Mengapa Sesama Perempuan saling Mencibir? Ini Jawaban Psikolog

Anisha Saktian Putri diperbarui 01 Agu 2019, 06:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Perempuan tidak melulu sebagai korban bullying, namun dapat sebagai pelaku kekerasan tersebut. Kini banyak sesama perempuan saling mencela atau menghakimi.

Bukan hanya secara fisik, beauty bullying merupakan bentuk bullying yang kerap dialami perempuan Indonesia baik secara verbal maupun melalui media sosial. Permasalahan ini kerap menghantui para perempuan terutama di ruang media sosial yang biasa kita sebut dengan social beauty bullying.

Nuran Abdat, M.Psi, Psikolog Klinis dari Brawijaya Healthcare memaparkan, perilaku social beauty bullying yang dilakukan oleh perempuan terhadap perempuan lain secara online yang mengomentari penampilan seperti make-up, model rambutnya, fitur fisik, dan lain-lain.

Nuran Abdat, mengatakan memberikan komentar yang menyindir, mengejek, dan mengintimidasi dalam ranah kecantikan, entah wajah atau body shaming, maka hal tersebut masuk ke dalam kategori Beauty Bullying.

“Tindakan ini rata-rata dilakukan oleh perempuan terhadap perempuan. Padahal mestinya kan sekarang zamannya woman support woman, tapi kok ternyata kita justru menghancurkan satu sama lain,” papar Nuran dalam kampanye inisiatif #STOPBeautyBullying bersama Lux di Jakarta.

Dampak dari tindakan ini dapat mengganggu kondisi mental pelaku dan korbannya. “Untuk itu, seseorang harus menghargai dirinya sendiri, agar dapat menghargai orang lain,” ujarnya.

2 dari 2 halaman

Mengapa fenomena ini terjadi?

Lux stop beauty bullying

Padahal, semestinya kita sesama perempuan harus selalu mendukung. Lalu mengapa fenomena ini terjadi di masyarakat.

Nuran mengatakan, jika melihat masa lampau budaya patriaki karena perbedaan sudut pandang pria dan perempuan tentang kompetisi. “Yang tadinya perempuan ingin mengeluarkan agresinya di ruang yang tepat. Tapi akhirnya terpendam dan terbendum, lama-lama mikir gimana cara mengeluarkannya. Akhirnya mereka berkomentar negatif di sosial media,” tambahnya.

Nuran mengatakan terjadinya budaya patriaki tersebut karena kurangnya pemahaman tentang diri kita sendiri, jadilah terjadi persaingan. “Jadi ingin unjuk unjuk gigi, karena dari dulu ruang agresinya jarang diberi ruang. Kesannya terjadi nyinyir karena tidak keluar dirinya. Dari situ perempuan punya pemikiran mengeluarkan argesi ngga baik jadi nyindir atau komentar negatif,” ucapnya.

Selain itu, bully terjadi karena seseorang kerap kali mendapat sindiran, sering sekali mendapat kata-kata negatif itu yang akhirnya membentuk pola pikir yg negatif, jadi berpikir berkomentar negatif hal biasa.

“Jadi banyak orang yang tidak mengerti dan sadar bahwa hal itu membuat orang sakit hati atau tersinggung. Jadi budaya nyinyir itu akhirnya biasa dilakukan. Perkembangan bacckground kita dahulu penting, seperti lingkungan keluarga dan teman sering melakukan kata-kata negatif atau tidak atau sering mengalami intimidasi,” paparnya.

 

 

 

#Growfearless with FIMELA