Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada yang istimewa dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Frieda Irnanda - Surabaya
Menikah sudah terpikir dari aku SMA. Berpikir pesta pernikahan digelar mewah, mengundang semua keluarga, teman bahkan seluruh mantan. Menikah di usia 26 tahun, dengan gelar magister agar di kartu undangan pernikahan terlihat kece dan wah. Impian pernikahan sempurna untuk anak SMA yang belum tahu bahwa keadaan bisa berubah. Ketika SMA, keadaan perekonomian keluarga terbilang orang "berpunya". Jadi, pemikiran sederhana saya adalah impian pernikahan itu bisa terwujud nantinya.
Namun saat usia 20 tahun, semua berubah ketika papa harus berpulang ke Sang Pencipta, dan beliau tulang punggung keluarga. Maka kami (mama, adik, saya) hidup dari uang pensiunan dan hasil kebun kami, ditambah bantuan dari meme (ibu dari papa). Otomatis impianku tentang pernikahan berubah total. Bahkan tidak berpikir menikah, tapi punya pacar. Sampai akhirnya selepas kuliah aku bekerja di perusahaan speaker dan bertemu seorang lelaki yang berani mengajak menikah padahal kami baru 8 bulan kenal (saat aku sudah putus dengan si pacar) yang saat itu usiaku masih 24 tahun.
Lelaki itu dari keluarga sederhana, prinsip hidup keluarganya hidup sehemat mungkin untuk membeli sesuatu dan itu bertolak belakang dengan keluargaku yang berprinsip menambah penghasilan untuk mendapatkan sesuatu. Karena lelaki itu sangat simpel dan sederhana, dia menginginkan pernikahan yang sederhana, tanpa ada pre-wedding (sekarang sedikit menyesal karena nggak punya foto sebelum nikah), undangan, kuade, resepsi, ataupun prosesi ngunduh mantu (tradisi Jawa).
Pemikirannya, pernikahan adalah setelah mengucapkan ijab kabul, bahwa pernikahan bukan hanya keribetan menyiapkan hari-H, namun pernikahan adalah babak baru perjalanan panjang dua jiwa manusia menjadi satu bagian beriringan. Lelaki itu juga tidak ingin bantuan dari orangtuanya. Dan aku pun setuju. Toh, apa yang bisa aku andalkan, jika aku menabung untuk pesta pernikahan impianku sewaktu SMA, Rp50 juta itu tidak cukup, dan tentu aku harus menunda waktu hanya untuk mengumpulkan uang pesta pernikahan. Sedangkan keadaan keluarga tidak seperti dulu, aku sudah tidak memiliki papa, adikku masih perlu biaya kuliah. Daripada uang hanya habis untuk pesta pernikahan, bukankah lebih baik aku memberikan uang tersebut untuk biaya adikku?
What's On Fimela
powered by
Modal Rp15 Juta
Akhirnya kami menyiapkan pernikahan yang sangat sederhana. Kami iuran untuk biaya nikah, hanya bermodalkan Rp15 juta. Saat itu kami hanya staf biasa, dengan gaji hanya sedikit di atas UMK (setelah nikah baru naik jabatan). Kami mengucap bismilah mempersiapkan pernikahan.
Dengan rincian, uang untuk penghulu (gratis sebenarnya, karena pernikahan dilakukan di rumah dan hari sabtu maka biaya Rp900 ribu untuk bapak penghulu), membuat baju nikah Rp1,5 juta dengan desain sendiri (bangga saja bisa mendesain baju nikah sendiri), uang untuk fotografer Rp600 ribu, katering hanya untuk 100 orang terdiri dari kelaurgaku dan keluarga lelaki ku (lupa berapa biayanya), biaya rias pengantin (ini diskon karena MUA-nya adalah teman kos waktu kuliah, anak Jurusan Tata Rias) sebesar Rp500 ibu, uang selamatan Rp3 juta (selamatan sebelum acara pernikahan), souvenir 1,5 juta, dan apalagi ya? Saya lupa. Kami ingin pernikahan di dalam rumah, kami ingin obrolan hangat setelah ijab kabul berlangsung.
Ketika keluargaku tahu rencana kami sesederhana itu, mereka sangat marah. Terutama seluruh kakak papaku, ibu papaku, dan mama yang merasa sangat gengsi karena merasa keluargaku punya nama di masyarakat. Mereka menentang semua rencana kami. Mereka menginginkan pernikahan menurut adat, harus ada kembar mayang, saat ijab kabul harus memakai jarik, harus ada kuade, harus ada ceplok telor di kaki suami, yang jelas seluruh prosesi pernikahan adat Jawa harus ada. Bahkan terucap kata kasar dari keluargaku bahwa kami adalah anak muda yang tidak dewasa yang hanya mempermainkan pernikahan, membuat dagelan dengan pernikahan, kami hanya anak kemarin sore yang hanya menggebu dengan menikah. Seketika air mataku berlinang, karena aku hanya tidak ingin merepotkan mereka semua.
Namun kami tak gentar oleh ucapan keluargaku, kami tetap mengurus pernikahan kami sendiri, berusaha semampu ya, karena kami hanya berpikir bahwa yang lebih kami siapkan adalah mental. Mental menjadi kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Mental menapaki masalah yang datang tanpa kami duga. Kami saling menguatkan. Sampai akhirnya, tepat 50 hari sebelum pernikahan kami, meme (ibu dari papa) meninggal. Membuatku hancur karena mulai SMP aku tinggal bersamanya, tidak dengan orangtua. Barulah ketika bekerja, aku jauh darinya karena rumahku berada Tulungagung dan bekerja di Surabaya.
Mensyukuri Semua
Seketika itu aku mengundurkan pernikahan bahkan membatalkan, pikiranku terguncang hebat. Kesedihanku menutupi logika dan pikiran jernihku. Namun keluargaku berkata masa berkabung tidak perlu berlarut-larut, pernikahan harus tetap dilakukan.
Waktu pernikahan tiba, satu hari sebelum menikah baru aku mengambil cuti. Pulang ke Tulungagung, dan saat berada di depan gang rumah sudah ada janur kuning melengkung, apakah benar aku akan menikah? Dan saat akan tiba di rumah, terlihat di halaman depan rumah ada tenda ukuran 8 x 20 meter, berwarna merah dan putih, kursi-kursi sudah tertata dan berselimut kain putih, paving halaman tertutup karpet merah, terlihat kuade model klasik dengan hiasan tanaman hidup. Kaget. Karena aku merasa tidak mempersiapkannya, dan mama juga tidak bilang kalau pesan. Ternyata itu adalah hadiah dari almarhum nenek ku yang dititipkan ke budeku (kakak papa). Masuk ke dalam rumah, banyak orang dengan tugas masing masing.
Saat itu mama bilang kalau banyak sumbangan mulai dari mbah kakung (ayah dari mama) uang sebesar Rp5 juta dan daging sapi 5 kg, dari tetangga 11 kardus minuman gelas, dan masih banyak lagi sumbangan dari saudara dan tetangga mulai bahan pokok, sampai kue-kue yang disuguhkan.
Tepat hari Sabtu tanggal 23 Januari 2016 pukul 10 pagi, lelaki yang meminangku mengucapkan ijab kabul dengan lantang dan saat semua saksi mengucapkan sah, saat itulah kami resmi menikah. Dan sekarang kami mengarungi rumah tangga dengan penuh suka duka, penuh ambisi, penuh harapan, saling menguatkan dan kami pasangan mandiri tanpa tergantung orang lain karena kami percaya niat baik dengan usaha yang baik maka Allah SWT akan memudahkannya.
Sekian cerita pernikahanku.
Frieda Irnanda
Surabaya, 10 Juli 2019
#GrowFearless with FIMELA