MA Tetap Vonis Baiq Nuril: Keadilan Bagi Korban Pelecehan Seksual Masih Jauh dari Harapan

Fimela Editor diperbarui 15 Jul 2019, 15:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Penulis: Gabriel Widiasta

Masih teringat jelas bagaimana MA menolak Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril dan menjatuhinya hukuman penjara 6 bulan dengan denda 500 juta subsider 3 bulan. Hal itu benar-benar bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 yang menjelaskan tentang kesetaraan gender dan prinsip-prinsip non-diskriminasi dalam mengadili kasus perempuan di pengadilan.

Dikutip dari The Conversation Indonesia, MA mengingkari apa yang sudah ditetapkan sendiri. Mirisnya MA pada tahun 2018 mengingatkan para hakim di Asia Tenggara agar ìmemastikan penghapusan stereotip gender dalam memberikan keadilanî. Dosen Hukum Acara Pidana FH UI, Choky R. Ramadhan dan Dosen PTIK, Ninik Rahayu menilai jikalau MA sebagai Lembaga Yudakatif tertinggi yang menangai pengadilan sipil tidak mampu melihat konteks kasus Baiq Nuril secara baik. Bahkan beberapa Hakim MA tidak mengetahui tentang pedoman baru yang disahkan MA tahun 2017 ini.

Hakim tidak peka dan sensitif bagaimana perempuan yang berhadapan dengan hukum memiliki kebutuhan tersendiri. Lalu untuk masalah pembuktian pencemaran nama baik. Sedikit kabur antara membuktikan atasannya bersalah dengan mencemarkan nama baiknya. Tuntutan mencemarkan nama baik menutupi fakta bahwa atasannya melakukan pelecehan seksual melalui telepon.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Dampak bagi Perempuan yang Mengalami Kekerasan Seksual di Masa Depan

Terpidana kasus pelanggaran ITE Baiq Nuril Maknun (kanan) memberi keterangan saat tiba di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (8/7/2019). Guru honorer itu divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta atas perekaman pelecehan seksual yang dialaminya. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Upaya yang dilakukan oleh Nuril untuk mengungkap dirinya adalah korban pelecehan seksual tidak mendapat respon positif. Sebaliknya, aparat penegak hukum menganggap dirinya adalah penyebar konten asusila. Tentu keadilan bagi perempuan akan menjadi hal yang sulit dicapai. Hal ini menambah catatan buruk pengadilan di Indonesia yang bisa memahami kebutuhan perempuan sebagai korban dan berhadapan dengan hukum.

Anggapan bahwa perempuan harus bisa menjaga moral, perilaku, dan hal-hal pribadi menciptakan diskriminasi. Sehingga saat perempuan mengungkapkan pengalaman pelecehan seksualnya, hal itu tak lantas dapat langsung diterima di masyarakat. Sebagian masyarakat kita juga masih menerapkan standar ganda ketika bicara soal perempuan. Perempuan harus jaga moral, perilaku, dan lain-lain.

Vinita Susanti selaku Dosen Kriminologi FISIP UI mengatakan bahwa korban pelecehan jarang berani melaporkan pelakunya apalagi kalau pelakunya adalah atasannya. Berbagai konsekuensi akan dihadapi bila melapor.Butuh keberanian dan kesiapan diri yang kuat bagi perempuan untuk mengungkapkan apa yang dialaminya. Baiq Nuril yang menjadi korban pelecehan dari atasannya lalu dengan keberaniannya melaporkan, patut mendapat perhatian khusus.

Seharusnya perempuan didengar dan tidak diabaikan dalam proses pengaduan, menceritakan hal yang mereka alami, dan menempuh jalur hukum untuk mendapat keadilan. Namun sayangnya hal itu belum dilaksanakan dalam sistem hukum di Indonesia. Sehingga sedikit sekali perempuan yang berani mengungkap karena kepercayaan perempuan terhadap institusi penegak hukum akan berkurang.

Akibatnya Nuril dianggap bersalah dan bukan korban hal ini cenderung berdampak korban-korban pelecehan seksual lainnya tidak akan melaporkan kasusnya. Jika perempuan hanya bisa diam dan menerima perlakuan semacam ini, pelecehan seksual akan tumbuh berkembang di masyarakat.

#GrowFearless with FIMELA