Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Novita Prima - Surabaya
Marriage is for once in lifetime. Setiap orang saya rasa akan memimpikan hal yang sama, bahwa nantinya pernikahan terjadi sekali seumur hidup, tak terkecuali saya. Momentum pernikahan adalah fase life changing terbesar dalam kehidupan saya pada saat itu. Ibaratnya kita memulai berlayar pada sebuah kapal baru dimana kita tidak hanya sebagai penumpang saja di sana, melainkan juga sebagai nahkodanya. Mengapa saya bilang nahkoda? Karena sebagai seorang perempuan saya tidak ingin hanya suami saja yang menentukan arah dan tujuan pernikahan, istri juga sedapatnya turut menentukan, sebab pernikahan adalah perjalanan yang dilalui oleh pasangan bukan individu semata.
Sama halnya dengan pasangan pengantin baru lainnya, saya pun selalu berpikiran positif dan berprasangka baik untuk masa depan pernikahan. Segala daya upaya telah saya curahkan. Terjatuh dan kemudian berusaha bangkit kembali hingga berulang kali tak mematahkan semangat saya untuk bertahan pada kehidupan pernikahan yang ada. Bagaimanapun juga saya harus bertanggungjawab atas keputusan dan kehidupan yang saya pilih.
Tiba suatu ketika saat ujian kepercayaan itu datang menerpa, sekali dua pasangan saya saat itu mencoba mempermainkannya. Saya mencoba memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri lagi, tapi ternyata semua sia-sia belaka. Sampai akhirnya, pasangan saya saat itu membuat kesalahan fatal lagi dengan mencoba mempermainkan kepercayaan yang saya berikan. Pada titik itu saya benar-benar diuji dan berpikir keras untuk mengevaluasi kembali pernikahan macam apa yang sedang kami jalani ini.
Melepaskan Pernikahan
Dalam diam, saya tak berhenti untuk berpikir dan menimbang semua yang telah terjadi serta bagaimana baik dan buruknya kehidupan kami nanti. Hingga tiba masanya saya mengambil keputusan, saya memilih untuk berpisah dengannya. Layar pada kapal kami yang telah lama koyak dan telah saya coba untuk perbaiki di sana sini, sudah tak mampu untuk saya tambal lagi. Setiap bagian yang saya tambal akhirnya koyak lagi dan bagian lainnya tak kalah koyak pula. Layar pada kapal kami tak mampu terkembang untuk berlayar kembali.
Tidak mudah untuk membuat keputusan besar tersebut, mengakhiri kehidupan pernikahan yang sebelumnya telah saya jalani sembilan tahun lamanya. Memang benar kiranya bahwa waktu bukanlah jaminan kita dapat mengenal orang seluruhnya sampai ke dasar sanubarinya. Terbukti, saya telah salah menilai pasangan saya. Saya yang selalu berbaiksangka pada awalnya, yang percaya bahwa dia akan belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya, ternyata tidak demikian pada kenyataannya. Tetap saja dia menyiakan kesempatan dan kepercayaan yang kembali saya berikan.
Menjalani hidup sendiri sebagai seorang single mom (perlu saya tambahkan mom tidak hanya single saja, karena dari pernikahan saya sebelumnya saya dikaruniai dua anak, laki-laki dan perempuan) membuat saya seperti terlahir kembali. Saya dipertemukan kembali dengan fase besar lain dalam kehidupan saya.
Pada awalnya semua tak pernah mudah, ketidakmudahan itu bukan perkara teknis, karena saya terbiasa melakukan banyak hal sendiri. Kendala tersebut lebih pada soal manajemen emosi di kala ingatan dan kenangan datang menghampiri, juga ketika tatapan mata anak-anak yang terlihat envy saat teman atau kerabat terlihat bahagia bersama ayah mereka. Dalam hati tentu saja menangis perih, namun saya terus mencoba untuk memberi pengertian pada mereka agar tidak menyalahkan kehidupan dan akan selalu berbahagia dengan apapun kondisi mereka.
Enam Tahun Menjadi Single Mom
Saya yang awalnya sempat berkeinginan untuk tidak menikah lagi akibat kepahitan yang pernah saya alami, jadi menepis semua itu dan kembali lagi merenung dan berpikir kembali tatkala teringat tatapan mata anak-anak saya yang envy pada kebahagiaan teman mereka bersama ayahnya. Hidup ini bukanlah milik saya pribadi, ada orang-orang di sekitar saya yang pula harus saya hadiahi kehidupan yang bahagia, mereka adalah keluarga, anak-anak dan orang tua saya. Saya dapat merasakan betapa mereka ingin melihat saya suatu hari nanti dipertemukan dengan laki-laki terbaik yang dapat mendampingi saya dan menjadi ayah bagi anak-anak saya.
Sudah enam tahun saya menjalani hidup sebagai single mom, sampai sejauh ini masih belum ada sesosok lelaki terpilih yang akan mendampingi saya hingga hari tua nanti. Jauh di lubuk hati saya, saya pun menginginkan nantinya ada seseorang yang tepat bersama saya mengarungi kehidupan ini. Bagi saya bukan perkara kini atau nanti saya bertemu pasangan kembali, pernikahan bukan lagi tentang waktu, seberapa cepat kita mendapatkan pasangan dan kemudian meresmikan dalam ikatan pernikahan. Perlu saya tuliskan demikian karena tidak sedikit orang yang berkomentar dan bertanya sesuka hati mereka seolah-olah hidup ini mereka yang punya.
“Tunggu apalagi, kok nggak nikah lagi?”
“Emang mau yang sepetti apa sih?”
“Kapan nikah lagi?”
“Aku sih nggak bisa hidup sendiri seperti kamu, harus ada pasangan yang menemani.”
“Buruan nikah, biar ada yang membantu biaya rumah tangga dan sebagainya.”
Kurang lebih seperti itulah komentar dan pertanyaan mereka. Pertanyaan model kapan, biasanya akan saya jawab dengan “doain aja” dan komentar lain-lain biasanya akan saya timpali dengan memberikan pernyataan bahwa setiap orang boleh memilih dan memutuskan apa yang terbaik bagi kehidupannya dan membuatnya bahagia, termasuk dalam memilih pasangan dan memutuskan menikah lagi. Wajar bila banyak orang berkomentar sekehendak hati mereka, bisa jadi mereka berpendapat demikian didasari oleh pengalaman, pemikiran dan sudut pandang mereka sendiri.
Penting bagi saya untuk memastikan bahwa apakah pasangan saya nanti mampu bergandengan dan berjalan bersama dengan saya dalam mengarungi bahtera rumah tangga, saya tidak menginginkan bahwa salah satu di antara kami akan saling mendahului. Pernikahan adalah soal berjalan bersisian meniti kehidupan.
Bagi saya pernikahan adalah peleburan dua jiwa dan perihal melangkah bersama dalam kepercayaan yang harus dijaga, bukan perkara pergantian status saja. Selain itu, betapa indahnya bila pernikahan mampu membuat kita selalu belajar dan berkembang, ada rasa saling mendukung serta menopang dalam setiap liku kehidupan.
Saya pun percaya suatu saat nanti entah di belahan bumi sebelah mana ada lelaki terbaik dan tepat sebagai pasangan saya kelak. Saat ini yang perlu saya lakukan adalah menjalani kehidupan dengan sebaik mungkin dan selalu berdoa untuk dipertemukan dengan orang yang tepat dan di saat yang tepat pula, as the proverb says the right man at the right time.
#GrowFearless with FIMELA