Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Indri - Jakarta
Semua dimulai dari permohonan dalam sebuah pesan singkat.
“Pokoknya kamu mesti menginap.” Iyah adalah nama si pengirim pesan. Temanku sejak 12 tahun lalu, saat kami pertama kali berkenalan dalam masa orientasi kampus. Aku membalas pesannya dengan mengatakan aku tidak dapat berjanji untuk mengabulkan permohonannya tersebut, karena masih ada yang harus kulakukan di ibu kota, dan kemungkinan aku belum kembali ke kampung halamanku, Medan. Dia berupaya meyakinkanku dengan menyebutkan angka ganjil pada pertengahan Juni tahun ini agar aku menyempatkan waktu menemaninya menyambut momen bahagianya yang akan diselenggarakan keesokan harinya.
Ini bukan yang pertama, akhir tahun 2018 yang lalu pun aku mendapat kepercayaan dari seorang teman satu kesukaan (menulis) untuk turut berkontribusi dalam acara pernikahannya. Ana adalah namanya. Bahkan dia mendaulatku sebagai bridesmaid-nya dan secara khusus memberikanku satu setelan kebaya lengkap.
Aku sendiri kurang mengerti apa yang harus dilakukan bridesmaid saat pernikahan. Dalam bayanganku, mungkin aku akan senantiasa berdiri di sampingnya lalu siaga jika dia membutuhkan sesuatu, seperti mengambilkannya makanan saat dia lapar, menjadi juru foto jika ada sekumpulan tamu yang ingin mengabadikan momen atau tugasku adalah menjadi tukang kipas jika pendingin udara tidak berfungsi dengan baik karena membludaknya tamu yang hadir.
Aku tiba di rumah Ana H-1 menjelang pernikahannya. Tenda sudah terpasang, tapi barisan kursi yang akan disediakan untuk para tamu belum terlihat. Segera aku menjumpai Ana yang rupanya baru sedang menelepon petugas dekorasi yang belum juga menyelesaikan tugasnya. “Semuanya lancar?” aku bertanya padanya sambil meletakkan tasku di dalam kamarnya. Kamar yang nanti akan dia tempati dengan (calon) suaminya. Dia menjawabku dengan anggukan lalu memberiku selembar kertas dan pulpen.
“Untuk?”
“Catatan buat besok. Biar kamu nggak bingung besok ngapain aja. Oh iya, nanti telur yang untuk digunakan dalam upacara adat itu harus kamu bawa ya, lalu berikan padaku saat MC-nya menyuruh,” tunjuknya pada benda di atas meja rias.
“Itu saja?”
“Sementara itu dulu nanti bakal ada lagi,” sambungnya lalu membawaku menuju dapur. “Nah sekarang bantuin aku blenderin merica buat bumbu masakan besok.”
“Lho nggak jadi pakai katering?”
What's On Fimela
powered by
Mempersiapkan Pernikahan
Tak jauh berbeda dengan Ana, pernikahan temanku Iyah pun setali tiga uang soal persiapannya. Singkatnya rentang waktu dari hantaran menuju nikahan yang hanya terpaut dua bulan, membuat Iyah harus memaksimalkan waktu yang dia punya untuk mengatur pernikahannya. Dia hanya luang di hari Minggu, karena Senin hingga Sabtu dia bekerja. Sangkin kurangnya waktu, bahkan dia tidak sempat mencari jilbab yang akan dia gunakan olehnya di hari H. Dia meminta temanku untuk membelikannya jilbab. Kehadiranku pada satu hari sebelum pernikahannya pun Iyah berdayakan. Malam itu aku membantunya mengemas ucapan terima kasih.
“Souvenir-nya ini aja atau ada tambahan lain?” aku mengambil sebuah benda dari kardus lalu menstaplernya.
“Ini aja, tamuku juga nggak banyak kok.”
“Oh, terus ini apa? Kenapa beda?” kutunjukkan sebuah bros bunga berbahan dasar flanel.
Kemudian dia bercerita bahwa mulanya dia ingin membuat sendiri souvenir terima kasih dari bahan flanel, tapi apa daya waktu juga lah yang akhirnya membatalkan niatnya. Dia mulai mencicil membuat ketika Ramadan kemarin dan hanya mampu menyelesaikan 10 bros. Lalu dia memikirkan alternatif souvenir lain yang bisa selesai dalam tempo singkat dan tidak terlalu mahal. Gantungan kunci menjadi pilihan.
“Aku sih mikirnya yang penting sederhana aja, Ndri. Selama cukup budget atau kalaupun harus nambah nggak banyaklah.”
“Makanya nggak mau pakai musik?”
“Enggak, kalau soal musik bukan karena biaya. Ayahku yang tidak setuju. Lagipula nanti saat di pihak keluarga laki-laki sepertinya akan ada kok.”
“Pestanya dua kali?
Kerja Sama dalam Pernikahan
Hujan yang mengguyur kota Medan malam itu menyisakan pekerjaan rumah tersendiri. Meskipun tenda telah berdiri, kursi-kursi mulai ditata rapi tapi keberadaan puluhan kain putih yang berfungsi sebagai sarung kursi tidak ditemukan. Karung yang digunakan sebagai tempat kain-kain tersebut ternyata diletakkan di tempat yang tidak terlindung dari hujan. Basah. Sempat terjadi perdebatan antara saudara-saudara Iyah untuk gunakan atau tidak kain itu, kalau dipasang sekarang apakah besok akan kering? Aku dan Iyah melihatnya dari ruang tamu yang disulap menjadi semacam pelaminan minus kursi.
“Kamar belum selesai kan, Kak?” tanya Iyah pada Kakak yang menjadi penghias dekorasinya.
“Oh iya, bunga-bunga yang di atas kepala ranjang itu belum Kakak pasang ya? Sebentar Kakak ambil bunganya dulu.”
Saat itu waktu sudah lewat dari pukul 12 malam dan kami masih terjaga untuk membereskan satu per satu hal kecil yang takutnya luput dalam ingatan. Seperti misalnya memastikan janur yang akan dipasang di depan gang dan lain sebagainya.
Seperti informasi yang pernah kubaca dimedia-media bahwa sebenarnya tidaklah ‘mahal’ harga sebuah pernikahan. Yang membuat nominal angkanya naik berkali lipat adalah gengsi dan banyaknya keinginan yang mesti diakomodir dalam sebuah pernikahan.
Dalam cerita temanku Ana, dia dan suaminya berasal dari etnis yang sama hingga pernikahan mereka disepakati hanya menggunakan adat Jawa saja. Menurutnya yang agak sulit adalah menyakinkan ibunya untuk melangsungkan pernikahan di gedung saja, agar tidak repot. Namun Ana tidak sampai hati menolak permintaan ibunya untuk mengadakan pesta di rumah saja dengan segala konsekuensi kerepotan yang menyertainya. Aku dan Ana baru dapat pergi tidur menjelang pukul satu dini hari, karena masih harus memastikan merica-merica itu tergiling halus oleh blender dan memasukkan beragam kue ke kotak kardus. Kue-kue itu akan menjadi hidangan yang akan diberikan kepada besan selepas ijab kabul.
Sementara jika dalam acara pernikahan Iyah, adanya dua keinginan berbeda dari pihak keluarga Iyah dan keluarga calon suaminya membuatnya melangsungkan pesta sebanyak dua kali. Riweuh dua kali. Pesta di rumahnya lalu pesta di pihak laki-laki. Ngunduh mantu, mungkin itu istilahnya. Karena pada akhirnya pernikahan bukanlah hanya penyatuan dua individu yang ingin menjalani hidup bersama. Namun juga penggabungan dua keluarga yang berbeda latar belakang dan keinginan soal konsep pesta yang diselenggarakan. Terlepas dari itu semua, para keluarga mengharapkan satu tujuan yang sama yakni kebahagiaan putra-putri mereka dengan orang yang mereka cintai.
Pengalaman ini mengingatkanku akan sebuah kalimat yang pernah kubaca, yang kurang lebih bernada seperti ini, “Menikahlah, jika kamu telah mengalahkan sebagian besar egomu.” Karena tampaknya tidak mungkin bila seorang manusia hidup tanpa rasa ego. Dan dalam sebuah pernikahan yang bertahan untuk selamanya aku meyakini adanya kolaborasi apik dari masing-masing individu yang saling mencintai, mengerti, dan tak kenal lelah untuk berjuang bersama.
Dan tidak perlu khawatir soal ‘drama’ menjelang pernikahan, sebab apabila semuanya berjalan mulus bagai jalan tol yang baru diresmikan, rasanya kurang greget. Bukankah hidup tidak selalu datar? Dan apabila mau sejenak saja berhenti dan melihat kembali riak-riak yang terjadi sebelum pernikahan, pastinya akan ada pelajaran yang jua menyertainya. Entah itu tentang wujud kepatuhan anak pada orangtuanya, tentang bersosialisasi, dan saling bermufakat antar manusia, pun tentang dua individu yang berupaya mengekalkan cinta dalam ikatan bernama pernikahan.
Aku belum menikah, dan memang belum berniat menikah dalam waktu dekat. Ini adalah kisahku yang turut ‘meramaikan’ persiapan pesta pernikahan dua orang temanku.
#GrowFearless with FIMELA