Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: AR - Surabaya
Terlalu muda bagiku membicarakan soal pernikahan. Tapi mau tidak mau aku terseret dalam topik itu ketika sahabat karibku memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya di usia muda. Ini memang bukan kisahku, tapi aku berani menceritakannya karena aku salah satu saksi hidupnya. Bisa kurasakan lika-liku pernikahan sahabat karibku yang mungkin bisa jadi pelajaran untuk yang lainnya, terlebih untuk diriku sendiri. Saling berbagi itu perlu, kan?
Jadi sahabatku ini masih berumur 21 tahun ketika tahun lalu di tempatnya bekerja, ada salah satu rekan kerja, sebut saja Pak Agus (nama samaran) memberitahunya bahwa ada seorang pria yang tertarik dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Jujur saja sahabatku terdiam dengan pikiran berkecamuk. Kondisi keuangan keluarganya saat itu tidak stabil selepas meninggalnya sang ayah. Kakak laki-lakinya menyuruhnya untuk segera menikah agar meringankan beban keluarga. Sementara ia masih ingin kuliah meskipun harus sambil kerja. Ia rela melakoninya asal masa mudanya tidak terenggut sia-sia. Terlebih lagi ia tidak tahu menahu soal pria itu.
Tapi apalah daya ketika pinangan itu benar-benar datang dan seluruh keluarga menyetujuinya. Ia tidak bisa berkutik bahkan setiap hari ia hanya bisa menangis dalam diam. Berpura-pura bahagia agar dramatisasi dari kekecewaannya tidak membuat sang ibu sedih. Semua mengalir begitu saja dan ia pun mengikuti alurnya. Membesarkan hati untuk tulus menerima semua perlakuan orang yang tidak pernah diharapkan sebelumnya tidak semudah mengedipkan mata. Bahkan tidak sebercanda orang-orang yang hanya bisa menyuruhnya untuk terus bersyukur karena dipinang oleh keluarga kaya. Tidak semudah itu.
“Duh Mbak, sampean untung diambil mantu sama orang kaya,” selintas kalimat menyakitkan dari pelayan toko emas terngiang di telingaku. Waktu itu ia pergi bersama ibu calon mertuanya, membeli cincin. Tapi sesampainya di sana bukan keindahan yang biasa ditunjukkan calon pengantin yang tengah asyik belanja bersama calon mertua. Si ibu terlalu menjatuhkannya di hadapan pelayan toko emas itu sehingga turut berkomentar demikian. Ah, mendengar ceritanya membuatku geram. Apa hal SPG toko itu ikut-ikut? Hidupmu itu loh belum tentu lebih baik dari hidup sahabatku ini! Omongan netizen memang lebih menusuk dari yang aku kira sebelumnya.
Si pria memang baik dan menunjukkan bahwa dirinya benar-benar tertarik dengan sahabatku. Sering berkunjung ke rumah, mengajaknya jalan-jalan, bercengkrama dengan ibunya seolah-olah dia sudah menjadi suami sahabatku. Aku tidak bisa memberi solusi lebih jauh, aku hanya bisa menjadi pendengar keluh kesah setiap cerita yang mengalir dari bibirnya. Sampai dua bulan pasca lamaran resmi setelah ta’aruf, mereka menikah secara siri. Alasannya biar bisa ke mana-mana tanpa ada rasa khawatir karena belum halal sembari menunggu waktu yang pas untuk mengadakan akad resmi sekaligus resepsi.
“Pernah denger witing tresno jalaran saka kulino, kan? Aku meskipun belum cinta, tapi karena aku sudah berusaha untuk membuka hati dan terbiasa sama dia, lama-lama aku jadi mulai mikirin dia.” Aku ingat betul kalimat ini terucap ketika ia sudah berani memposting foto kencan mereka berdua di medsos pasca menikah siri.
Alhamdulillah, berarti dia sudah ikhlas. Dia sudah bisa menerima semua kenyataan meski banyak yang harus ia korbankan. Perasaan yang tak menentu ditambah kondisi keluarga pria yang kontra dengannya. Satu hal yang bisa menguatkannya adalah bahwa pria ini menjanjikan untuk tinggal di rumah sendiri jauh dari keluarganya dan siap membiayai kuliahnya. Ah, karena mimpi itu sahabat karibku ini mau bertahan sampai sejauh ini.
Tidak Siap Menikah
Satu bulan berlalu dan lama tak kudengar kisah pilunya. Sampai suatu hari dia mengirim SMS kalau sudah dalam perjalanan menuju kotaku. Aku terkejut bukan main. Untuk apa dia jauh-jauh datang ke rumah kalau terakhir kali ia memberi kabar tengah sibuk mengurus pernikahan resminya ke KUA dan pernak-pernik resepsi?
Aku mencoba menghubunginya kembali namun ponselnya tidak aktif. Sampai sekitar pukul 20.00 WIB, dia menelepon namun lagi-lagi aku melewatkannya. Dan aku melihatnya turun dari becak tepat di halaman rumah. Aku bukan orang romantis yang akan menyambut seseorang dengan pelukan atau teriakan histeris. Kusambut dia dengan sedikit omelan karena tidak memberi kabar jauh-jauh hari dan tidak mengangkat telepon. Ia hanya tertawa dan mengikutiku masuk sampai kamar.
Kira-kira hampir tengah malam itulah kisahnya mengalir secara gamblang di hadapanku langsung. Biasanya ia akan bercerita lewat telepon atau chat, tapi sekarang nyata sekali wajah sendu yang sudah menahan kepedihan terlalu lama.
Di selang persiapan pernikahannya itu, hal-hal aneh mulai terjadi pada suaminya. Mereka memang belum tinggal satu rumah atau menempati rumah baru. Masih tinggal di rumah masing-masing, hanya saja si suami setelah pulang kerja sering istirahat di rumah sahabatku sebelum balik pulang ke rumahnya. Nah, saat-saat itulah terjadi kejanggalan. Ia lebih sering menyembunyikan ponselnya ketika sahabatku tidak sengaja melihat ke arah ponselnya atau marah besar ketika sahabatku sengaja mengecek ponselnya. Padahal sebelumnya hal seperti ini tidak jadi masalah. Tidak ada yang harus ditutup-tutupi, bukan? Mulai dari situ sahabatku menaruh kecurigaan besar karena tidak terjadi sekali dua kali. Berkali-kali bahkan saat makan bersama pun terang-terangan berbalas pesan yang akhirnya diketahui dengan mantan kekasihnya.
Ketika makan siang entah yang ke berapa kalinya si suami tetap seperti itu, sahabatku memberanikan diri mengembalikan cincin yang sempat melingkar di jari manisnya pada suami. Kali itu suami masih bisa membuatnya kembali memakainya. Selanjutnya, sahabatku jengkel dan mulai melepas cincinnya untuk yang kedua kali. Sang suami terkejut dan melapor pada ibu sahabatku. Hari itu bagai sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sahabatku dirundung pilu. Ibunya marah besar dan sama sekali tidak mau mendengar penjelasannya. Bahkan ia tidak diberi kesempatan. Semuanya diputar balikkan sehingga seolah-olah dirinya yang daridulu tidak pernah ikhlas dan berusaha membatalkan pernikahan yang sudah siap 95%!
Ia kembali menangis. Hatinya terlampau sedih. Kini tak satupun keluarga yang membelanya karena terlalu percaya pada suami beserta keluarganya. Ia sebatang kara saat itu dan tidak tahu harus mendapat kekuatan dari siapa lagi. Tidak cukup hanya aku yang hanya bisa menjadi pendengar setianya, ia butuh dorongan dari lingkungannya.
Mendapat Jodoh Lebih Baik
Sampai tiba hari itu, hari di mana ia sampai di kotaku. Paginya ia sudah berbesar hati untuk berdamai dengan suaminya dan melanjutkan serba-serbi pernikahan yang persiapannya sudah hampir rampung. Cincin emas itu kembali melingkar di jarinya, dan dengan penuh kesabaran ia melangkahkan kaki menuju KUA. Ia berangkat terpisah karena masih harus meminta izin dari lembaga tempatnya bekerja. Sesampainya di sana suaminya sudah menunggu di depan petugas yang berwenang. Mereka berdua hendak mendaftarkan pernikahan resmi mereka.
“Kenapa aku masih mau melanjutkan? Karena aku merasa sayang dengan semua usaha untuk pernikahan ini. 95%! Bahkan aku sampai menjatuhkan harga diri mengusahakan ini semua biar terjadi meskipun aku yang tersakiti. Aku nggak mau ibuku sedih, aku nggak mau ibuku marah.”
Secara gamblang di depan petugas tiba-tiba calon suami sahabatku mengatakan sesuatu, “Maaf aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.” Bagai disambar petir. Semua yang hadir tercengang. Ibu sahabatku lebih terkejut bahkan mulai menampakkan wajah sedihnya. Amarah sahabatku sudah sampai di ubun-ubun. Ia tidak bisa menahannya lagi.
“Dulu kamu yang melamar aku tiba-tiba. Sekarang kamu batalin pernikahan kita. Apa kamu pikir aku nggak punya perasaan? Kamu pikir ikhlas itu gampang? Kamu pikir nikah sama kamu itu hal remeh kayak kamu beliin aku permen, gitu? Hei Mas, menikah nggak sebercanda itu! Kalau kamu emang nggak siap nikahin aku, jangan pakai muka alim kamu buat ngelabuhi semua keluargaku kalau kamu itu baik! Pakai acara putar balik fakta kalau aku yang salah! Bilang kalau udah bosen! Bilang kalau nyesel dan mau balikan lagi sama mantan! Bangsat!”
Setelah meluapkan amarahnya ia berakhir di sini, bersamaku dengan segala usaha terakhirnya untuk pergi dari dunianya yang memuakkan. Ponselnya mati, sengaja dibiarkan agar orang rumah tidak bisa menghubunginya.
Semua tahu setelah badai datang, pelangi pasti akan muncul. Keesokan harinya sahabatku pulang kembali ke rumahnya ditemani seseorang yang sudah lama menjadi teman akrabnya. Bahkan teman yang sudah terang-terangan menyatakan perasaan, hanya saja harus kandas ketika mendengar kabar sahabatku ini menikah. Ia tidak mungkin memaksakan diri melamar sahabatku di atas pinangan orang lain.
Dan mulai dari situlah penantian teman sahabatku itu membuahkan hasil. Ia yang selalu berharap Tuhan menakdirkannya bersanding dengan sahabatku akhirnya kini tak lagi impian belaka. Setengah tahun pasca insiden itu, ia melamar sahabatku. Sahabatku akhirnya mendapatkan seseorang yang begitu tulus dengannya. Dan tak hanya dia, namun juga seluruh keluarganya ikut menyayanginya.
Kemarin, ia mengirim foto bersama keluarga calon suami plesir di salah satu tempat pariwisata usai acara lamaran. Alhamdulillah... aku percaya, sesuatu yang melewatkanmu tidak akan menjadi takdirmu. Begitu pula sesuatu yang menjadi takdirmu tidak akan melewatkanmu. Apapun itu.
#GrowFearless with FIMELA