Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Akhsinatun Aisyah - Pekalongan
Usiaku genap 30 tahun ketika menikah. Sedangkan suamiku, dia empat tahun lebih tua. Pernikahan di usia yang terbilang matang, atau mungkin beberapa orang menyebutnya terlambat. Entah bagaimana harus mengucapkan syukur pada Tuhan atas berkah yang diberikan untuk kami.
Satu demi satu kebahagiaan datang silih berganti dalam hidup kami. Sebulan setelah menikah, kami sudah diberi kepercayaan untuk mendapat keturunan. Kami bahagia. Antara cemas, takut, dan antusias bercampur menjadi satu. Aku akan menjadi ibu. Kadang, kulihat perutku yang belum mulai tampak buncit. Rasanya menyenangkan. Aku membayangkan, bagaimana rasanya jika perutku mulai membesar.
Suamiku pun tak kalah antusias. Kadang dia mengelus elus perutku seraya mengobrol dengan janin dalam rahimku. Seolah olah dia bisa mendengarkan suara bapaknya. Ini pengalaman pertama kami. Tentu saja kami sangat awam. Tentang apa yang boleh dan tidak boleh dimakan. Tentang apa yang harus ataupun tidak boleh dilakukan.
Bisa dibilang, kehamilan pertamaku ini tidak rewel. Sering aku mendengar tentang morning sickness. Sampai terkadang harus bedrest di tempat tidur. Tapi lihat. Aku baik baik saja. Mual hanya sekadarnya. Kondisi fisikku sama saja ketika aku belum mengandung. Tuhan Maha Baik. Karena itulah aku beraktivitas seperti biasa. Istilahnya "ngebo". Begitulah yang orang orang katakan.
What's On Fimela
powered by
Keputusan yang Menyakitkan
Usia kandunganku sudah mencapai 12 minggu kala itu. Setiap bulan kami periksa ke bidan terdekat. Hampir tidak ada keluhan apapun. Sehingga setiap kami periksa hanya diberi vitamin untuk ibu hamil. Selang satu minggu setelah kami periksa ke bidan, sesuatu terjadi. Keluar flek. Kejadiannya sesaat setelah aku mencuci baju. Aku takut. Sungguh. Segera kukabari suamiku yang masih bekerja. Lewat internet, aku mencoba mencari tahu. Ada banyak sekali kemungkinan. Tergantung dari kondisi fisik masing masing. Beberapa artikel yabg kubaca ada yang membuatku takut, ada pula yang membuatku lega. Beberapa ada yang bertahan, beberapa lagi tidak.
Esoknya kami segera memeriksakan kandunganku ke bidan. Raut wajah bidan berubah serius ketika aku menyampaikan keluhanku. Dia segera menyuruhku testpack ulang. Hasilnya masih dua garis. Tapi aku benar-benar tidak bisa mengartikan ekspresi bidan yang sudah berusia paruh baya itu. Dia memberi kami rujukan ke dokter spesialis kandungan. Sorenya, kami segera kesana. USG untuk pertama kali.
Aku melihatnya. Janin dalam perutku. Tapi apa yang dokter sampaikan, membuat kami tidak percaya. Untuk usia kehamilanku yang sekarang, seharusnya sudah ada detak jantung. Tapi nihil. Janin dalam perutku tidak berkembang katanya. Harus kuret. Ultimatum yang diberikan, seperti merobohkan pertahanan kami. Aku menangis hebat. Sementara suamiku kehilangan kata-kata. Untuk sesaat dia lunglai. Tapi melihatku yang tak berhenti menangis, dia mencoba menguatkanku. Sampai pada akhirnya, dia tak kuasa membendung tangisnya. Kami menangis bersama. Tak peduli tatapan orang orang yang melihat dengan pandangan aneh.
Berusaha Mengikhlaskan
Kupikir masih ada harapan. Kami mencoba meminta second opinion pada dokter kandungan lain. Tapi tetap saja, hasilnya sama. Janin ini sudah tidak bisa terselamatkan lagi. Mau tidak mau, harus dikuret. Kami pun mengurus segala prosesnya. Termasuk berganti dokter yang mau menerima bpjs. Kami tiba di rumah sakit pada malam harinya. Diperiksa dokter kandungan untuk yang ketiga kalinya.
Kali ini, apa yang dia sampaikan lebih mengejutkan kami. Ada kista sebesar enam sentimeter dalam rahimku. Dia bilang sudah terlambat untuk menyelamatkan janin ini. Ya, kami mengerti. Kami harus mengikhlaskannya. Malam itu, aku langsung rawat inap untuk operasi keesokan harinya. Dokter menyuruhku puasa saat itu. Sesaat sebelum puasa, seorang perawat memberiku obat. Obat yang membuat perutku melilit sepanjang malam. Sakitnya tak tertahankan. Aku menangis. Sementara suamiku menggenggam tanganku. Tidak tidur sepanjang malam. Menemaniku dalam tangis dan perihku. Hampir beberapa jam sekali, aku bolak-balik ke kamar mandi. Pendarahan hebat, seperti saat menstruasi. Bahkan mungkin lebih banyak.
Saat itu, bersamaan dengan darah yang keluar aku melihatnya. Seperti embrio yang belum sempurna seutuhnya. Segera kuambil dan kusimpan. Tangisku pecah lagi. Aku ingin berkata kepadanya. Maafkan kami Nak, sungguh.
#GrowFearless with FIMELA