Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta
Aceh diberi otonomi khusus dalam menjalankan syariat dan pedoman yang tertulis dalam ajaran Islam. Aturan itu ada dalam UU no 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal itu termasuk menjadikannya sebuah undang-undang daerah yang sah atau disebut dengan qanun.
Baru-baru ini, ramai dibicarakan mengenai qanun yang mengatur poligami. Wacana ini muncul dari Pemprov dan DPRD Aceh. Qanun poligami dianggap sebagai salah satu solusi mengurangi praktik nikah siri dan melegalkan pernikahan lebih dari satu istri. Nikah siri terjadi mulai marak terjadi pasca tragedi tsunami dan konflik yang terjadi di Aceh. Kondisi tersebut memaksa mereka menikah tanpa adanya hukum yang sah dan sulitnya menggunakan jalur legal lewat institusi negara.
Laila Juari selaku Sekretaris Eksekutif Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh menilai kondisi ini harus segera diperbaiki. Caranya dengan memproses nikah siri menjadi pernikahan yang sah secara hukum. Dilansir dari Indonesiainside.id, tercatat dari pasca tsunami hingga sekarang, ada 19.000 pasangan dengan status nikah siri.
Menurut Musannif, Wakil Ketua Komisi VII DPRD Aceh, Pemprov dan DPRD Aceh juga berupaya menurunkan angka perceraian akibat pernikahan siri.
"Islam membolehkan pria beristri lebih dari satu. Tapi selama ini masalah keadilan tidak pernah dibahas. Kami bukannya mau memberi cek kosong ke 'pria hidung belang', tapi justru agar mereka benar-benar adil, sehat lahir-batin, dan mampu secara ekonomi," ujarnya , dilansir dari BBC.
Namun selama perumusan qanun poligami, belum ada kajian mendalam yang menjadi landasan diperlukannya qanun tersebut. Demografi penduduk yang melakukan nikah siri pun tidak ada.
Mendapat Kritik Keras
Saat ini qanun poligami belum diproses lebih jauh bersama pemerintah pusat, khususnya Kementrian Agama. Proses ini diperlukan karena sesuai dengan kedudukannya, peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan UUD, UU, dan Peraturan Pemerintah.
Ketika qanun ini diwacanakan dan dalam proses legalisasi, beberapa pihak bersuara untuk menentang. Sebut saja Darwati, istri gubernur Aceh nonaktif dan Soraya Kamaruzzaman seorang aktivis HAM dan ketua Balai Syura Ureung Inong Aceh. Bahkan Soraya menegaskan jumlah perempuan di Aceh lebih sedikit dibanding laki-laki, sehingga qanun tersebut tidak relevan dengan demografi masyarakat Aceh.
"Secara jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan, lalu apa yang mau diatur oleh pemerintah? Seharusnya pemerintah konsen terhadap kebijakan lain," terang Soraya Kamaruzzaman, kembali dilansir dari BBC.
Sejauh ini qanun sudah dalam tahap proleg atau Program Legislasi. Padahal untuk masuk program legislasi (pengesahan), diperlukan landasan yang kuat agar bisa diimplementasikan dengan baik. Bahkan tolak ukur keberhasilan mengurangi angka nikah siri pun tidak ada. Apakah dengan memperbolehkan poligami, jumlah nikah siri bisa berkurang. Selanjutnya dampak yang dihasilkan jika makin banyak keluarga yang terdiri lebih dari 1 pasangan. Bagaimana mengukur kesiapan pria yang berpoligami siap untuk menjalankan kewajibannya, baik secara material, finansial dan tanggungjawab moral.
Tentu perlu disoroti banyak permasalahan lain yang penting untuk dibahas selain qanun poligami sehingga Pemprov dan DPRD Aceh juga harus melihat fokus lain dalam perumusan kebijakan. Seperti yang dikatakan Laila, harusnya fokus Pemprov dan DPRD Aceh pada proses adminsitrasi pernikahan. Bukan dengan membiarkan poligami.
#GrowFearless with Fimela