Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta
Menjalani aktivitas dengan aman dan nyaman tentu menjadi pilihan utama banyak orang. Namun bagaimana jika lingkungan tempat kita beraktivitas malah menjadi ruang yang rawan kejahatan? Belum lama ini, tindak kejahatan kembali terjadi yaitu "begal payudara". Ungkapan ini mungkin pernah terdengar beberapa waktu silam. Kejadian terbaru fenomena ini terjadi di Yogyakarta. Tanggal 15 Juli 2019, seorang guru berinisial SP ditangkap karena melecehkan dua turis asal Belanda dan Australia. SP sengaja memegang payudara kedua turis ini.
"Untuk motifnya sendiri menurut keterangan dari tersangka adalah iseng, tertarik melihat orang asing yang berjalan sendiri, terus iseng dipegang barang sensitifnya itu (payudara korban). Pengakuan dari tersangka baru melakukan dua kali ini," tutur Kompol Tri dikutip Detik.
Terakhir, kejadian serupa terjadi di Mojokerto pada 30 Juli 2019. Seorang laki-laki mendatangi toko busana muslim, mendekati pegawai toko tersebut dan memegang payudara sang pegawai toko. Pada kasus ini belum ada kelanjutannya. Pihak keluarga semula langsung melaporkan kejadian ini. Namun tak lama, laporan dicabut mengingat korban masih belum siap untuk mengulas kasus ini dengan kepolisian.
Budaya Kekerasan dan Pelecehan
Kasus demi kasus kekerasan dan pelecehan seksual terus muncul. Beberapa akademisi meneliti budaya ini dalam jurnal "Kekerasan Seksual di Indonesia : Data, Fakta, & Realita". Jurnal ini dirilis oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indoesia (MaPPI) FHUI pada tahun 2016.
Budaya kekerasan dan pelecehan seksual terjadi bukan karena dipicu korban, melainkan inisiatif dan niat pelaku. Dalam riset MaPPI FHUI, hanya 29,8% pelaku tertarik karena pakaian. Selebihnya karena niat dan kesempatan yang ada.
Selama ini, jika terjadi suatu kasus kekerasan dan pelecehan seksual tidak banyak korban yang melapor. Dari seluruh korban yang mengalami kasus serupa, hanya sekitar 1% yang memilih jalur hukum dan sebanyak 93% tidak melaporkan kasusnya.
Relasi Pelaku dan Korban
Saat ini, pelaku dan korban tinggal dalam suatu budaya masyarakat yang sama. Artinya, kedua subjek ini adalah bagian dari sistem yang dianut masyarakat. Jadi jika masyarakat peduli terhadap fenomena ini, kemungkinan angka pelaku dan korban bisa direduksi. Begitupun sebaliknya, jika masyarakat abai, ada kemumgkinan bahwa budaya kekerasan dan pelecehan seksual terus bertambah.
Berdasarkan survei oleh MaPPI FHUI yang mengkaji 300 kasus kekerasan dan pelecehan seksual, pelakunya adalah :
- Teman korban sebanyak 56 orang
- Pacar korban sebanyak 61 orang
- Tetangga korban sebanyak 46 orang
- Kerabat korban sebanyak 32 orang
- Guru korban sebanyak 18 orang
- Tokoh yang dituakan korban sebanyak 11 orang
- Atasan korban sebanyak 3 orang
- Orang asing sebanyak 41 orang
Fenomena ini harusnya menjadi sorotan yang lebih baik oleh pranata hukum dan masyarakat. Sudah terlalu sering kasus yang terjadi dan belum ada tindakan ideal untuk menurunkan angka kekerasan dan pelecehan seksual.
Pembiaran Pelaku Menimbulkan Ketakutan Kepada Publik
Dalam studi Kriminologi, ketakutan masyarakat menjadi korban suatu tindak kejahatan disebut "Fear of Crime". Bentuk kejahatan sendiri bermacam-macam, dan kekerasan seksual adalah salah satunya.
Maraknya kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap korban menimbulkan rasa takut. Masyarakat akan merasa bahwa tempat yang mereka kunjungi, jalanan dan ruang-ruang publik lainnya tidak aman. Rasa takut masyarakat akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, rasa cemas berlebihan dan tekanan di saat-saat tertentu.
Ketika seseorang yang mengalami pelecehan seksual atau bentuk kekerasan seksual lainnya tidak mendapat keadilan, hal ini akan memicu kasus serupa. Di beberapa kasus, pelaku dan korban diminta berdamai serta menjalin kembali hubungan yang baik. Padahal hal itu tidak akan mudah bagi korban. Lucunya lagi, kasus-kasus seperti ini seakan dapat diselesaikan dengan kata "maaf", "damai", dan bahkan menikahkan korban dengan pelaku. Sekitar 51,6% menyatakan bahwa damai dan menikah adalah upaya terbaik.
Lewat jalur hukum pun, ancaman pidana dan penerapannya masih belum sesuai. Sekitar 70% kasus tidak dijatuhi hukuman sesuai tuntutan, 23% sesuai dengan tuntutan dan 7% diatas tuntutan. Sehingga tak mengherankan jika kasus kekerasan dan pelecehan seksual tidak mengalami penurunan melainkan peningkatan.
Tentu hal ini tidak akan menimbulkan suatu penjeraan pelaku dan tidak menjadi peringatan bagi calon-calon pelaku lainnya. Masyarakat perlu terintegrasi dengan aparat penegak hukum dan lembaga terkait untuk mengatasi masalah ini.
Kerugian Besar Pada Pihak Korban
Kasus kekerasan seksual menimbulkan kerugian baik secara materil, fisik maupun psikologis. Secara psikologis, kerugian yang paling pasti diterima korban adalah trauma mendalam. Berdasarkan disertasi Psikolog UI, Angesty Putri hal ini dapat mempengaruhi setiap aspek kehidupan seseorang. Mereka yang menyaksikan kekerasan ataupun menjadi korban bisa menjadi sangat stress, mimpi buruk, mengurung diri sendiri, hingga sangat ketakutan atas pristiwa yang terjadi.
Kerugian tersebut bisa jadi hanya ditanggung oleh korban, pelaku tidak mengganti rugi secara utuh. Kerugian lainnya yang sangat bisa dialami korban adalah
-Kerugian Biaya
Korban butuh bantuan yang tepat dan bantuan tersebut membutuhkan biaya. Baik perawatan fisik maupun psikologis, dibutuhkan biaya recovery.
-Kondisi lain yang Tidak Diinginkan
Kondisi yang dialami korban bisa jadi lebih parah setelah dirinya mengalami kekerasan seksual. Seperti luka jangka panjang, gangguan pada alat reproduksi atau organ vital, bahkan untuk kasus yang ekstrem menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan.
Begitu banyak kerugian yang dialami korban, sehingga beberapa komunitas dan lembaga menuntut adanya kepastian hukum untuk menangani kasus seperti ini. Pelaku harus mendapatkan perlakuan yang bisa membuat dirinya jera, bertanggungjawab dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Untuk itu, sampai sekarang masih diperjuangkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai pelengkap aturan yang ada di KUHP. RUU PKS diharapkan menjadi salah satu titik terang untuk mengurangi jumlah kasus kekerasans seksual dan mengoptimalkan pemulihan bagi korban.
#GrowFearLess with Fimela