Menikah adalah Ibadah yang Paling Panjang dalam Hidup

Endah Wijayanti diperbarui 26 Jul 2019, 12:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.

***

Oleh: Tiwi Pawitrasari - Solo

Satu setengah tahun yang lalu akhirnya aku menikahi pria impianku. Pernikahan dengan segala lika-likunya dan pesta yang cukup sederhana. Tapi bukan itu poinnya. Bagiku menikah bukanlah tentang apa melainkan tentang siapa. Bukan tentang sesempurna apa resepsimu tetapi dengan siapa kamu memutuskan untuk megarungi bahtera hidup barumu. Karena semua tidak akan ada artinya jika kamu memilih orang yang salah untuk menjadi teman hidupmu.

Aku belajar bagaimana memilih yang baik bagi diriku sendiri dari pengalaman dan dari roman-roman picisan orang lain. Terlebih dari orang tuaku. Aku berasal dari keluarga broken home. Aku sempat khawatir menghadapi masa depanku dan aku sangat trauma dengan perceraian dalam rumah tangga.

Dua puluh enam tahun. Aku rasa bukanlah usia yang terlalu muda atau pun terlalu tua untuk menikah. Sejak pra-nikah kami sepakat untuk menunda momongan. Bukan apa-apa, kami hanya ingin beradaptasi degan kehidupan kami yang baru sekaligus ingin menikmati masa-masa berdua terlebih dahulu.

Singkat cerita enam bulan telah berlalu pasca menikah. Kami memutuskan untuk mengakhiri program Keluarga Berencana dan melakukan program pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Maksudnya kami sudah mulai menerima jika akan hadir si buah hati, tapi kami juga tidak terlalu berharap. Kami jalani hidup kami dengan santai.

 

2 dari 2 halaman

Menanti Momongan

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

2019. Tahun baru saja berlalu beberapa hari tapi masalah justru baru saja datang menghampiri. Kala itu usia pernikahan kami genap satu tahun. Aku berharap terlalu banyak bisa memberikan kado pernikahan terindah untuk suamiku. Tapi ternyata Tuhan belum mengabulkan. Satu-dua-tiga teman, sanak, saudaraku yang juga telah lama menanti kabar bahagia akhirnya mendapatkan kabar bahagia itu. I have a problem.

Ragaku baik saja tapi jiwaku tertekan. Sungguh kututup rapat kecuali pada buku, pena dan kedua tangan yang menadah. Aku amat merasa bersalah pada suamiku karena belum bisa memberikannya keturunan. Timbul pertanyaan macam-macam dalam benakku dan aku sangat benci disinggung siapa pun soal kehamilan. Berbulan-bulan aku terpenjara dalam jiwa ku sendiri. Hingga akhirnya aku lelah.

Aku sadar setiap pernikahan pasti memiliki masalah dan setiap orang memiliki masalah sesuai porsinya sendiri-sendiri. Ini adalah ujian yang memenag harus kami hadapi. Kami bukanlah satu-satunya pasangan yang memiliki kendala soal momongan. Aku pernah berpikir, seandainya dulu tidak menunda mungkin saat ini kami sudah bertiga. Tidak, aku salah! Dengan ditunda atau tidak ditunda semua sudah urusan takdir.

Kita tidak perah tahu kapan kita memiliki anak, manusia hanya bisa berharap, berusaha dan berdoa. Aku memutuskan untuk lebih ikhlas dan lebih mencintai suamiku. Bagiku menikah bukan semata-mata untuk memiliki keturunan, tapi menikah adalah ibadah yang paling panjang dalam hidup. Dan dengan hadirnya masalah aku jadi tahu bahwa aku telah menikahi pria yang tepat.

#GrowFearless with FIMELA