Fimela.com, Jakarta Lampu teater mulai redup perlahan. Seketika ruang Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta pada Rabu (3/7/2019) sore itu gelap gulita. Dengan iringan musik latar, sejumlah tokoh masuk dengan langkah lambat, sesaat usai Bissu berpakaian tradisional duduk di sisi kiri panggung, mengantarkan penonton untuk masuk ke dalam kisah I La Galigo.
Musik-teater yang kembali menyapa Jakarta untuk kedua kalinya ini berkisah tentang sebuah pembentukan Bumi Tengah, atas persetujuan Dewa Bumi Atas dan Bumi Bawah. Dalam naskah kuno Bugis 'Sureq Galigo,' Batara Guru kemudian turun ke Bumi Tengah setelah diperintah ayahnya, Dewa Bumi Atas. Sementara Dewa Bumi Bawah, Guru ri Selleq mengirim putrinya, We Nyiliq Timoq untuk ikut turun bersama Batara Guru.
Di Bumi Tengah, Betara Guru dan We Nyiliq Timoq menikah lalu melahirkan bayi kembar perempuan dan laki-laki. Mereka memberi nama masing-masing We Tenriabeng, yang ditakdirkan untuk menjadi pendeta perempuan dan Sawerigading yang ditakdirkan menjadi raja. Namun, keduanya dikisahkan sudah saling jatuh cinta sejak masih dalam kandungan.
Karenanya, para peramal mewanti-wanti untuk membesarkan anak kembar emas ini secara terpisah, agar tidak menikah dan saling jatuh cinta. Karena jika dibiarkan, perkawinan sedarah akan meruntuhkan kerajaan. Meski mereka hidup terpisah, Sawerigading pada akhirnya bertemu dengan saudara kembarnya yang cantik jelita dan jatuh cinta.
Kisah cinta kakak beradik yang diambil dari Sureq Galigo berhasil membius para penonton untuk masuk ke dalam petualangan cinta Sawerigading sedalam-dalamnya.
Antara Langit dan Bumi
Sawerigading jatuh cinta dengan senyum We Tenribaeng, yang kemudian menyuruhnya pergi ke negeri Cina untuk mencari seorang perempuan lain untuk dinikahi Sawerigading. Namun senyum We Tenribaeng terus terbayang.
Bagi sang sutradara, Robert Wilson, cinta abadi Sawerigading untuk saudari kembarnya bukan hanya sekadar romansa biasa. senyum We Tenribaeng baginya sama saja dengan senyum para pemain I La Galigo yang seluruhnya merupakan orang Indonesia.
"Mereka berasal dari Indonesia, dari Sulawesi, Jawa, Bali, Sumatra, Papua Barat. Ada lebih dari 50 orang dan masing-masing membawa keistimewaan mereka untuk proyek ini. Bakat dan tradisi masing-masing yang mengakar dalam diri mereka memperkaya pengalaman saya tentang Indonesia," cerita Robert.
Lebih jauh dia bercerita, I La Galigo bukan cuma teater klasik nan serius dan formal, tetapi merupakan sebuah satu kesatuan pertunjukan yang membius yang mengisahkan isi Sureq Galigo lewat gerak, tarian, warna, musik, bisikan.
"Mata dan tangan-tangan para pemain menjadi sebuah penerjemahan yang konkret dari sebuah misteri dan keutuhan," katanya.
Dalam pertunjukan ini, kata-katanya cuma sedikit. Kisah I La Galigo disampaikan lewat Bissu dalam bahasa Bugis Kuno. Bissu, kata Robert, merupakan orang yang menyimpan rahasia tradisi lisan Sureq Galigo yang juga menjadi perantara antara langit dan bumi.
#Growfearless with FIMELA