Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Marianedian Teriani - Malang
Menikah adalah impian semua wanita. Begitupun aku, setelah berpacaran selama tujuh tahun namun akhirnya tidak juga sampai dijenjang pernikahan. Namun akhirnya setelah membuka kembali hatiku aku bertemu calon suamiku. Usia kami terpaut satu tahun lebih muda, namun aku merasakan bahwa dia dapat membimbingku ke arah yang lebih baik. Lalu kami memutuskan untuk berpacaran. Namun di saat itu bapak dan ibuku tidak setuju karena dia hanya seorang lulusan sekolah menengah pertama. Kami bertemu karena kami satu tempat kerja yaitu di suatu perusahaan bakery terkemuka. Bertolak belakang dengan keluargaku, keluarganya malah setuju dan cenderung mendesak agar kami segera menikah. Karena keluarganya adalah keluarga yang agamis, jadi ditakutkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Lalu dia berbicara kepadaku dan aku setuju. Dia adalah laki-laki pertama yang berani memintaku langsung di depan ibuku. Di awal pembicaraan antara dia dan ibuku, ibuku mengiyakan. Namun setiap malam ibuku mendesakku dengan mengatakan kenapa tidak memilih yang lain. Kenapa aku tidak bisa memilih menikah dengan orang yang super mapan, orang dengan posisi jabatan yang lebih baik? Karena ibuku tahu selain pendidikannya kurang dia anak orang yang tidak berkecukupan dengan 4 orang adik. Namun aku tetap bersikukuh dengannya. Karena aku tahu mantan pacarku terdahulu walaupun baik di segala aspek pendidikan dan dari keluarga cukup namun dia sangat keras dan egois. Dan aku selalu merasa tertekan. Namun hal itu tidak pernah aku ceritakan dengan ibuku. Dengan dia aku merasa ringan dan tanpa beban.
Menikah dengan Pria Pilihan
Di sini peranku untuk memperjuangkan hidupku dipertaruhkan. Aku tidak ingin menikah dengan orang yang tidak kusukai. Berkali-kali aku dijodohkan dengan anak teman bapakku dan ibuku. Namun aku menolak. Aku hanya ingin bahagia dengan orang yang menjadi piihanku. Aku memberanikan diri untuk beradu argumen dengan ibuku. Sampai akhirnya ibuku pun menuruti kemauanku dengan berat hati. Di saat restu yang di berikan hanya 50%, kami didesak oleh keluarga laki-laki agar segera menikah. Di sini kendala kami bertambah yaitu keuangan. Rencana kami menikah tahun depan pun sirnah karena pihak keluarga menginginkan secepatnya dalam waktu empat bulan saja.
Sama-sama bekerja dan memiliki tanggungan, kami belum ada uang yang mencukupi untuk mempersiapkan semuanya. Di saat itu bapakku hanya memberikan uang sebesar Rp5 juta untuk menikah. Bisa dibayangkan menikah dengan modal 5 juta rupiah sedangkan calon suamiku hanya memiliki uang Rp500 ribu. Ibuku terus membesarkan hatiku, beliau memberikan aku pilihan dengan menikah cara sederhana namun rumah tempat tinggal ini akan diberikan kepadaku atau menikah secara besar-besaran namun rumah dijual jadi setelah menikah mau tinggal di mana terserah, begitu kata ibuku.
Jelas aku memilih rumah untuk kutinggali. Jadi aku sudah melupakan impian menikah dengan berbagai serba-serbinya. Membayangkan menikah dengan dekorasi yang meriah, makanan beraneka ragam, gaun pengantin dan make up cantik pun sirnah sudah. Terpikirkan seserahan, dengan modal hanya Rp500 ribu bisa kah? Bisa, dalam hati aku mencoba membesarkan diri dengan menerima seserahan apa adanya tidak harus mewah yang penting cukup. Karena nanti kalau sudah menikah uang kami akan jadi satu insyaallah aku bisa membeli hal-hal yang tidak bisa terbeli saat lamaran. Itulah kata hatiku. Jadi aku membeli serba-serbi lamaran seadanya dengan uang Rp500 ribu. Untuk make up akad nikah pun aku mendapatkan gratisan karena beliau adalah rekan ayahku. Di pikiranku hanya satu bisa menikah dengannya itu sudah alhamdulilah.
Menikah Sederhana
Tidak ada undangan disebar, hanya tahlil pada malam hari setelah akad. Makanan pun hanya soto lombok yang disajikan bukan prasmanan. Hanya ada delapan sahabatku saja yang hadir karena aku tidak menyebarkan undangan perihal pernikahanku. Kue yang d sajikan pun seadanya. Sedih memang mengingat betapa mirisnya momen pernikahan kami. Tidak dipungkiri setiap melihat dekorasi pernikahan atau hadir di pernikahan teman rasanya sedih, ingin menangis aku juga ingin seperti itu. Namun apa daya semua sudah berlalu. Suamiku terus membesarkan hatiku dengan berkata, “Insyaallah nanti kalau ada rezeki suatu saat kami bisa bikin pesta ulang tahun pernikahan denagn konsep mewah seperti itu,” begitu tuturnya.
Alhamdulilah hari demi hari terlewati, sekarang usia pernikahan kami sudah memasuki tahun ketujuh. Sudah memiliki seorang putri, impian kami nanti agar anak-anak kami memiliki kenangan pernikahan yang indah seperti yang lain. Serta mengajari arti dari perjuangan dan ikhlas. Serta tidak putus ada dan selalu bersyukur dengan setiap keadaaan. Karena kami yakin nanti akan ada kejutan dari Allah untuk kami. Amin.
#GrowFearless with FIMELA