Menikahlah untuk Menggapai Berkah, Bukan Pujian Manusia Semata

Endah Wijayanti diperbarui 24 Jul 2019, 12:46 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.

***

Oleh: Icha - Jember

Tak Perlu Gengsi, Menikah Hanya di KUA Bukanlan Sebuah Dosa

Menikah adalah salah satu cara untuk menjaga diri dari fitnah, bukan seberapa megah dan mewah tapi tentang bagaimana untuk menggapai sebuah berkah. Bukan tentang seberapa cepat, tapi tentang seberapa tepat. Pernikahan juga sebuah pembuktian cinta yang suci untuk bersama menuju jannah. Tak jarang sebuah pernikahan juga menjadi sebagai pembuktian kelas sosial seseorang. Dan tak jarang untuk melangsungkan pernikahan impian banyak yang berlomba menyuguhkan sebuah pernikahan bertabur kemewahan untuk mendapatlan pengakuan status sosial.

Namun tak semua orang memimpikan pernikahan mewah, ada juga beberapa yang memimpikan pernikahan sederhana namun penuh berkah. Seberapa mewah pun sebuah pesta pernikahan tidak akan pernah selamat dari nyinyiran mulut seseorang. Semua seolah serba salah. Menikah muda dikata sudah kegatelan, menikah dengan umur di atas 25 di kata perawan tua dan tidak laku. Menikah sederhana dikata hamil duluan. Dan jika pun menikah mewah di kata pasti tuh banyak utang ujungnya. Ya begitulah kehidupan bermasyarkat di negara kita. Miris memang, tapi inilah realitanya.

Aku sudah sejak dulu memimpikan pernikahan sederhana hanya di KUA. Pilihan yang jarang di antara generasi milenial masa kini. Pernah dicibir karena memimpikan hal tersebut. Aku banyak belajar dari pernikahan teman-teman seusiaku yang sudah menikah terlebih dulu. Terlebih lagi, mengingat teman-teman sekantorku yang seolah tidak pernah menghargai moment pernikahan orang lain, setiap kali usai menghadiri resepsi teman yang lainnya selalu ada yang jadi gunjingan setelahnya. Entah tentang make up mempelainya, entah menu makanan yang disajikan, atau bahkan sovenir juga tak luput dari gunjingan. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak menggelar resepsi mendatangkan mereka. Mimpiku hanya menikah dengan sederhana di KUA dan mengadakan tasyakuran di rumah bersama keluarga dan kerabat tercinta.

 

 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Tetap Ada Sedikit Hambatan

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Walaupun hanya menggelar akad nikah dan walimah sederhana, ternyata persiapannya tak sesederhana yang kubayangkan sebelumnya. Persiapan pernikahan yang kurang dari 35 hari saja sudah cukup menguras tenaga dan emosi. Mulai dari persyaratan pernikahan yang di minta pihak KUA sampai beberapa seserahan yang belum disiapkan sebelumnya.

Tak jarang cek-cok dengan keluarga dan calon suami mewarnai persiapan pernikahan kami. Ada masalah salah tik di surat pengantar nikah dari calon suami, sampai mencari wali nikah untukku. Iya ayah kandungku sudah tiada sejak aku kecil, kakek (ayah kandung) dari ayahku juga sudah tiada. Dan beliau anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Selama ini aku dibesarkan oleh ibu dan ayah sambungku. Meskipun hanya ayah sambung tapi beliau menganggapku seperti putri kandungnya sendiri. Beliau yang selalu menyayangiku, memenuhi segala kebutuhanku, hingga mendidik dan melindungiku dari siapapun yang ingin menyakitiku.

Langkah demi langkah sudah mulai terselesaikan, segala persiapan sudah 95% dirampungkan, pengajuan cuti menikah juga sudah mendapat persetujuan dari pihak kantor tempatku bekerja. Hari H pun tiba, semua sanak saudara sudah berkumpul sejak pagi, dan perias yang kusewa juga sudah datang untuk meriasku, aku hanya memilih gaun sederhana yang tak terlalu wah untuk dikenakan saat prosesi akad berlangsung. Aku juga meminta balutan hijab syar'i untuk menutup dada.

Karena kami akan menikah di KUA pihak kantor memberitahukan bahwa prosesi dilakukan selepas salat zuhur. Perjanjian awal pukul 13.00 prosesi dimulai. Karena itu mempelai pria tiba di rumah pukul 11.30. Hari itu aku melihat calon suamiku penuh dengan senyuman. Entahlah itu membuatku sedikit lega, tidak terlalu deg-degan seperti sebelumnya.

Pukul 12.00 mempelai dan beberapa pengiring melakukan salat berjamaah di musala belakang rumahku. Dan itu menjadi salat berjamaah terakhir bagi suamiku dengan status lajang. Selepas salat sebagian pengiring bersiap untuk mengantar kami pergi ke KUA dan sebagian lagi tinggal di rumah untuk istirahat dan menunggu.

3 dari 3 halaman

Menikah di KUA

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Kami sampai di KUA sekitar jam 13 lewat sekian menit. Beberapa pegawai masih baru selesai istirahat makan siang dan salat zuhur. Kami dipersilakan masuk ke sebuah balai untuk menunggu bapak penghulu. Mereka bilang bapak penghulu masih menikahkan di sebuah daerah tepi pantai yang sedikit terpencil. Kami disuruh menunggu.

Detik demi detik berlalu, menit demi menit bahkan sampai hampir 2 jam kami menunggu. Aku mulai resah dalam hatiku berkecamuk segala macam pertanyaan negatif yang menyerang. "Seperti inikah jika menikah di KUA? Padahal kita juga melakukan registrasi dengan benar, kita juga bayar meskipun di papan pengumuman dikatakan gratis. Seculas itukah pegawai kantor ini?"

Ketika jam menunjukan pukul 14 lewat 50 menit bapak penghulu datang dan memohon maaf telah membuat kami menunggu. Prosesi awal akan segera dimulai. Beliau mulai membuka acara dengan salam dan bismillah. Susunan acara di bacakan. Perlahan hatiku mulai tak karuan, mencoba tenang dengan membaca sholawat tapi masih banyak deg-degannya.

Ketika penghulu mulai menjabat tangan calon suamiku dan mulai mengucapkan, "Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka," aku semakin larut dalam bacaan sholawat yang kulantunkan dengan lirih untuk menenangkan diri ini. Setelah penghulu menyelesaikan kalimatnya tersebut tak berselang lama hanya butuh satu tarikan nafas terdengar suara calon suamiku menjawab, "Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi. Wallahu Waliyut Taufiq." Lalu terdengar para saksi mengucapkan kata "sah".

Masha Allah, haru, lega dan bahagia bercampur menjadi satu di waktu itu. Prosesi berlanjut untuk penyerahan mahar, salaman, dan juga khotbah nikah. Kemudian penutupan dan kami pun pulang ke rumah untuk melaksanakan acara walimah dan berkumpul sanak saudara.

Sesungguhnya menikah dengan sederhana juga tak kalah membahagiakan dibandingkan dengan menikah penuh resepsi mewah. Menikahlah bertujuan untuk mencari berkah bukan semata pujian manusia. Bagaimanapun acara pernikahan mu tidak akan pernah luput dari nyinyiran manusia. Mewah atau sederhana akan selalu banyak kekurangan di mata mereka. Yang paling penting dari sebuah pernikahan bukan pesta satu hari itu, melainkan kehidupan panjang setelah pesta usai. Tak perlu malu jika kita menikah dengan acara yang sederhana, menikah hanya di KUA bukanlah sebuah dosa. Biarkan mereka membicarakan kita, yang perlu kita lakukan hanya terus berusaha meraih Ridho sang Mahaku ada.

 

#GrowFearless with FIMELA