Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Linda Mustika Hartiwi - Banyuwangi
Ada kisah sedih, haru, dan bahagia yang kurasakan saat menjelang pernikahanku dengan Mas Yus yang kini menjadi suamiku. Selama sembilan tahun lamanya aku dan Mas Yus menjalin kasih dan selama itu pula tidak mendapat restu seutuhnya dari ayah dan ibuku. Perceraian orang tua Mas Yus membuat ayah dan ibuku khawatir bahwa nanti aku akan mengalaminya saat menikah dengan Mas Yus. Cukup beralasan rasa khawatir kedua orang tuaku kepadaku dan aku bisa memakluminya, karena ayah dan ibu sangat menyayangiku dan tak mau aku mengalami kekecewaan dalam kehidupan pernikahanku kelak. Bahkan pernah ibu menyuruhku untuk mempertimbangkan kembali keseriusanku menjalin hubungan dengan Mas Yus, untuk tidak diteruskan.
Aku sedih mendengarnya dan aku tak mampu untuk mengatakan apa yang bergejolak di dalam hatiku kepada ibu. Aku ingin protes kepada ibu dengan mengatakan bahwa tidak selalu perlakuan orang tua yang buruk akan menular kepada anaknya. Tapi aku tak mampu melakukannya. Aku hanya bisa menangis dan aku tahu ibu pasti mengetahui jawabanku kalau aku tetap ingin melanjutkan hubunganku dengan Mas Yus.
Waktu terus berjalan dan bukan berarti aku tidak mau mendengarkan perkataan orang tua, aku masih menjalin hubungan dengan Mas Yus meskipun sempat menjalani hubungan jarak jauh karena menempuh kuliah di kota yang berbeda dan berjauhan. Pernah aku menyampaikan kepada Mas Yus kalau sebenarnya ayah dan ibuku kurang berkenan dengan hubungan yang kujalin bersamanya karena alasan perceraian orang tuanya. Mas Yus memaklumi kekhawatiran orang tuaku dan bertekad untuk membuktikan kepada orang tuaku bahwa ia sungguh-sungguh menyayangiku.
Hingga tiba hari itu, keluarga Mas Yus melamarku setelah sebelumnya telah kusampaikan kepada ayah dan ibuku. Melihat kesungguhan dan keseriusanku menjalin cinta dengan Mas Yus, ayah dan ibu bersedia untuk menerima kedatangan keluarga Mas Yus. Dalam pertemuan keluarga langsung ditentukan hari pernikahanku dengan Mas Yus mengingat pekerjaan Mas Yus yang tidak bisa sering ditinggalkan, yaitu sekitar tiga bulan mendatang. Waktu itu Mas Yus memang sudah bekerja di sebuah perusahaan motor.
Lamaran dan Persiapan Pernikahan
Sejak kedatangan keluarga Mas Yus untuk melamarku itu, dibandingkan ibuku, ayahku lebih banyak diam bahkan cenderung sedih. Aku bisa menyadari sikap ayah dan ibuku karena sebentar lagi aku akan menempuh kehidupan baru bersama Mas Yus. Rasa akan kehilangan anak yang selama ini dalam rengkuhan kasih sayang serta rasa takut akankah aku mampu untuk hidup bersama orang lain dalam sebuah keluarga, wajar membayangi ayah dan ibuku.
Ayah sampai terlihat sedih hingga ada pakdeku (kakak ibuku) yang sering berkunjung ke rumah dan mengajak ayah berbincang mengenai pernikahanku ini, bahwa setiap anak akan menjalani fase menikah dengan orang lain dan orang tua harus siap melepasnya. Lambat laun ayah sadar dan mengubah sikapnya dan bersama dengan ibu mulai sibuk mengunjungi saudara atau kerabat untuk mengabarkan pernikahanku selain mempersiapkan juga segala sesuatu yang dibutuhkan untuk acara pernikahanku. Seperti bertanya kepada orang yang dituakan di keluarga mengenai tanggal pernikahanku atau meminta bantuan saudara untuk merias, menyiapkan konsumsi berupa menu makanan, minuman, dan jajanan atau menyiapkan perlengkapan lainnya.
Persiapan pernikahanku dulu itu dilakukan di rumah nenekku, ibu dari ibuku. Karena dari kecil aku tinggal di rumah nenek. Nenek meminta aku kepada ayah dan ibuku untuk diasuh dan tinggal bersama nenek. Nenek yang mengasuh dan merawatku hingga aku harus masuk sekolah. Bahkan aku memanggil ibu kepada nenekku dan memanggil mbak kepada ibuku. Mungkin sejak aku bisa berbicara, aku diajarkan memanggil demikian kepada nenek dan ibuku. Kebetulan sebagian nama depanku merupakan sebagian nama dari nenekku. Menurut ibuku, untuk menghormati nenek yang telah berjasa mengasuhku ketika aku kecil, acara pernikahanku diadakan di rumah nenek.
Dalam mempersiapkan pernikahanku, kesibukan mulai terlihat di rumah nenekku. Termasuk acara siraman yang diadakan sehari sebelum acara akad nikah. Aku masih ingat waktu itu, meskipun sudah sedikit mengubah sikap dengan mengikhlaskan aku untuk menikah, ayah tidak datang saat acara siraman. Kata ibuku, ayah masih belum tega melepasku, ayah belum sanggup mengikuti urutan acara pernikahanku. Aku sedih namun aku juga mengerti dengan keadaan ayah. Yang penting ayah bisa hadir untuk menjadi wali pernikahanku. Pernikahan memang peristiwa yang membuat orang tua akan kehilangan anak menjadi milik orang lain juga keluarga lain.
Bahagia Hingga Hari Ini
Ada hal unik berkenaan dengan persiapan pernikahanku yang mungkin juga merupakan keunikan bagi orang lain yang akan menikah. Waktu ayah dan ibuku berkunjung ke rumah saudara yang aku memanggilnya kakek, untuk menentukan tanggal pernikahan, kakek menanyakan weton kelahiranku juga Mas Yus.
Setelah dilihat wetonku dan Mas Yus, kakek menyaratkan bahwa untuk mas kawin pernikahan kelak harus ada uang yang nominalnya unsur angka 4 dobel yang tidak memberatkan pihak Mas Yus. Boleh Rp4.400,- atau Rp44.000,- atau Rp440.00,- atau nominal uang lainnya dengan unsur angka 4 dobel. Aku menjadi geli mendengar penuturan kakek namun harus dilaksanakan demi terlaksananya acara pernikahanku, kata beliau untuk menghindarkan petaka dalam pernikahanku. Setelah berunding dengan ayah dan ibu, aku menyampaikan kepada Mas Yus mengenai mas kawin uang dengan nominal Rp4.400,-. Aku memilih nominal uang itu karena unik nominalnya. Dan kelak ketika aku menerima mas kawin pernikahan dari Mas Yusuf, aku mendapatkan uang dengan nominal empat ribu empat ratus rupiah yang dirupakan uang kertas dan baru pula, selain mas kawin lainnya yang kuterima.
Semakin mendekati hari pelaksanaan pernikahanku, kesibukan yang menyertai juga semakin bertambah. Suasana di rumah nenekku yang biasanya sepi karena berada di desa yang jauh dari keramaian kota, berubah menjadi ramai. Banyak saudara datang dan berkumpul untuk membantu mempersiapkan acara pernikahanku. Mulai saudara yang mempersiapkan peralatan rias untuk meriasku, ada pula saudara yang sibuk memasak bahan makanan dan kue juga minuman, atau saudara yang sibuk menata meja dan kursi untuk tamu dan saudara lain yang membantu mempersiapkan kelengkapan acara pernikahanku.
Aku juga ikut dalam obrolan santai bersama nenek, ibu, adik dan saudara yang lain di sela persiapan pernikahanku. Banyak nasihat yang kuterima dari orang tua dan saudara yang bisa kujadikan bekal dalam kehidupanku yang baru setelah aku menikah bersama Mas Yus.
Hingga akhirnya tiba hari pernikahanku itu setelah melalui banyak waktu dalam mempersiapkannya. Aku terharu saat mengucapkan akad nikah dengan Mas Yus dan didampingi oleh ayah, ibu dan nenek juga saudaraku yang lain. Walaupun di awal hubunganku bersama Mas Yus sempat tidak mendapat restu dari ayah dan ibuku, akhirnya restu itu kudapatkan. Tak terasa air mataku menetes di kedua pipiku mendapati diri dapat bersanding bersama Mas Yus menjadi raja dan permaisuri semalam. Kulihat pula haru ayah dan ibuku juga nenekku dengan mata berkaca-kaca melepasku untuk mengayuh bahtera rumah tangga bersama Mas Yus.
Kini aku hidup bahagia bersama Mas Yus dan kedua anakku. Tak lupa aku selalu bersyukur kepada Tuhan. Terima kasih kepada ayah dan ibu untuk restu serta doa yang telah engkau berikan kepadaku dalam menjalani kehidupan bersama Mas Yus dan anak-anakku.
#GrowFearless with FIMELA