Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta
Mendengar ungkapan "perempuan harusnya fokus urusan dapur, kasur dan sumur" mungkin tidak asing lagi bagi banyak orang. Ungkapan tersebut dianggap masih relevan walaupun era sudah sangat modern. Yang mungkin juga masih sering terdengar adalah "perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting bisa mengurus anak". Ungkapan semacam itu seakan memperkuat keyakinan bahwa bekerja adalah 'bagian' pria, bukan untuk perempuan.
Kemudian muncul lagi anggapan "percuma punya gelar pendidikan, setelah menikah hanya mengurus rumah", "udah punya gelar kok ga mandiri" dan sebagainya. Ternyata menjadi perempuan masih sulit di tengah pandangan masyarakat yang punya standar perempuan ideal. Harus ini, harus itu, jangan begini, jangan begitu dan sebagainya.
Namun apakah benar bahwa perempuan tidak harus bekerja? atau apakah perempuan yang memiliki gelar pendidikan tidak boleh hanya menjadi ibu rumah tangga?
What's On Fimela
powered by
Perempuan dan Dunia Kerja
Secara umum, bekerja adalah upaya memenuhi kebutuhan fisik seperti kebutuhan makanan, tempat tinggal, kepemilikan aset dan sebagainya. Selain itu, bekerja memmengaruhi kondisi psikologi dan mental seseorang. Karena bekerja juga merupakan bentuk ekspresi diri akan hal yang ingin dicapai. Menurut Bank Dunia pada 2017, dilansir Katadata.co.id, perempuan yang bekerja secara global mencapai angka 39,298%.
Bagaimana dengan perempuan Indonesia? Ternyata perempuan Indonesia yang berpartisipasi dalam angkatan kerja dan mencapai angka 50,7 %. Jumlah ini merupakan akumulasi dari sektor formal (pekerja tetap), informal (pekerja lepas) dan mencari pekerjaan. Berarti sebagian dari mereka tidak bekerja di kedua sektor tersebut dan menjadi ibu rumah tangga.
Bekerja atau Menjadi Ibu Rumah Tangga: Sebuah Pilihan
Dalam konteks negara-negara Asia, termasuk Indonesia, akan sangat dilematis bagi perempuan untuk memilih bekerja atau menjadi Ibu Rumah Tangga. Data yang dirilis Yougov (perusahaan riset pasar dan analitik data internasional) pada tahun 2015 menunjukan bahwa perempuan yang menikah, akan lebih sedikit memiliki kebebasan untuk memilih apa yang mereka sukai. Lalu apa yang dianggap kelebihan dan kekurangan perempuan bekerja dan IRT?
Perempuan Bekerja:
Kelebihan
- Bisa membantu keluarga
- Menjadi contoh bagi anak
Kekurangan
- Fokus terbagi
- Kehadiran dalam keluarga kurang terasa
Ibu Rumah Tangga:
Kelebihan
- Fokus kepada keluarga
- Kehadiran dalam keluarga lebih terasa
Kekurangan
- Tidak begitu banyak membantu keuangan keluarga
- Keterbatasan melanjutkan karir
Stigma pada Pilihan Perempuan: Bekerja atau Menjadi IRT
Menjadi perempuan memiliki posisi yang belum ideal dalam masyarakat. Menurut Masruchah dari Komnas Perempuan, posisi perempuan bisa dikatakan belum sama dengan laki-laki. Karena itu tuntutan pada perempuan juga lebih banyak dibanding laki-laki. Pilihan yang diambil perempuan akan menjadi dilema bagi dirinya sendiri. Baik perempuan bekerja ataupun menjadi IRT akan memiliki konsekuensi.
Contoh, perempuan yang bekerja mungkin memiliki waktu tidak sebanyak IRT agar bisa fokus kepada keluarga. Namun menjadi IRT mungkin akan membuat perempuan akan lebih butuh dinafkahi suami. Kemudian stigma lain bagi perempuan bekerja tidaklah selalu baik. Dianggap abai terhadap keluarga, berpotensi menimbulkan konflik karena waktu yang terbagi dan 'kurang menjadi' ibu dalam keluarga.
Sama hal nya dengan IRT, dimana kemungkinan untuk mandiri secara finansial lebih kecil dan bisa jadi sangat bergantung pada penghasilan suami. Bahkan dalam beberapa kasus, banyak perempuan yang meninggalkan pekerjaan karena dituntut untuk mengurus rumah tangga. Tuntutan untuk mengurus rumah lebih banyak dan baru dianggap sebagai IRT yang baik jika sudah memenuhi standar masyarakat.
Perempuan dalam Pandangan Masyarakat
Seperti pernyataan Masruchah di atas, bahwa perempuan masih dianggap memiliki posisi yang tidak setara dengan pria. Perempuan dianggap berada di posisi kedua dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga posisi ini tidak memberikan ruang bebas bagi perempuan sebagaimana didapat oleh pria.
Bahkan anggapan ini tidak hanya berasal dari pria. Hanya sekitar 52% perempuan Indonesia yang mendukung bahwa perempuan harus bisa memilih antara bekerja atau menjadi IRT.
Tentu pandangan masyarakat mengenai perempuan dan pilihannya baik bekerja ataupun menjadi IRT bukanlah hal yang harus dibesar-besarkan. Apapun pilihan perempuan, tentu sudah dipertimbangan lebih dan kurangnya, sehingga jika terlalu diintervensi oleh masyarakat akan menimbulkan stigma yang tidak baik.
#GrowFearless with FIMELA