Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Novianti Manik - Denpasar
Setiap orang pasti memiliki impian tersendiri mengenai pernikahannya. Begitupun juga saya. Sebagai seorang wanita saya ingin segala yang terbaik pada pernikahan saya nanti. Gedung mewah, gaun pengantin seperti putri raja, dekorasi yang elegan, kue pengantin bertingkat-tingkat, mobil pengantin mewah dengan pita dan tulisan just married di depannya. Membayangkannya saja sudah membuat hati bahagia.
Well, terkadang ekspektasi tak sejalan dengan realita. Keadaan membuat saya harus membuang jauh-jauh pernikahan impian saya. Apalagi saat itu saya dan suami bekerja di Bali sedangkan pernikahan kami akan diadakan di kota kelahiran suami saya, Yogyakarta. Sempat terpikir untuk menggunakan jasa WO, namun setelah kami survei harganya lumayan juga sedangkan budget kami benar-benar terbatas.
Ada beberapa orang yang menganjurkan saya untuk meminjam uang di bank, karena menurut mereka pernikahan itu sekali seumur hidup jadi harus dibuat se-wah mungkin. Saya membayangkan kembali pernikahan impian saya, dan saya nyaris tergiur dengan angin surga itu. Saya hampir saja menyekolahkan (baca: gadai) beberapa motor kami. Namun untunglah saya tersadar mengingat berapa nanti cicilan hutang yang harus kami bayar.
Kami mempersiapkan semua berdua, kami tidak ingin merepotkan keluarga apalagi orang tua. Dan ternyata mengurus pernikahan itu tidak semudah yang kami bayangkan. Perbedaan pendapat, gesekan dari sana-sini seringkali membuat kami emosi dan berdebat panjang. Mulai dari persyaratan gereja, saya harus mengurus surat pindah agama dari Kristen ke Katolik, mengikuti kursus pra nikah, dan mempersiapkan semua hal yang diperlukan untuk misa pernikahan kami. Kemudian melengkapi data di catatan sipil (saat itu saya belum punya e-KTP dan saya tidak terdaftar di KK orang tua saya). Menyewa tempat untuk resepsi, fitting baju, menyewa penginapan untuk keluarga saya dari Bandung dan hal-hal kecil lainnya yang ternyata membuat kami kewalahan juga.
Menikah dengan Sederhana tapi Khidmat
Setelah tiga bulan sibuk mengurusi ini dan itu, tibalah hari pernikahan kami. Gaun pengantin saya sederhana, jauh dari impian saya. Saya sempat sedih tapi saya tidak mau mengacaukan hari bahagia ini. Sebelum misa mulai saya dan suami berdiri di depan pintu gereja, dia berbisik meminta maaf karena hanya bisa mengadakan pernikahan yang sederhana.
Saya terkejut, seketika malu dan merasa jadi orang paling jahat yang hanya mementingkan ego sendiri. Rangkaian misa berjalan lancar, sampai saat di mana kami harus mengucapkan janji pernikahan. Saat itu benar-benar khidmat, semua menyaksikan saat suami saya mengucapkan janji pernikahannya dengan lantang dan sedikit bergetar. Dari situ saya tahu begitu berat beban yang dia tanggung atas janji dan sumpah itu, dan saat itulah saat di mana saya mengerti arti dari pernikahan yang sesungguhnya.
Pernikahan bukan sekadar gaun yang indah, dekorasi mewah, gedung megah, makanan enak. Pernikahan bukan sekadar rangkaian acara menarik dengan MC dan band yang bagus. Pernikahan bukan pertunjukkan. Pernikahan bukan saat di mana kita ingin menyenangkan semua orang. Pernikahan itu tentang hati. Pernikahan itu sakral. Pernikahan itu privasi. Dan di atas semua itu pernikahan adalah saat di mana kita dengan mantap memberikan bagian dan sisa dari hidup kita untuk orang yang telah kita pilih.
"Saya berjanji akan setia kepadanya dalam suka dan duka,
dalam untung dan malang, dalam keadaan sehat dan sakit.
Saya berjanji akan senantiasa mencintai
dan menghormatinya seumur hidup saya.
Demikianlah janji saya di hadapan Allah dan Injil Suci ini."
My Wedding Vows – February 12th 2017
#GrowFearless with FIMELA