Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.
***
Oleh: N - Samarinda
Dua tahun berlalu, semenjak berpisah dengannya, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Tak pernah lagi saling bertegur sapa. Komunikasi kami terputus begitu saja seperti hubungan kami. Namun, aku beberapa kali masih mendengar kabarnya dari sahabatku. Dia sudah tak berada satu kota lagi denganku. Entah aku harus bahagia atau bersedih. Setidaknya, dia baik-baik saja itu sudah cukup membuatku bahagia. Walaupun kami tak berada di kota yang sama, aku masih tetap percaya bahwa langit senja yang kita lihat itu selalu akan sama.
Dan beberapa hari belakangan, aku semakin sering mendengar kabarnya di media sosial. Ternyata dia menjadi cukup terkenal di media sosial belakangan ini. Semenjak berpisah dengannya, aku memang sangat mengurangi penggunaan media sosial. Demi menghindari hatiku hancur kembali setelah beberapa bulan aku tata kembali dengan susah payah. Berpisah dengannya memang membuatku cukup terpuruk. Perlu waktu cukup lama untuk mampu melalui hari dengan sebuah senyum di bibir ku. Aku terjatuh, terseret, dan harus merangkak untuk dapat berdiri lagi seperti sekarang ini. Perjuangannya tidak mudah dan aku tak ingin hal sepele harus menghancurkan aku kembali.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa aku cukup penasaran dengan berita yang sedang ramai di media sosial itu. Sahabatku beberapa kali mencoba untuk menceritakannya kepadaku. Namun aku selalu mencoba menghentikannya. Hingga akhirnya aku membacanya sendiri. Dia memang menjadi terkenal hingga nasional. Cukup mengejutkan.
Dia menjadi terkenal karena apa?
Lagi-lagi aku terkejut. Dia terkenal karena penyakit yang sedang dia idap. Dia terkena kanker laring.
Dia bisu?
Aku semakin mencari banyak informasi tentang dia. Aku menemukan foto-fotonya yang sedang menjalani pengobatan. Aku benar-benar terkejut. Terakhir kali melihatnya sebelum kami berpisah, dia masih sehat bugar. Tidak sakit sedikit pun. Lalu mengapa jadi seperti ini? aku menjadi orang dengan puluhan pertanyaan di kepalaku. Bagaimana bisa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?
Melihat Kondisinya Langsung
Untuk menjawab semua pertanyaanku, akhirnya aku menghubungi keluarganya. Hubungan aku dan keluarganya memang masih sangat baik. Hanya saja kami sangat membatasinya agar tidak ada yang terluka.
Orang tuanya berceritanya banyak. Mulai dari awal hingga akhir. Dia mengidap penyakit kanker laring dikarenakan kebiasaannya dulu yang suka merokok. Berawal dari suaranya yag mulai serak, hingga akhirnya dia harus merelakan pita suaranya diangkat. Dia benar-benar bisu sekarang. Lehernya pun sekarang tak seperti kita pada umumnya. Lehernya bolong. Dia juga harus merelakan lehernya dilubangi agar dia tetap dapat bernapas.
Dia juga harus merelakan kehilangan kenikmatan merasakan makanan. Dia harus makan melalui selang yang dimasukkan ke hidungnya. Dia kehilangan banyak hal. Dan hal ini juga membuat hatiku tiba-tiba merasa remuk kembali. Mengapa dia harus menjadi seperti ini tepat setelah kami berpisah? Aku merasa gagal untuk membuatnya bahagia. Padahal aku rela melepasnya dengan harapan dia akan menjadi lebih bahagia lagi tanpa aku.
Setelah mengetahui kabarnya, aku masih belum pernah bertemu dengannya. Ya karena kami berada di kota yang berbeda. Dia harus berada di kota sana untuk menjalani pengobatannya yang sangat panjang. Namun, aku berharap dia pulang. Aku ingin sekali bertemu dengannya.
Mei 2015, dia kembali ke kotanya. Ke kota tempatku berada. Kota di mana aku dan dia pernah menjadi orang yang paling bahagia sekaligus menjadi orang yang paling terluka. Dia pulang. Dan aku bahagia.
Dia kembali ke sini lantas tak membuatnya terbebas dari pengobatannya. Dia hanya berpindah rumah sakit. Karena akhirnya dia harus kembali dirawat di rumah sakit setelah beberapa hari di rumah. Ya, dia menghabiskan banyak waktunya sekarang di rumah sakit.
Hari itu, aku memberanikan diri untuk menjenguknya. Aku ingin menemuinya. Aku ingin menjadi seseorang yang mampu menjadi penyemangat dalam hidupnya. Aku ingin dia bahagia seperti saat kami dulu bersama.
Hatiku berdebar saat akan menemuinya. Aku mencoba untuk tetap tenang dan tersenyum saat bertemu dengannya. Aku tak ingin membuatnya bersedih. Setelah dua tahun tak bertemu, aku ingin kita merasakan bagaimana bahagianya kami dapat bertemu kembali.
Namun, di luar dugaan. Saat melihatnya pertama kali setelah sekian lama tak bertemu, aku tak sanggup untuk tersenyum di hadapannya. Aku menangis. Semakin aku mencoba untuk tenang, aku justru semakin menangis. Aku tak sanggup menatapnya. Aku malu karena aku tak lebih kuat darinya. Jika kemarin aku hanya mendengar cerita tentang kondisi dia, maka hari itu aku melihatnya dengan mata dan kepala ku sendiri.
Tak Sempat Meminta Maaf
Aku melihat sosok yang dulu gemuk kini jadi kurus. Jauh lebih kurus dibanding aku. Di wajahnya ada selang yang menggantung. Selang itu masuk ke dalam hidungnya. Selang itulah yang dia pakai untuk menjadi perantara masuknya makanan ke dalam perut. Aku menyaksikan dia makan siang saat itu. Bubur yang diblender halus, lalu disuntikan ke dalam selang di hidungnya. Pada lehernya terpasang sebuah alat untuk dia bernapas. Jika alat itu dilepas, kita akan melihat bahwa lehernya memang benar berlubang. Tubuhnya juga penuh dengan jahitan. Jahitan itu tepat berada di sekitar jantungnya. Aku yang melihatnya tak mampu berkata apa-apa selain menangis. Selama ada di sana, aku hanya menangis dan menangis.
Beberapa hari kemudian, aku kembali menemuinya di rumah sakit. Namun untuk kali ini, aku jauh lebih tenang. Aku juga sempat mengobrol dengannya. Dia membalas ucapanku melalui tulisan di buku catatannya. Hari ini lebih baik dari kemarin. Aku berharap semoga dia lekas sembuh.
Sepulang dari sana, tiba-tiba banyak hal yang terlintas di pikiranku. Mungkinkah ini menjadi momen yang baik untuk menyelesaikan permasalahanku dengannya dulu? Begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya dan begitu banyak hal yang ingin aku katakan padanya. Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku dulu padanya. Mungkin kesalahanku itu pula lah yang akhirnya harus membuat kami berdua harus berpisah. Seandainya egoku tak sebesar itu, mungkin kami tak akan berpisah. Jika kami tak berpisah, mungkin dia tidak akan sakit seperti sekarang ini. Aku harus meminta maaf padanya esok saat kembali ke sana lagi.
Selang dua hari kemudian, aku kembali ke rumah sakit. Aku ingin mengucapkan maaf padanya hari ini. Namun siapa duga, hari ini aku harus disibukkan dengan mengurus keperluan dia. Saat itu dia sedang sendiri, papah yang biasa menjaganya meminta tolong aku untuk menjaganya sebentar. Papah ingin beristirahat sebentar. Aku dengan senang hati melakukannya. Ketika aku kembali ke ruangan, dianya telah tertidur lelap. Aku tak tega membangunkannya. Hingga akhirnya aku membatalkan niat ku untuk mengutarakan isi hatiku padanya. Ada hari esok. Aku akan menemui mu esok lagi.
Sudah beberapa hari berlalu, aku belum berkunjung lagi untuk menemuinya. Karena belakangan perkerjaanku lagi sibuk-sibuknya. Dan dalam kondisi sedang berpuasa, tubuhku jadi ikutan lemas dan pikiran ku hanya ingin cepat pulang dan berisitirahat. Saat ingin ke rumah sakit, aku selalu berpikir, “Ah besok saja lah, hari ini capek sekali. Esok masih bisa berkunjung.”
Lalu, siang itu aku mendapat telepon dari mamahnya dia. Mamah memberi tahu bahwa dia pulang. Namun dia pulang dalam kondisi sudah tak bernyawa lagi. Dia meninggal siang itu. Dia pergi untuk selamanya. Dia tak akan kembali lagi dan aku tak akan pernah bisa mengatakan maafku lagi padanya.
Aku tak dapat lagi mengatakan langsung padanya tentang bagaimana aku sangat merindukannya selama ini. Aku tak dapat mengatakan bahwa aku masih sangat menyayanginya hingga kini. Aku tak dapat kesempatan lagi untuk meminta maaf padanya atas segala kesalahanku padanya. Meminta maaf atas egoku yang luar biasa parah. Meminta maaf atas sikap manjaku padanya. Meminta maaf atas segala rasa cemburuku. Aku tak sempat mengatakan semuanya padanya. Sekarang yang aku liat di hadapanku hanya sosok yang kusayang yang terbujur kaku tak lagi bernyawa.
Meninggalnya dia di bulan Ramadan 2015 kemarin, dan maafku yang akhirnya tak pernah tersampaikan, semoga Allah mau menyampaikan isi hatiku padanya. Dengan segala rasa rindu dan sayang, “Zha, maafin Mey!”
Simak Video di Bawah Ini
#GrowFearless with FIMELA