement, antara lain dengan fortifikasi produk pada tepung Bogasari dan Indomie. Produk terigu Bogasari misalnya, ditambahkan vitamin B dan zat besi untuk memenuhi kebutuhan gizi mikro guna mengatasi malnutrisi. Indofood juga meluncurkan Govit, jajanan sehat yang mengandung 11 vitamin dan 4 mineral dengan harga terjangkau, yaitu Rp500 per sachet. Untuk makanan pendamping ASI (MPASI), Indofood merilis SUN MPASI yang difortifikasi dengan aneka sumber gizi mikro, juga dengan harga terjangkau Rp500 per sachet," paparnya.

Selain melakukan fortifikasi pangan, sejumlah inisiatif dilakukan antara lain program Nutrition for Workforce, edukasi remaja melalui aplikasi mobile agar semakin banyak remaja menyadari pentingnya gizi dan tubuh yang sehat, mendorong tumbuhnya start up lokal bidang pangan, gizi dan kesehatan sehingga terbentuk mekanisme yang akan memutus rantai malnutrisi serta kemiskinan.

Axton menambahkan, dunia usaha bisa berkontribusi dan berperan aktif dalam pengentasan masalah nutrisi di Indonesia dan mensukseskan SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang dicanangkan PBB dan hendak dicapai pada 2030, antara lain dengan bergabung di SBN.

"Perusahaan bisa berkontribusi sesuai expertise masing-masing. Semua bisa terlibat dan mencari inovasi baru untuk menjawab masalah malnutrisi di Indonesia," tandasnya.

Lima kunci keamanan pangan versi WHO adalah: Menjaga kebersihan (mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan), pisahkan makanan matang dan mentah agar tak terjadi kontaminasi silang, masaklah dengan benar, jaga pangan pada suhu yang benar dan gunakan air dan bahan baku yang aman

 

#Growfearless with FIMELA