Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Lidia Ita Febriani - Magelang
Pernah suatu saat aku berpikir, berpikir bagaimana jodohku kelak, bagaimana jika saja aku tidaklah istri yang baik untuk suamiku. Saat itu aku masih berumur 19 tahun. Saat di mana pada usiaku timbul kecemasan dan ketertarikan akan lawan jenis. Aku duduk di bangku sebuah universitas agama di Jawa Tengah, baru saja mulai berlari jauh mininggikan layang layang mentari.
Hampir setiap malam aku menulis disertai doa-doa yang aku panjatkan di sepertiga malam. Lihat saja diariku penuh dengan kata-kata harapan yang mungkin saja sedikit terhapus oleh air mata yang tak sengaja terjatuh. Jodoh. Ya, hampir semua tulisan mengacu oada satu kata itu. Ayahku adalah seseorang yang kolot akan jodoh, aku tidak akan dinikahkan pada seusiaku ini. Beliau mengharuskan aku kuliah tak peduli apapun.
Namun, beda dengan malam itu. Tak seperti biasa malam ini ada yang mengetuk pintu. Ya, aku sedang liburan dan sedang berada di rumah. Ibuku berjalan dan memutar knop pintu. Beliau tak sadar akan apa yang akan terjadi berikutnya. Ayahku menghampiri meraka kemudian tidak lama setelah itu beliau kembali lagi sembari membawa sejumlah bingkisan yang aku sendiri tak tahu apa maksudnya. Mereka mengobrol lama layaknya teman yang sudah terpaut 5 tahun tak bersua. Saking asyiknya mereka hampir lupa apa maksud dan tujuan mereka kemari. Ayahku terkejut bukan main, beliau menutup mlutnya dengan tangannya dan memastikan apakah dia tidak salah dengar. Tidak, beliau tidak mimpi, ini kenyataan. Langsung saja beliau berkata bahwa anak perempuan semata wayangnya belum lama masuk kuliah dan tidak terburu-uru untuk lulus. Mana mungkin beliau akan melepaskannya begitu saja.
Mendengar namaku disebut, aku penasaran, tak pernah ada tamu ayahku yang menyebut namaku dengan selancang itu, paling tidak hanya mnyebut nama ayahnya. Tiba-iba ibuku dipanggil untuk menemui tamu, aku tambah bingung. Mereka meobrol hingga kurang lebih 3 jam. Memang tak tahu waktu mereka, bahkan lupa jika ada seorang perempuanyang ingin merebahkan tubuhnya dikasur namun terganggu sendau mereka.
Dijodohkan
Tiga bulan kemudian aku naik semester, tak ada lagi kata “maba” di belakang namaku dalam kontak mereka. Aku naik tanpa ada pengulangan. Sekarang aku di halte tempat aku biasanya menunggu sopir, iya sopir bus. Namun beda dengan hari ini saat tiba tiba ada mobil yang mengklakson. Bolehkah aku mengintip? Oke, dia tampan dan ah... dia kakak tingkatku yang hampir saja wisuda 1 bulan kemudian. Dia menyapa dan menawariku tumpangan. Apakah kau yakin? Kau bukan salah orang? Kau tidak akan membuangku bukan? Ya, ternyata dia serius, bahkan untuk sampai depan rumah. Dan ya seperti yang kalian pikirkan tidak ada obrolan dalam mobil tadi.
Ayahku menyapanya! Bahkan dia mengecup punggung tangan ayahku! Apakah kami masih bersaudara? Ah biarlah, mungkin aku tak mengingatnya. Aku berbenah diri, mandi, ganti baju, dan mencari cemilan. Sungguh aku tak tahu sudah berapa drama yang aku tumpuk dalam laptopku. Tunggu dulu. Dia belum pulang? Dan sebegitu akrabnya dia dengan ayahku? Oh tidak, aku hampir mual memikirkan dia saudaraku dari saudara yang mana? Ayah memanggilku, dan oh tidak aku tidak akan berpakaian seperti ini. Mungin aku akan mempersilakan dia pamit.
Mungkin sudah kesebelas kalinya aku berdiri dengan sendirinya pada pertengahan malam ini, ya aku tidur selepas itu. Banyak sudah Tuhan memperjelas keputusan yang kelak akan aku ambil. Mimpi, ya, itu sudah lebih dari tiga kurasa. Kata orang, ya, sudah lama aku dengar. Itu semua petunjuk! Kumohon jangan membuat semua ini terlihat jelas. Ya, sudah aku putuskan bahwa ya, aku akan melakukannya. Tapi tidak semudah itu, aku sudah mempersiapkan beberapa syarat untuk itu.
Ya, seperti yang kalian pikirkan, benar, aku telah dilamar tepat sebelum kakak tingkatku tersenyum mengucapakan salam. Dia kakak tingkatku yang juga pada hari itu menyalami tangan ayahku. Tidak lama setelah itu kami telah resmi tertulis dalam catatan sah di atas sana. Dia sudah bisa menyentuhku dan dia mengecup puncak kepalaku. Kami telah sah! Dia tersenyum, aku? Ya, bisa kau lihat wajahku masih ada sedikit keraguan di sana. Pernikahan kami sangatlah sederhana hanya keluarga besar dari keluarganya dan beberapa teman dekat.
Dengan usiaku yang masih 20 tahun aku masih merasa bocah yang seenakku sendiri ingin bertindak macam apa, tidak ingin diatur-atur, dan aku tidak meminta kalian untuk memakluminya. Pada saat itu aku pulang kuliah agak sore dikarenakan dosen yang sama sekali tidak tahu apa kesibukan lain dari kita. Tidak seperti biasa, suamiku tidak menjemput karena masih saja ada kendala yang tak bosan sehari saja.
Kehidupan Pernikahan
Niatku dari awal mampir sebentar untuk sekadar minum kopi dengan teman. Tapi tak terasa matahari lama kelamaan mulai pulang ke pelukan. Aku harus segera pulang karena kalian tahu bukan lagi ini sore atau waktu menikmati senja, tapi ini malam! Kurang lebih setengah sembilan. Ya, tadi aku mampir ke kosan teman, tidak hanya mampir bahkan sudah terlelap 2 jam di dalam sana.
Aku mengira akan baik-baik saja apalagi jika suamiku belum pulang. Tetapi tidak ternyata, suamiku menunggu di ruang tengah dengan tangan dan kaki dilipat. Mungkin aku tidak dapat menghitung berapa kecepatan jantungku memompa darah jika aku memang berniat menghitungnya. Hampir saja aku mati berdiri melihat tatapannya. Aku yakin sudah banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya, tapi dia mengizinkan aku berbenah dahulu.
Malam, di mana hanya ada kecanggungan diatas ranjang ini. Saat aku mulai bertanya, dia memunggungiku. Kemudian aku mulai menjelaskan benar-benar dari awal, dia sudah mendengkur. Ah ya sudah mungkin besok pagi. Pagi harinya dia meninggalkan aku tanpa sepatah kata. Aku berangkat dan pulang sendiri tidak sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan kau tahu, ini sudah hampir dua minggu. Aku bersyukur dia tidak meninggalkan rumah.
Hari ini aku akan benar-benar memperjelas bagaimana akhir dari pernikahan kami. Karena jujur aku sudah tidak tahan lagi dikesampingkan seperti ini. Aku meminta maaf berulang kali, memeluk dia, menangis di depannya, bahkan hampir saja aku bersujud di kakinya jikalau dia tidak menahanku. Aku benar-benar tak mengerti bahkan sampai saat ini dia tidak mengucapakan satu katapun, benar-benar aku tidak lagi dianggap seperti manusia di matanya.
Saat aku hendak melontarkan kata yang bahkan dibenci oleh Tuhan, dia menangkupmu, dia membungkam mulutku dengan jari telunjuknya. Dia tidak ingin aku mengatakan itu. Dan mulai detik itu dia mengatakan segala yang terpendam bahkan yang sudah dalam terpendam hingga tidak ada orang pun berhak tahu.
Dia mengatakan betapa buruk diriku di matanya dan betapa tak pantasnya dia menjadi suami bagiku. Dia menunjukkan sisi lain dari dia yang selama ini aku lihat. Dia marah, kesal bahkan hampir saja dia memukul pelipisnya sendiri. Dia seputus asa itu jika aku berani mengatakan hal tadi. Aku tak kuasa, segera aku memeluknya dan menenggelamkannya dalam kisah-kisah bahagia selama kita bersama.
Kembali aku memutar cerita saat di mana dia mengantarku pulang untuk pertama kalinya, aku bercerita betapa canggung saat itu, aku bercerita saat di mana dia pertama kali menyentuh tanganku hingga tak tahu lagi betapa banyak dia telah mencuri segala hal yang berbau pertama kali dariku. Dia tersenyum hingga air matanya tak lagi hangat. Dia tertawa hingga ia menyembunyikan wajahnya karena tak tahu lagi apa yang akan aku katakan yang membuat dia berubah menjadi sosok pemalu. Kami berpelukan, lama sekali, bahkan kami tak ingat besoknya kami masih punya jadwal masing masing. Dan yang terjadi berikutnya dia memelukku posesif hingga pagi menjelang.
Menjaga Komitmen
Pagi ini sama sekali tak kubayangkan akan menjadi pagi yang sangat istimewa, bagaimana tidak? Berdua kami sepakat untuk memulai cerita baru dan menjadi pribadi yang lebih baik. Tak mungkin kami menyia-nyiakan momen bahagia ini. Kami melupakan urusan sebentar untuk pergi jalan-jalan. Kami bersendau gurau menulis cerita baru dalam memori jangka lama dalam pikiran masing masing.
Enam bulan setelah itu telah resmi aku menjadi sarjana. Aku lulus dengan nilai yang belum sempurna tapi aku yakin orang yang aku sayang akan berbahagia. Suamiku datang membawakan seikat bunga dan senyuman yang aku simpan dalam buku catatan selama aku kuliah. Kurasa itu yang membuatku sampai tahap ini. Orang tua dan mertuaku datang, teman teman bersorak tak terima karena hanya aku yang mambawa undangan paling banyak. Ya, hanya aku yang nekat tetap kuliah meski sudah menikah. Acara wisuda ini ditutup dengan acara selamatan dalam istilahJjawa berbarengan dengan selamatan usia kandunganku yang sudah berumur 4 bulan. Tak akan aku lupakan momen bahagia ini.
Lima bulan kemudian dua keluarga kembali berkumpul dengan senyum sumringah. Tapi kali ini bukan lagi di rumah ataupu kafe atau kampus seperti saat itu, mereka sedang menunggu di kursi yang tak lagi muat untuk mereka semua. Kami di rumah sakit. 5 menit 10 menit 15 menit 30 menit kemudian mereka bernapas lega begitu juga dengan aku yang bahkan tak tahu berapa liter air mata dan keringat yang telah diusap oleh suamiku.
Tangisan itu, tangisan yang aku tunggu. Dia telah lahir ke dunia, mulia merasakan batapa panas oksigen di bumi. Dia anakku, anak aku dan suamiku betapa lengkap keluarga kecil ini. Tak ada rasa senang yang melebihi suamiku. Dia telah menunggu ini selama hampir tiga tahun. Jika waktu itu aku tidak membuat syarat itu mungkin anak kami sudah berumur dua tahun.
Syarat nikah aku waktu itu sangat membingungkan suamiku di mana mungkin saja dia akan melanggar semuanya. Tetapi tidak ada hukuman ataupun tanggung jawab jika melanggarnya. Syarat aku menikah antara lain aku mau menikah tetapi aku masih mau kuliah, aku tidak mau dibatasi berteman dengan teman-temanku kecuali laki-laki, suamiku boleh menyentuhku, tapi hanya boleh menyetubuhiku saat aku sudah hampir skripsi, aku tak apa jika dia melanggar syarat yang ini tapi aku tak mau hamil sebelum aku semester 7. Dia wajib menjaga dan menemaniku selama aku hamil, dan satu lagi dia harus rela tangannya aku genggam saat aku kesulitan, saat aku jatuh, dan saat aku melahirkan. Cukup mudah bukan? Ya, dan dia telah melaluinya. Bagaimana bisa ayahku mengizinkan anaknya menikah jikalau dia ayah yang kolot akan pernikahan? Tanya saja sendiri pada ayahku, aku saja bingung kenapa beliau dengan mudahnya menggandengkan tanganku pada jari-jarinya.
Hidup itu mudah jika kita kuat untuk mencobanya.
Jodoh, rezeki, dan kematian masih saja menjadi misteri dan biarkan saja begit.
Nikah muda bukan lagi menjadi hal yang tabu, tapi tetaplah ambil tanggung jawab yang amat besar untuk kedua keluarga, bahkan tiga nantinya.
Setiap masalah bukanlah hal yang besar jika kita mulai terbuka sejak awal.
Magelang 2019
#GrowFearless with FIMELA