Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Risma Mualifatun - Trenggalek
Gadis mana yang tidak senang ketika orangtuanya mulai menanyakan keseriusan lelaki yang mendekatinya? Ya, perasaan senang itulah yang membuncah di dadaku kala ibuku bertanya tentang seberapa serius lelaki yang beberapa waktu sebelum itu datang ke rumah kami. Kedatangannya memang belum untuk berterus terang akan niatnya memperistriku. Tapi sepertinya orangtuaku sudah memahaminya.
Aku menjawab bahwa lelaki itu bukan lagi anak muda yang masih kuliah sepertiku. Usianya juga terpaut 4 tahun lebih tua dariku. Tentu saja ia tak ingin hanya sekadar dekat tanpa ada niat yang lebih serius. Ibuku menyimak ceritaku sampai akhirnya ibu memintaku untuk memberitahu lelaki itu agar datang kembali. Kali ini bapak dan ibu yang mengundangnya, jadi dengan beliau berdualah nanti lelaki itu akan berbincang. Bukan denganku.
Waktu seperti berlalu lebih cepat. Pertemuan kedua orangtuaku dan lelaki itu menghasilkan kesepakatan yang akhirnya membawa kami pada sebuah prosesi yang membahagiakan. Tunangan. Jangan bayangkan acara itu semeriah dan semewah prosesi pertunangan seperti yang sedang hits saat ini. Tanpa dekorasi, tanpa cincin, bahkan tanpa kehadiran lelaki itu, kami mencapai kesepakatan tentang tanggal pernikahan.
What's On Fimela
powered by
Menentukan Tanggal Pernikahan
Tanggal pernikahan yang telah disepakati tidak terlalu lama dari tanggal pertunangan. Bahkan di tanggal itu, aku belum menerima gelar sarjanaku alias aku masih harus menghadapi sidang skripsiku. Galau? Iya. Aku hanya takut tidak bisa fokus pada keduanya hingga keduanya berantakan. Hingga akhirnya, seperti ada angin segar ketika tanggal tersebut diundur. Tapi justru diundur sangat jauh. Galau lagi? Tentu saja. Mungkin lebih tepatnya tidak sabar.
Ah, sebegitu labilnya perasaan seorang gadis. Terlalu cepat dan terlalu lama sama-sama menimbulkan kegalauan. Galau hanya di hati. Senyumku tetap menampakkan keceriaan. Aku melanjutkan persiapan sidang skripsiku. Barangkali aku sedang diberi waktu lebih agar bisa menyelesaikan kewajiban pendidikanku, begitu pikirku. Baiklah. Toh, nantinya aku akan tetap menikah dengan lelaki pilihanku, pikirku selanjutnya.
Mungkinkah Tuhan mengerti kegalauanku? Hingga Dia membuat orangtua kami kembali memajukan tanggal pernikahan? Ya, tanggal pernikahan untuk ketiga kalinya ditetapkan. Dan itu jatuh pada satu bulan setelah acara wisudaku. Pasti sudah bisa tertebak kan bagaiamana perasaanku? Senang, itu pasti. Ternyata aku tidak perlu menunggu hingga akhir tahun untuk menjadi seorang istri.
Tiga kali ganti tanggal sempat membuatku ingin marah pada semua orang. Mengapa harus dipermainkan seperti ini perasaanku? Tapi ternyata itu bukan untuk mempermainkan perasaan seorang gadis. Bisa jadi itu cara Tuhan mempersiapkan hati gadis itu untuk lebih siap menghadapi kehidupan pernikahan yang sesekali bisa lebih rumit dibanding hanya sekadar ganti tanggal pernikahan hingga tiga kali.
#GrowFearless with FIMELA