Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Faizatul - Probolinggo
Gaun pengantin yang indah, riasan di wajah, dekorasi mewah, serta senyum bahagia dari orang-orang tercinta, rasanya mimpi sempurna bagi setiap wanita yang menantikan pernikahannya. Aku pun juga.
28 Agustus mendatang menjadi titik mimpi itu menjadi nyata. Memang tak seindah mimpi tadi. Nyatanya pernikahanku akan digelar sederhana. Namun tidak masalah dengan itu, aku bahagia. Digelar semewah atau sesederhana apapun aku bahagia menjadi halal bagi dia, laki-laki yang membuatku begitu mudah jatuh cinta meski baru dua bulan hubungan kami bermula karena perjodohan.
Menyambut tanggal spesial itu semua persiapan berjalan lancar. Tidak ada kendala berarti, ya setidaknya begitulah kelihatannya bagi orang-orang. Namun berbeda bagiku. Ada masalah kasatmata yang sangat jelas kurasakan. Tentang dia. Sikapnya banyak berubah seiring semakin dekatnya pernikahan kami.
Dia yang kutahu selalu menyempatkan waktu untuk berbincang konyol denganku, mulai menjadikan sibuk sebagai alasan. Terus berulang-ulang sampai komunikasi di antara kami lenyap. Tak ada kabar darinya dan tak ada rasa mengalah dari egoku. Sebab itu bukan hal wajar, memang aku percaya dia sibuk tapi dari dulu pun ia selalu sibuk tanpa mengabaikanku.
What's On Fimela
powered by
Hingga Tanggal Pernikahan Tiba
Hubungan kami berjalan tanpa kabar cukup lama. Ini membuatku menunggu pernikahan dalam ketakutan. Hampir setiap hari aku berbagi air mata pada bantal. Bersembunyi menangis diam-diam karena khawatir keluargaku tahu masalah ini. Aku khawatir perhatiannya hanya sekadar kepura-puraan sebab hubungan ini hanya perjodohan. Aku sangat ketakutan ia tiba-tiba datang demi membatalkan pernikahan. Ini membuatku stress berkepanjangan.
Aku berusaha menghubunginya, ingin meminta kepastian. Tapi nihil. What's App-nya tidak aktif dan tak ada nomor lain untuk dihubungi. Aku menyerah sampai suatu kesempatan kami bertemu. Kutanyakan segala ketakutanku sambil terisak. Aku tidak peduli jika ini membuatnya tersinggung dan marah. Bahkan perpisahan sudah siap kujalani jika semua takutku benar. Tapi dia tertawa sambil membawaku dalam pelukan.
Saat itu kudengar dengan lembut berulang-ulang permintaan maafnya serta satu kalimat yang sukses meluruhkan semua ketakutanku. Ya, dia menjawabnya bahwa dia mencintaiku. Sekarang aku siap menanti tanggal 28 itu bersama hubungan kami yang semakin dewasa. Bersama hubungan kami yang kian mengerti pentingnya waktu untuk bicara dan mendengar.
#GrowFearless with FIMELA