Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Nova - Surabaya
Saya menikah hampir setahun yang lalu ketika saya berusia 39 tahun, setelah melalui jalan panjang selama melajang dulu. Dulu saya selalu berpikir saya akan menikah jika saya dapat berkata, “Ketika aku sendiri aku baik-baik saja. Ketika aku bersamamu kita berdua menjadi lebih baik." Pengalaman saya menentukan gambaran tentang suami dan pernikahan yang saya inginkan.
Kehidupan pernikahan terdekat yang jadi acuan saya tentu saya pernikahan orang tua saya. Saya memandang ayah saya sangat dominan dan dalam beberapa hal itu ‘mematikan’ ibu saya. Lalu saya melihat pernikahan salah satu tante saya di mana dia sebagai istri yang dominan. Dari situ saya pikir saya mencari suami yang sabar dan kelak saya harus jadi pihak yang dominan. Saya melihat bahwa dalam pernikahan ada AKU, KAMU, dan KITA. Saya tidak mau AKU ‘mati’ karena KAMU atau KITA.
Suami saya berasal dari negara lain yang jaraknya kira-kira 12.000 km dari Indonesia. Dia memutuskan untuk memulai hidup baru di Indonesia sebelum bertemu saya, kira-kira 3 tahun yang lalu. Dari awal kami bertemu saya mengatakan kepadanya bahwa saya mencari pasangan yang serius untuk menikah. Awalnya dia kaget karena dia mencari living partner. Akhirnya kami sepakat untuk menikah. Kami saling mengenal selama kurang lebih 10 bulan sebelum akhirnya menikah.
What's On Fimela
powered by
Pentingnya Komunikasi
Dari awal dia selalu menekankan pentingnya komunikasi. Kami harus saling cerita. Dia juga bilang, “Couple relationship is everyday job," walaupun dia sebenarnya juga tidak terlalu suka dengan kata ‘job’. Maksudnya dalam relasi pasangan masing-masing harus menjaga relasi tersebut setiap harinya. Setiap hari.
Selama hampir setahun menikah saya mengalami begitu banyak hal dan begitu banyak rasa atau emosi. Kadang kami beda pendapat sampai ke level ‘drama’. Kadang kami dapat mengontrol emosi kami masing-masing, kadang kami juga lepas kontrol. Yang jelas kami selalu berusaha mengomunikasikan permasalahan kami dan bagaimana perasaan kami masing-masing.
Tidak mudah memang bagi dua pribadi yang berbeda, dengan latar belakang yang jauh berbeda. Dari sisi bahasa, kami berdua bukan native speaker bahasa Inggris, tapi itulah jembatan komunikasi kami. Dalam hal ini saya harus berterima kasih kepada Google yang sudah banyak membantu komunikasi kami. Saat ada kata-kata benda yang kami kesulitan menerjemahkannya, cukup ketik di Google.
Terus Berproses Menjadi Lebih Baik
Dalam kehidupan sehari-hari kami banyak hal-hal kecil tentang beda budaya yang menurut saya memperkaya pernikahan kami. Suami saya tidak terbiasa makan nasi. Pertama kali saya melihatnya makan nasi, dia menggunkan garpu untuk menyendok nasi. Dia juga mencampurkan sambal ke seluruh nasi (dia doyan pedas). Menurut saya itu lucu.
Dia penggemar daging sapi dan untuk sekali makan bisa habis sepotong besar atau lebih. Saya bilang padanya di rumah orang tua saya, ukuran daging sebesar itu bisa untuk masak rendang buat seisi rumah. Dia tertawa. Soal masakan, menurut dia daging yang bagus dan segar cukup di-grill dengan merica dan garam dan rasa daging itu sendiri sudah enak. Bagi saya yang enak itu daging direndang, soto, gulai, dan lain-lain masakah Indonesia yang kaya bumbu. Itu baru tentang makanan. Tentang hal lain misalnya, dia tertawa ketika melihat saya mengenakan jaket, kacamata hitam, dan masker saat akan dibonceng naik motor. Dia bilang saya alien. Baginya aneh karena udara panas dan saya butuh jaket. Saya jelaskan padanya bahwa istrinya keturunan vampir yang takut kena matahari. Kamipun tertawa.
Pernikahan kami masih sangat muda. AKU dan KAMU akan terus belajar untuk menjaga relasi KITA setiap harinya. Kembali ke pemikiran-pemikiran saya sebelumnya tentang pernikahan, saya belajar bahwa pernikahan bukan tentang dominan atau tidak. Pernikahan itu tentang komunikasi. Apakah kita bisa bercermin dari pernikahan orang lain? Saya pikir tidak, karena kita hanya melihat dari luar saja. Sesungguhnya bagaimana, hanya mereka berdua yang tahu. Meskipun itu pernikahan orang tua kita sendiri. Apakah kami berdua menjadi menjadi lebih baik? Saya harap begitu. Pada akhirnya sama seperti urusan jodoh yang tidak ada rumusnya, demikian juga pernikahan. Jadi, nikmati saja.
#GrowFearless with FIMELA